Konten Media Partner

Menikmati Keindahan Laut Mediterania: Ziarah dan Jejak Peradaban Alexandria

5 Mei 2025 16:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rombongan peserta KKL PDIH Unissula berfoto di istana Mumtaza, Alexandria. (foto: Abdul Malik Syafi'i)
zoom-in-whitePerbesar
Rombongan peserta KKL PDIH Unissula berfoto di istana Mumtaza, Alexandria. (foto: Abdul Malik Syafi'i)
ADVERTISEMENT
Hari ketiga field study kandidat doktor Unissula Semarang dimulai lebih pagi dari biasanya. Usai sarapan di hotel Kairo, rombongan bertolak menuju Alexandria, kota pelabuhan legendaris yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Mediterania.
ADVERTISEMENT
Perjalanan darat dari Kairo menuju Alexandria menempuh jarak 230 Km atau memakan waktu sekitar empat jam dengan perjalanan santai.
Berbeda dengan pemandangan sebelumnya, hamparan gurun dan gunung pasir, menuju kota Alexandria justru tembuh subur hasil pertanian. Kanan-kiri ladang gandum mewarnai perjalanan.
Mesir rupanya terkenal dengan pertanian, walaupun sebagian besar negaranya gurun pasir ternyata ada beberapa daerah yang subur memanfaatkan irigasi dari Sungai Nil
Tanaman seperti Gandum, padi, kapas, tebu, jagung, dan berbagai sayuran serta buah-buahan menghasilkan pekerjaan sebesar 30 persen penduduk Mesir di sektor pertanian.
"Pertanian Mesir bagus, kita ekspor buah dan sayur ke negara-negara Arab," kata Ahmed Negy, guide lokal.
Selama dalam bus, ia mengisi perjalanan dengan kisah-kisah tentang sejarah Mesir modern, penghasilan mesir, budaya dan sejarah.
ADVERTISEMENT
“Nanti kita akan mengunjungi Istana Montazah, tempat Raja Faruq pernah tinggal. Beliau raja terakhir Mesir sebelum monarki digulingkan pada 1952,” katanya sambil berdiri di depan bus, memegang mikrofon.
Istana Montazah berdiri megah, bergaya perpaduan arsitektur Ottoman dan Italia. Pepohonan kurma dan taman-taman terawat mengelilinginya. Dari kejauhan, laut Mediterania terlihat membentang luas.
“Laut ini langsung berbatasan dengan Eropa” tambah Ahmed.
Selesai menjelajah istana dan taman kerajaan, perjalanan berlanjut santap siang dengan menu ikan laut mediterania di sebuah restoran pinggir pantai. Angin laut bertiup lembut, menyampaikan ketenangan yang berbeda dari Kairo yang riuh.
Tiba waktu Ashar, rombongan salat jama' takhir di Masjid Imam Al-Busiri sekaigus ziarah ke makam ulama sufi pengarah Qasidah Burdah, puisi pujian kepada Rasulullah yang terus dibaca di berbagai belahan dunia Islam hingga hari ini.
Ziarah ke makam imam Busiri, pengarah salawat burdah. (foto: Abdul Malik Syafi'i)
Tak jauh dari sana, terdapat makam gurunya: Abu Abbas Al-Mursi, salah satu tokoh besar tarekat Syadziliyah.
ADVERTISEMENT
“Abu Abbas ini murid Abu Hasan Asy-Syadzili. Keduanya punya pengaruh besar dalam dunia tasawuf. Tradisi tarekatnya menyebar sampai ke Asia Tenggara,” jelas Ahmed, sembari menunjukkan arah kiblat untuk yang ingin menunaikan salat.
Rangkaian ziarah berlanjut ke makam yang diyakini masyarakat lokal sebagai tempat peristirahatan Nabi Daniel dan Luqmanul Hakim. Dua figur bijak dalam tradisi samawi ini menjadi simbol penting betapa Alexandria tak hanya menyimpan peradaban duniawi, tapi juga jejak kebijaksanaan langit.
Sebelum senja, langkah kami menapak di situs sakral terakhir hari itu: Gereja St. Mark—gereja tertua di Afrika, diyakini berdiri sejak abad pertama Masehi oleh St. Mark, menurut kepercayaan Nasrani adalah murid Yesus yang disebut sebagai penginjil pertama di tanah Mesir. Gereja tampak hening, dengan ukiran-ukiran salib Koptik dan suasana khidmat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
"Usia gereja ini sangat tua, dibangun sekitar tahun 42 M. Dari sinilah Kekristenan di Afrika bermula," tutur Pdt Abraham, salah satu tokoh agama Katolik Ortodok kepada rombongan yang memang terdiri dari lintas agama dan profesi.
Istana Mumtaza menghadap langsung dengan laut Mediterania. (foto: Abdul Malik Syafi'i)
Di tengah kunjungan, beberapa dari rombongan sempat berbincang dengan wisatawan lain dari Cina, India, bahkan Eropa. Bertukar senyum, cerita, hingga berlatih kalimat sederhana dalam bahasa Arab dan Inggris, sebuah interaksi kecil yang memperkaya rasa kebersamaan global dalam tapak sejarah yang sama.
Ketika langit mulai berubah jingga, rombongan kembali ke Kairo. Hari itu tidak hanya menziarahi bangunan dan batu-batu tua, tapi menapaki lorong-lorong sejarah—dari jejak raja, para nabi dan wali, hingga pewarta Injil pertama di benua Afrika.
ADVERTISEMENT
Kota Alexandria, dengan semua lanskap sejarah dan spiritualitasnya, meninggalkan kesan dalam yang tak mudah pudar. Rombongan pulang dengan hati yang penuh, bersiap menyambut agenda akademik di Universitas Al-Azhar esok harinya. (Bersambung/part 4)
Abdul Malik Syafi'i
Peserta KKL/Kandidat Doktor PDIH Unissula Semarang