Tutut Sawah Jadi Incaran Warga Palembang

Konten Media Partner
20 Oktober 2019 12:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tutut sawah atau koeng sawah cukup sulit ditemukan di sejumlah pasar di Palembang, jikapun ada hanya ada pada momen tertentu saja. (Foto. Reno / Urban ID)
zoom-in-whitePerbesar
Tutut sawah atau koeng sawah cukup sulit ditemukan di sejumlah pasar di Palembang, jikapun ada hanya ada pada momen tertentu saja. (Foto. Reno / Urban ID)
ADVERTISEMENT
Penjual tutut atau keong sawah di Kota Palembang kini sudah sangat minim, jika pun ada hanya pada musim tertentu saja. Padahal, peminat keong yang diyakini tinggi akan protein ini selalu ada, bahkan kerap dicari-cari pembeli.
ADVERTISEMENT
"Di beberapa pasar sudah tidak ada lagi yang menjual lileng (tutut sawah), sangat sulit mencarinya, padahal semua anggota keluarga di rumah menyukai keong ini," kata Susi (39 tahun), saat belanja tutut di Pasar Musi II, Minggu (20/10).
Susi bilang, koeng ini khasiatnya cukup banyak salah satunya menambah nafsu makan, sehingga tak jarang keluarga menanyakan keong ini untuk disantap dengan olahan makanan.
Menurutnya, tutut umumnya dimakan sebagai lauk bersama nasi, dan disajikan dengan kondisi hangat. Biasanya tutut diolah dengan campuran rempah, bisa digulai santan atau seperti dipindang dengan kuah yang gurih.
"Terakhir makan olahan tutut ini 6 bulan yang lalu saat Ramadhan, beberapa kali dicari di pasar tidak ada, dan baru kali ini bertemu pedagang yang menjual," kata Susi yang mengaku sudah menggemari tutut sejak puluhan tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pedagang tutut dijumpai di Pasar Musi II, Palembang, Ana (50 tahun) mengaku hanya dua kali dalam satu bulan menjual tutut, itupun saat musim sawah sedang terendam atau saat sebelum masa tanam padi.
"Tutut sawah ini diambil dari daerah Kabupaten PALI, atau sekitar 5 jam perjalanan dari Kota Palembang. Harganya Rp20 ribu per kg atau Rp4.000 per kaleng dengan ukuran kurang lebih 2 ons," katanya.
Ana mengaku cukup sulit mencari keong ini karena cuaca kering membuat petani terkadang menunda masa tanam padi. Sehingga, keong ini tidak muncul dalam jumlah yang banyak.
"Jika pun ada terkadang jumlahnya sedikit, kalau pun dijual mahal kadang tidak ada yang mau membeli," katanya. (eno)
ADVERTISEMENT