Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Melintasi Jejak Ilmu, Iman, dan Peradaban di Negeri Para Nabi
3 Mei 2025 11:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Mesir, Aqsha, dan Yordania menjadi destinasi field studi (KKL) Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Di negeri para nabi, rombongan kandidat doktor tak hanya menimba pengalaman akademik, tetapi juga menyelami jejak ilmu, menguatkan iman, dan menyentuh denyut peradaban. Seperti apa pengalaman itu?
ADVERTISEMENT
Abdul Malik Syafi'i - Kairo Mesir
“Ahlan wa sahlan, welcome, selamat datang di Kairo,” sapa Ahmed Negy Hawari, Tour Guide menyambut kedatangan rombongan sambil menjabat tangan para peserta satu persatu saat keluar Bandara Kairo Mesir, Jumat (25/4).
Ahmed begitu panggilan pria kelahiran kota Giza 36 tahun itu, sangat pandai berbahasa Indonesia meskipun ia belum pernah berkunjung ke tanah air. Sejak tahun 2020, ia belajar bahasa Indonesia di KBRI Kairo dan mendapatkan lisensi pemandu warga tanah air yang berkunjung di negeri seribu menara.
"Pasti lelah ya, semangat-semangat," candanya.
Setelah menempuh perjalanan panjang selama 12 jam dari Jakarta dan transit di Abu Dhabi dengan pesawat Etihad Airlines, rombongan akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Kairo (CAI) pukul 13.15 waktu setempat. "Selisih waktu Mesir dan Indonesia empat jam," katanya mencairkan obrolan.
ADVERTISEMENT
Sebagai kampus unggulan, KKL menjadi media PDIH Unissula untuk memberikan pengalaman langsung wawasan akademik mahasiswa melalui studi perbandingan hukum, juga meningkatkan pemahaman tentang perkembangan hukum internasional, serta memberikan kesempatan untuk menjalin kerja sama internasional.
Pada Februari lalu, PDIH Unissula yang dikomandoi oleh Prof Dr. Hj. Anis Masdurohatun, SH., M.Hum, telah melakukan KKL di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan, dalam program Internationalization and Comparative Law Studies. Nah, kesempatan ini field studi ke tiga negeri yang sarat makna, yakni: Mesir, Aqsha, dan Yordania. Bagi PDIH Unissula, KKL bukan sekadar kunjungan, melainkan pertemuan akademik, pembahasan riset, dan penjajakan kolaborasi kampus dalam rangka menuju internasionalisasi perguruan tinggi.
“Kita salat Ashar di Masjid Al-Azhar dan berziarah ke makam Syadina Husein, cucu Rasulullah,” kata Ahmed setelah memperkenalkan diri.
ADVERTISEMENT
Mendengar nama Al Azhar, seolah ditarik ke abad ke-10, saat Dinasti Fatimiyah mendirikan masjid yang kelak menjadi mercusuar dunia Islam. Dibangun oleh Jenderal Jawhar al-Siqilli atas perintah Khalifah al-Mu’izz li-Dinillah pada tahun 970 M, Masjid Al-Azhar bukan sekadar tempat ibadah, melainkan pusat keilmuan yang telah berdiri lebih dari seribu tahun.
Bus yang membawa rombongan melaju menuju Al-Azhar. Sepanjang jalan, panorama khas Kairo tersaji, klakson bersahutan, lalu lintas padat merayap, dan gedung-gedung tua berbentuk segi empat berdampingan dengan bangunan modern. Bus-bus tua, angkot dan bajaj setia mengantar warga, menyatu dalam orkestra jalanan yang tak pernah benar-benar berhenti. Jarang sekali terlihat kendaraan roda dua (motor) melintas, walaupun ada mereka mengendarainya tanpa pengaman kepala (helm) melaju kencang di antara kendaraan umum.
ADVERTISEMENT
Di trotoar, pedagang kaki lima menawarkan aneka dagangan: makanan ringan, pakaian, hingga cendera mata khas Mesir. Aktivitas warga begitu dinamis; lelaki berjubah gamis putih, perempuan berhijab warna-warni, hingga anak-anak berlari ke sana kemari. Di antara wajah khas Timur Tengah, tampak pula sosok-sosok Asia Tenggara, pelajar yang menuntut ilmu di Al-Azhar.
Songkok hitam yang dikenakan sebagian pria menjadi penanda khas dari Indonesia. Simbol itu mengingatkan pada hubungan historis antara Indonesia dan Mesir sejak era Presiden Soekarno dan Gamal Abdul Nasr.
“Mungkin itu orang Indonesia,” ujar Fuad, seorang peserta KKL asal Yogyakarta.
Mesir adalah negeri penuh sejarah. Kairo adalah kota dengan denyut peradaban. Tak hanya piramida dan kisah Firaun, tetapi juga jejak para nabi seperti Musa, Yusuf, dan Harun. Sementara Al-Azhar, bagi para pencari ilmu, adalah impian sekaligus kiblat peradaban akademik Islam.
ADVERTISEMENT
"Masjid Al Azhar adalah masjid tertua ke empat di Mesir, setelah Masjid Amr Bin Ash, Masjid kota Askar dan Masjid Ibnu Tulun," terang Ahmed dalam perjalanan.
Setelah menembus macet, rombongan tiba di komplek makam Saidina Husein untuk berziarah sembari menunggu waktu asar. Dalam perjalanan Ahmed menceritakan bahwa makam Syaidina Husein dan mengulas tentang budaya masyarakat mesir. Sepuluh menit berzikir dan berdoa di Makbaroh, Ahmed mengajak rombongan melewati lorong bawah tanah sebagai lintas penyeberangan, sepanjang jalan wanita dan pria mesir menawarkan dagangannya kepada para pengunjung, ada pula yang meminta-minta sembari mengangkat jari tangannya ke mulut, isyarat lapar. Menjadi fenomena sebagaimana kota-kota besar lainnya bagi negara berkembang.
Tiba di Masjid Azhar bertepatan bayangan mulai lebih panjang dari tinggi badan, tak lama terdengar suara azan Ashar. Udara hangat khas Afrika Utara menyambut langkah kaki yang perlahan memasuki kawasan masjid. Al-Azhar tak hanya dikenal sebagai rumah ibadah, melainkan juga simbol keilmuan dan peradaban Islam.
Halaman dalam masjid dihiasi tiang-tiang marmer putih. Lima menara menjulang dengan gaya arsitektur beragam: dari Fatimiyah yang sederhana, sentuhan megah Mamluk, hingga kaligrafi rumit khas Ottoman. Setiap sudut menyimpan kisah. Setiap ukiran mengandung sejarah.
ADVERTISEMENT
Di ruang utama, banyak jamaah yang sudah menunggu. Di tengah terdapat mimbar kayu menjulang tinggi, di kanannya tempat imam. Atap tinggi menjulang tanpa plafon, setiap jarak lima meter terdapat kipas angin gantung berputar memberikan kesejukan jamaah yang beribadah.
"Di sinilah cikal bakal Universitas Al-Azhar bermula, institusi pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di dunia," terang Ahmed. Seorang peserta menyaut. “Al-Azhar bukan hanya bangunan, tapi peradaban,” ucapnya.
Ziarah Makam Imam Syafi'i
Sebelum makan malam, Ahmed mengajak rombongan ziarah ke makam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi atau yang dikenal imam Asy-Syafi'i, pendiri mazhab Syafi'i yang menjadi mazhab mayoritas muslim Indonesia.
"Imam Syafi'i tinggal 4 tahun di Kairo setelah lama di Madinah, dan Baghdad," terang Ahmed.
ADVERTISEMENT
Beliau Lahir di Gaza, Falestina (150 H) dan wafat (204 H) di Kairo Mesir karena sakit.
"Warga Mesir selain mazhab Hanafi yang menjadi mayoritas, juga banyak bermazhab Syafi'i," terangnya.
Makam Imam Syafii berada di tengah kawasan padat penduduk dengan jalan yang sempit. Sebelum ke makam melintasi pasar rakyat yang berada di kanan kiri jalan Orang Mesir menyebutnya jalan al-Qodariyah. Di komplek pemakaman terdapat juga makam imam Waqi guru Imam Syafi'i dan Ibnu Hajar Al Asqolani, Zakariah Ansori serta beberapa ulama lainnya.
Tak terasa, asyik menyelami sejarah dan peradaban ilmu dari ulama-ulama Mesir, saat keluar makam ternyata senja mulai turun.
Langit Kairo memerah. Rombongan beranjak menuju hotel di jalan el khalifa al mamoun. Sebelum proses check-in, makan malam menu nasi mandi Mesir menjadi jeda setelah perjalanan panjang dari tanah air. Angin malam Kairo menyapa lembut, seakan menyapa selamat menikmati angin sungai Nil. Terasa Lelah, tapi ini baru permulaan, jejak awal field studi di para Nabi. (Bersambung)
ADVERTISEMENT
**Peserta KKL/Kandidat Doktor PDIH Unissula Semarang