Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Tegang di Perbatasan Israel, Tersentuh di Aqsha, Disambut Senyum Yordania
7 Mei 2025 17:12 WIB
·
waktu baca 10 menit
ADVERTISEMENT
Usai Field Studi di Mesir selama 5 hari, rombongan KKL PDIH Unissula Semarang melanjutkan perjalanan ke Masjidil Aqsha. Dari Kairo menuju Yerusalem, rombongan harus melewati gurun, pos imigrasi bersenjata, hingga menghadapi ketegangan yang tak logis di Imigrasi.
ADVERTISEMENT
------------------------------------------------------------------------------------------------
Jarak dari Kairo ke perbatasan Taba di Sinai Selatan membentang sejauh 440 km. Karena waktu tempuh mencapai 9 jam, perjalanan dibagi menjadi dua hari, dengan rute melewati situs-situs penting seperti Mata Air Nabi Musa, Makam Nabi Harun dan Nabi Saleh, serta patung Sapi Samiri di Bukit Sinai.
"Apakah itu patung Samiri sesungguhnya, ini belum terbukti ilmiah. Hanya cerita masyarakat saja," kata Ahmed pemandu lokal saat ditanya peserta.
Di pantai Laut Merah, rombongan sempat berhenti. Air biru jernih di Terusan Suez yang dulunya terbelah oleh tongkat Nabi Musa menjadi latar renungan spiritual. Sesaat sebelum senja, rombongan bermalam di Nuweiba, kota tenang di tepi Teluk Aqaba. Dua peserta tidak bisa melanjutkan ke Israel karena tidak memperoleh izin masuk tanpa alasan yang jelas dan langsung menunggu di Yordania.
ADVERTISEMENT
"Padahal kita mau ziarah Aqsho," sesal salah satu peserta.
Fajar belum merekah saat rombongan bersiap meninggalkan Mesir melalui perbatasan Taba. Tour leader memberi peringatan tegas: jangan ambil gambar, jangan aktifkan kamera, dan jangan bercanda. Benar saja, begitu memasuki imigrasi Israel, satu per satu peserta diminta membuka koper, bahkan beberapa diminta menyerahkan ponsel untuk dianalisis.
Penulis termasuk yang tertahan, tanpa penjelasan, hanya ditemani tatapan curiga dan percakapan petugas dalam bahasa yang asing.
Entah apa yang mereka obrolkan menggunakan bahasa lokal, bukan bahasa Arab juga bukan Inggris.
"Indonesia dan Israil memang tidak ada hubungan diplomatik," celetuk seorang peserta yang ikut antrean paspor.
Lolos dari imigrasi, bus telah menanti. Di luar jendela, terlihat pos militer dan tentara bersenjata lengkap berdiri di atas bukit, mengawasi dengan waspada. Bendera putih dengan bintang biru mengepak tertiup angin. “Tegang,” satu kata yang mencerminkan atmosfer saat memasuki wilayah itu.
ADVERTISEMENT
Di dalam bus, pemandu baru menyambut. Ia adalah warga Yerusalem, fasih berbahasa Indonesia, dan memegang paspor Kerajaan Yordania. Ammu, begetu penulis memanggilnya menjelaskan tentang kondisi sosial-politik di wilayah yang terus bergolak ini—hubungan antara Israel dan warga Palestina, dan betapa kerasnya realitas yang harus mereka hadapi tiap hari.
“Jarak menuju Yerusalem sekitar 320 km, kira-kira tiga jam perjalanan. Jika ingin istirahat, silakan,” ujarnya dengan ramah.
Sebelum ke Yerusalem, rombongan mampir ke jerucho ziarah makam nabi Musa dan singgah di bukit Pencobaan (Mount of Temptation) di dekat Jericho tempat di mana diyakini al masih berpuasa 40 hari 40 malam sebelum mendapatkan wahyu dan melayani ummat.
Di kedua tempat itu menjadi otoritas negara Palestina, sehingga banyak bendera dan suvenir di jual di daerah tersebut oleh pedagang berlogat arab menggunakan bahasa Indonesia sebisanya.
ADVERTISEMENT
Menjelang matahari terbenam, Bus melaju ke kota Yerusalem atau juga dikenal dengan Al-Quds, salah satu kota tertua di dunia, terletak di sebuah dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati.
Kota yang dianggap suci dalam tiga agama Abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi) ini diklaim oleh israil, meskipun dunia islam internasional mengakui ini milik Palestina.
Sebelum fajar menyingsing, langit Yerusalem masih gulita dan angin dingin menggigit tulang. Di lobi hotel, rombongan Field Studi PDIH Unissula Semarang telah bersiap. Wajah-wajah mengantuk bercampur harap. Mereka hendak menunaikan salat tahajud di tempat yang oleh Rasulullah disebut sebagai masjid termulia ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi: Baitul Maqdis.
ADVERTISEMENT
Jarak dari hotel menuju kompleks suci itu sekitar 500 meter, atau dapat ditempuh dalam waktu 14 menit berjalan kaki. Namun, langkah mereka terasa lebih berat dari biasanya. Jalanan tampak sepi. Tak ada aktivitas, hanya suara langkah kaki yang berirama senyap menyusuri gang-gang kota tua. Inilah kawasan muria, dataran tinggi yang membentang tenang di jantung Yerusalem, namun menyimpan bara konflik di balik diamnya.
Sesampainya di pintu masuk kompleks, rombongan disambut oleh barikade tentara Israel. Senjata laras panjang menempel erat di dada mereka. Mata-mata curiga mengawasi setiap gerak-gerik. Tanpa banyak kata, para tentara menyetop rombongan dan memaksa semua berbaris. Satu per satu diminta menunjukkan paspor. Tak boleh ada suara. Hening menjadi perintah.
ADVERTISEMENT
Suasana mencekam pecah oleh satu tentara yang berseru dalam bahasa Inggris, meminta seorang peserta melakukan push-up sambil tertawa sinis. Jelas bukan prosedur, ini pelecehan. Mereka seolah menikmati permainan kekuasaan atas para peziarah yang hanya ingin beribadah. Tapi tak satu pun dari rombongan menggubrisnya.
Insiden ini bukan sekali terjadi. Siang harinya, pemeriksaan bahkan lebih ketat. Semua tas digeledah. Jika ditemukan bendera kecil, gantungan kunci, atau stiker bertema Palestina, meski sekadar simbol solidaritas, barang itu harus dibuang atau ditinggalkan. Tak ada negosiasi.
Ternyata, malam sebelumnya, beberapa peserta sempat mencoba masuk terlebih dahulu. Mereka mengaku sebagai turis asal Indonesia. Namun tetap ditolak. Bahkan ada yang disuruh kembali ke hotel sambil berlari, disertai tawa ejekan dari tentara. Yang berhasil masuk pun tak luput dari intimidasi.
ADVERTISEMENT
Ada yang disuruh membaca surat Al-Fatihah. Ada pula yang dicecar pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal, pertanyaan yang jelas tak berkaitan dengan ibadah atau keamanan.
“Baitul Maqdis ini status quo,” jelas Ammu, sang pemandu lokal. “Secara aturan, hanya muslim yang boleh beribadah di dalamnya, tapi otoritas keamanan sepenuhnya dikendalikan tentara Israel. Sementara pengelolaan oleh kerajaan Yordania.” terangnya.
“Semua ini sengaja dipersulit. Tujuannya agar umat Islam enggan datang ke sini," sambungnya.
Begitu berhasil melangkahkan kaki ke dalam kompleks, kelelahan dan ketegangan seketika sirna. Mata langsung tertuju pada kubah emas yang bersinar di bawah cahaya dini hari.
Di sanalah berdiri Masjid Kubah Batu (Dome of the Rock), yang menaungi Shakhrah, batu besar tempat Rasulullah SAW mi’raj ke Sidratul Muntaha. Sebuah titik sejarah yang tak hanya sakral, tapi juga simbol keteguhan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Tak jauh dari situ, menurun beberapa anak tangga, berdirilah Masjidil Aqsha Al Qadim. Inilah bangunan utama yang dibangun sejak era Khalifa Umar bin Khattab saat pertama kali menaklukkan Palestina.
Kini, bagian bawah masjid yang diyakini dibangun oleh Nabi Sulaiman dengan bantuan bangsa jin itu, menjadi tempat halaqah rutin bagi muslimah Yerusalem. Suara bacaan Al-Qur’an bergema lirih di ruang bawah tanahnya yang sejuk dan tenang.
Tiang-tiang besar dari batu kokoh masih berdiri gagah. Masing-masing setinggi 15 meter, beratnya mencapai 500 ton. Bukti kebesaran arsitektur Islam dan keteguhan iman para pendahulu. Ammu menunjuk ke arah salah satu sisi mihrab sambil bercerita, “Dulu, waktu perang salib, tempat ini sempat dijadikan gereja oleh tentara Salib. Tapi akhirnya berhasil dikembalikan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi," ungkap Ammu.
ADVERTISEMENT
Salah satu momen yang paling menyentuh terjadi usai subuh, saat rombongan berjumpa dengan seorang muazin Masjidil Aqsha yang dikenal luas di media sosial dengan panggilan Baba. Nama aslinya Ahmad. Sosok sepuh berjenggot putih dengan mobil golf miliknya.
Di sela-sela waktu senggangnya, Baba sempat berdialog dengan salah satu peserta rombongan. Ia mengungkapkan kenyataan getir yang jarang diketahui dunia luar.
“Sekarang,” ujarnya dengan nada pelan namun tegas, “Hanya tersisa sekitar dua puluh keluarga Muslim yang masih tinggal di sekitar Masjidil Aqsha. Itu pun kebanyakan sudah tua. Anak-anak muda banyak yang sudah ditangkap atau dibuang ke Ramallah. Banyak dari mereka ikut membantu perjuangan saudara-saudara kami di Gaza,” terangnya.
Dengan penuh keramahan, Baba lalu mengajak beberapa peserta rombongan berkeliling kompleks Masjidil Aqsha menggunakan mobilnya. Ia melewati jalur-jalur pintas yang hanya diketahui oleh warga lokal, jalur sunyi yang tersembunyi dari pandangan kamera dan patroli.
ADVERTISEMENT
Namun tak lama berselang, kehadiran rombongan yang melewati jalan tersebut menarik perhatian tentara Israel. Mereka segera mendekat dan memberikan teguran keras kepada Baba. Namun wajahnya tidak gentar. Ia hanya menunduk, kemudian menatap lurus ke arah tentara sebelum kembali ke arah rombongan.
“Saya tidak akan pernah meninggalkan Palestina,” ujarnya mantap. “Kalau kami pergi, siapa yang akan menjaga Aqsha?” Ungkapnya kepada rombongan.
Sebelum berpisah, Baba menggenggam tangan salah satu peserta dengan erat, lalu berkata pelan namun dalam, “Tolong, sampaikan pesan dan cerita ini kepada saudara-saudara kami di Indonesia," tuturnya sambil direkam.
Dua malam di Yerusalem terasa begitu panjang, seolah waktu berjalan lambat dalam suasana yang penuh ketegangan. Niat tulus untuk menunaikan salat lima waktu di Masjidil Aqsha demi meraih keutamaan pahala justru banyak terganjal.
ADVERTISEMENT
Setiap kali hendak masuk kompleks suci, tentara Israel memperlakukan para peziarah dengan ketat—bahkan menyebalkan. Pemeriksaan yang berlebihan, larangan yang tak masuk akal, dan suasana intimidatif membuat ibadah tak lagi tenang.
"Seandainya bukan karena Masjidil Aqsha, saya tak akan mau masuk negara ini," gumamku saat menyantap sarapan pagi terakhir sebelum check out.
Setelah semuanya siap, rombongan KKL menaiki bus yang telah menunggu di depan hotel. Di sepanjang jalan menuju perbatasan, beberapa peserta menyempatkan diri membeli oleh-oleh dari pedagang kaki lima yang menjajakan suvenir khas Yerusalem. Mereka, yang mengaku sebagai warga Muslim Palestina, menjual barang dagangan dengan cara sembunyi-sembunyi. Suvenir bertema Palestina disimpan rapat dalam tas, hanya dikeluarkan jika dirasa aman.
“Boleh pakai dolar, atau rupiah juga bisa,” tawar salah satu pedagang sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Bus melaju menuju perbatasan Israel–Yordania. Jarak sekitar 30 kilometer itu ditempuh dalam waktu 45–60 menit. Suasana di dalam bus mulai tenang, banyak yang memejamkan mata—lelah dengan perjalanan sekaligus tegang menghadapi proses imigrasi yang akan datang.
Dan benar saja. Seperti saat masuk, prosedur keluar Israel ternyata jauh lebih ketat. Saat pemeriksaan berlangsung, penulis menjadi satu-satunya rombongan peserta yang tertahan, diminta untuk menepi dan menunggu. Tak ada pertanyaan, tak ada penjelasan. Hanya diam. Sunyi. Mencekam.
“Ah, saya dikerjai lagi,” batinku. Rasa waswas merambat pelan. Pemandu mencoba menenangkan, “Kenapa juga ditahan, wong kita mau keluar. InsyaAllah semua baik-baik saja,” tenangnya.
Waktu terus berjalan. Satu jam berlalu. Beberapa wanita berjilbab dan berpenampilan Arab juga tampak tertahan. Satu per satu mereka akhirnya keluar, namun namaku belum juga dipanggil.
ADVERTISEMENT
Seorang petugas perempuan akhirnya menghampiri. “Indonesia?” tanyanya singkat dengan bahasa Inggris. “Iya,” jawabku. Ia hanya berkata, “Tunggu saja ya,” lalu pergi begitu saja.
Beberapa saat kemudian, namaku dipanggil. Tanpa penjelasan apa pun, paspor dikembalikan. Petugas hanya menunjuk arah pintu dan berkata, “Out,” tanpa ekspresi.
Begitu melewati gerbang, sejuknya udara Yordania langsung menyambut seperti ucapan selamat datang dari tanah Syam. Tegangan yang menyesakkan seketika mencair.
“Orang Israel memang begitu, mereka tak suka dengan kita (muslim),” kata pemandu lokal Yordania, menyampaikan pesan kepada tour leader rombongan.
Suasana berubah drastis. Wajah-wajah petugas imigrasi Yordania menyambut dengan senyum ramah. Meski prosedur tetap ketat, tidak ada drama penahanan, tidak ada sikap mengintimidasi, dan tidak ada tentara dengan senjata laras panjang berjalan mondar-mandir mendekati turis.
ADVERTISEMENT
“Bentuk pemerintahan Yordania adalah monarki konstitusional dengan sistem Kerajaan Hasyimiyah. Raja adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, juga komandan tertinggi angkatan bersenjata,” terang pemandu lokal yang pandai berbahasa Indonesia.
Bus kembali melaju menyusuri jalanan Amman yang bersih dan teratur. Tidak tampak taksi-taksi tua seperti di negara tetangganya. Mobil-mobil yang lalu lalang tampak modern. Warga menyeberang jalan dengan tertib. Jalanan nyaris bebas sampah. Kesan negara maju langsung terasa.
“Yang mau berenang di Laut Mati silakan. Tapi hati-hati, jangan sampai air masuk ke mata atau terminum. Kadar garam di sini sangat tinggi, mencapai 33 persen. Tapi bagus untuk kulit,” ucap pemandu sambil tersenyum.
Sore itu, mengapung di Laut Mati menjadi pelepas penat sekaligus cara unik menyambut senja Yordania. Hari berikutnya, rombongan akan melanjutkan field study ke Applied Science Private University, salah satu kampus terbaik di Amman yang menempati peringkat ke-21 di Timur Tengah dan masuk dalam 350 universitas terbaik dunia.
ADVERTISEMENT
(Part 5 – bersambung)
Abdul Malik Syafi'i
Peserta KKL/Kandidat Doktor PDIH Unissula Semarang