Uji Emisi Kendaraan Syarat STNK dan Denda, BHS: Jangan Persulit Rakyat

Konten Media Partner
6 September 2023 12:21 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bambang Haryo Soekartono. (ist)
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Haryo Soekartono. (ist)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rencana uji emisi kendaraan menjadi syarat perpanjangan STNK dan perlakuan denda yang di wacanakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mendapat protes keras dari pakar kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono (BHS).
ADVERTISEMENT
Anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini menilai, Menteri LHK seolah lempar batu sembunyi tangan dan memprihatinkan karena mengkambing-hitamkan emisi gas buang kendaraan masyarakat seluruh Indonesia menjadi penyebab polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
Bambang bilang, Menteri LHK bertanggung jawab penuh atas pencemaran udara di wilayah Jabodetabek karena terbakarnya hutan di Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Barat, Selatan, Jawa Barat, Tengah, Timur, dan beberapa daerah seluruh Indonesia, termasuk Papua yang tidak tertangani dan terawat dengan baik sehingga terjadi polusi yang mencapai wilayah Jabodetabek.
"Sejauh ini berdasarkan data BMKG, jumlah titik hotspot kebakaran sudah mencapai di atas 5.000 titik api sampai dengan hari ini," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 6 September 2023.
Penyebaran titik api dari BMKG. (dok BMKG via BHS).
Adapun titik kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera menjadi yang terparah dan membawa asap kebakaran hutan tersebut ke pesisir Pulau Jawa, termasuk Jabodetabek akibat angin berembus dari barat ke timur agak ke selatan sesuai dengan informasi BMKG.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Menteri Kehutanan yang merangkap Lingkungan Hidup yang sudah menjabat hampir 10 tahun ini, harusnya sudah sangat paham siklus asap tahunan karena sudah berkali-kali terjadi kebakaran hutan di tahun-tahun sebelumnya.
"Kebakaran hutan ini selalu membawa dampak polusi udara di atas ambang batas di Jabodetabek dan jadi heboh tiap Juli-Agustus. Jika masih tidak paham, sungguh keterlaluan," katanya.
Sebagaimana pada tahun 2015, 2017, dan 2019, hutan selalu terbakar saat Juli-Agustus akibat kemarau yang dimulai Mei-Juni dan yang selalu mengakibatkan pencemaran udara di Jabodetabek, Semarang dan Surabaya.
"Ini, bukannya ditangani, melainkan selalu menyalahkan dan menyudutkan masyarakat mulai dari emisi gas buang, asap industri yang berlebihan dan lain lain," katanya.
Bahkan muncul wacana kendaraan listrik untuk digencarkan kepada masyarakat. Harusnya, kata Alumnus ITS Surabaya ini, semua pemegang kebijakan paham, setiap adanya musim hujan setelah musim kemarau panjang tidak akan ada masalah lagi pencemaran udara karena hutan-hutan yang terbakar mulai padam akibat guyuran hujan dan ini pasti selalu diakhiri asap tersebut di akhir September sehingga problem asap sudah hilang kembali.
ADVERTISEMENT
"Sepertinya Menteri LHK tidak paham kesalahan dirinya sendiri, dan apakah pantas Kementerian yang sudah dilengkapi infrastruktur perawatan berupa pesawat dan helikopter untuk penanganan pengetasan pemadaman kebakaran hutan dan perawatannya," katanya.
Termasuk anggaran yang sedemikian besar sejumlah Rp 7,57 triliun tetapi tidak terlihat bergerak melakukan penanganan sesuai dengan tupoksi.
Maka dari itu, kata Bambang, setop menyalahkan dan membebani masyarakat dengan kebijakan, dan Menteri LHK harus bertanggung jawab pada kondisi polusi udara tersebut.
Di sisi lain, sebaiknya WALHI dan masyarakat segera meng-audit kelalaian kinerja dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tersebut yang amburadul ini sehingga mengancam kesehatan dan keselamatan dari masyarakat seluruh Indonesia. (Advertorial)