Penggundulan Hutan di Sumsel Meningkat 33 Persen

Konten Media Partner
16 April 2022 18:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi hutan (dok. kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan (dok. kumparan)
ADVERTISEMENT
Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan (Walhi Sumsel) menyebut penggundulan hutan atau deforestasi di Bumi Sriwijaya saat ini meningkat mencapai 33,63 persen sejak delapan tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Penggundulan hutan di Sumsel mencapai rata-rata 1,1 juta hektare per tahun pada 2009-2013, lalu naik lagi 1,47 hektare per tahun pada 2013- 2017.
Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel, Puspita Indah Sari, mengatakan kondisi itu tidak sesuai dengan komitmen pemerintah untuk menekan laju deforestasi.
Kondisi ini juga berkontribusi dampak langsung pada perubahan iklim. Lahan itu digunakan untuk kepentingan bisnis dan ekonomi. "Kami mencatat korporasi menikmati 3,55 juta hektare, negara menguasai 1,7 juta hektare dan sisanya masyarakat,” katanya.
Puspita bilang dari total 3,55 juta hektare yang dikuasai korporasi itu, kebun kayu 1,5 juta hektare, perkebunan 1,3 juta hektare, dan 675 ribu hektare untuk sektor pertambangan. Industri ekstraktif sangat berdampak pada lingkungan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, upaya deforestasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun korporasi sempat menyebabkan bencana bagi Sumsel. Selama kurun lima tahun pada 2015-2020, tercatat ada satu juta ha lahan terbakar.
Deforestasi tersebut mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 dan 2019 lalu. Hasilnya, kabut asap menyelimuti Sumsel bahkan hingga menimbulkan gangguan asap ke negara tetangga.
Pakar Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang, Yenrizal, mengatakan kecenderungan penyebab karhutla di Sumsel berasal dari dua pihak yakni masyarakat dan perusahaan.
Sejak 2015, pemerintah sudah menggugat 17 perusahaan secara perdata dengan denda dan ganti rugi hingga Rp 3,9 triliun akibat lahan yang terbakar.
"Gugatan ini dilakukan baik disengaja maupun tidak disengaja, dengan 75 kasus pidana karhutla yang ditangani aparat. Hanya saja, transparansi proses penanganannya yang kurang," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Namun dalam proses hukum yang berjalan, tidak ada transparansi yang seharusnya dilakukan. "Hal ini juga timbul karena peran media yang kerap memberitakan peristiwa secara insidentil," katanya.