Konten Media Partner

Komunikasi Politik Kunci Penyelesaian Sengketa Batas Muratara dan Muba

16 Oktober 2024 18:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan FH UMKT, Prof Aidul Fitriciada Azhari, Foto : Abdullah Toriq/Urban Id
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan FH UMKT, Prof Aidul Fitriciada Azhari, Foto : Abdullah Toriq/Urban Id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sengketa mengenai batas wilayah di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) dan Musi Banyuasin (Muba) menjadi isu yang semakin kompleks dan membutuhkan perhatian serius. Persoalan ini berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menetapkan batas wilayah secara pasti. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan FH UMKT, Prof Aidul Fitriciada Azhari mengatakan permasalahan sengketa batal wilayah ini muncul dari dua aspek utama kewenangan yang diberikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Permendagri Nomor 76 Tahun 2014 dan ketidakhadiran partisipasi masyarakat dalam proses penetapan batas wilayah. "Secara hukum, ada dua mekanisme yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa peraturan ini yakni pengajuan judicial review di Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa keabsahan peraturan di bawah undang-undang, " kata dia. "Serta pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) jika ditemukan konflik pada tingkat undang-undang, "tambah dia. Aidul menekankan bahwa selain Permendagri 76/2014, sengketa ini juga terkait dengan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Muratara, yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah pusat untuk menetapkan batas wilayah di lapangan. "Ini menimbulkan persoalan karena terdapat batas tradisional yang sudah lama diakui oleh masyarakat setempat," kata dia. Ketiadaan partisipasi publik dalam proses penetapan batas wilayah menjadi salah satu sorotan utama. "Masyarakat terdampak memiliki hak to be heard (hak untuk didengar), right to be considered (hak untuk dipertimbangkan), dan right to be explained (hak untuk mendapatkan penjelasan),” ungkapnya. Ia khawatir ketiadaan partisipasi publik ini dapat memunculkan dampak negatif berupa eksklusi kelompok tertentu dan potensi konflik sosial, ekonomi, dan budaya. "Dengan tidak adanya partisipasi publik ini dapat munculkan dampak negatif mulai dari konflik ekonomi dan budaya, " kata dia. Selain aspek hukum, ia juga tersebut menekankan pentingnya komunikasi politik antara pemerintah pusat dan daerah sebagai langkah awal penyelesaian konflik. "Kalau hanya mengandalkan jalur hukum, masalahnya bisa berlarut-larut. Komunikasi politik harus dijalankan secara intensif agar tidak terjadi kebuntuan,” tambahnya. Tak hanya itu dirinya juga menyoroti konflik ini dapat bereskalasi menjadi bentrok fisik dan mengancam stabilitas sosial jika tidak segera ditangani. Ia berharap agar Kemendagri segera mengambil langkah mediasi dengan melibatkan semua pihak terkait. "Kita ini hidup di negara berdasarkan musyawarah, jadi masalah batas wilayah seperti ini seharusnya bisa diselesaikan melalui dialog dan mufakat," ujarnya. Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa pemerintah pusat, khususnya Kemendagri, harus menyadari bahwa komunikasi politik yang baik adalah kunci dalam menghindari konflik berkepanjangan. "Persoalan ini pada dasarnya adalah masalah komunikasi. Jika masing-masing pihak mau duduk bersama dan terbuka, saya yakin solusi bisa dicapai tanpa kekerasan,” tutupnya.
ADVERTISEMENT