Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Duel Alternatif Penegakkan Hukum
27 Desember 2021 11:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Urip Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hanya kebetulan. Di saat riuh tersiar berita bunuh diri seorang mahasiswi bernama Novia Widyasari di pusara ayahnya, saya menyaksikan film The Last Duel. Setelah film selesai, saya jadi merasa ada relasi antara cerita di film itu dengan kasus yang melatarbelakangi mahasiswi tersebut melakukan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Film bergenre action dan sejarah ini dirilis Oktober 2021. Dengan latar belakang Prancis di tahun 1386, saat Raja Charles VI berkuasa. Film ini menceritakan perseteruan antara Jean de Carrouges dengan Jacques Le Gris. Padahal, keduanya merupakan kesatria (Knight) yang saling bersahabat.
Puncak perseteruan kedua ksatria itu berlangsung dengan cara duel ala Eropa era 80-an. Duel berkuda dengan masing-masing tokoh bersenjata tombak panjang. Duel yang dilakukan di hadapan raja dan rakyat Prancis itu berakhir dengan terbunuhnya salah seorang dari mereka.
Kenapa saya menyebut ada relasi dengan kasus bunuh diri Novia Widyasari? Duel dua kesatria itu dipicu oleh pemerkosaan yang dilakukan Le Gris terhadap Marguerite, istri dari Jean de Carrouges. Kasus yang sama yang dialami oleh Novia Widyasari.
ADVERTISEMENT
Pemerkosaan yang dialami marguerite ini menjadi pokok cerita film The Last Duel. Keinginan Jean de Carrauges untuk melaporkan sahabatnya Le Gris sebagai pelaku pemerkosaan ternyata tidaklah mulus.
Hanya karena dalam satu kesempatan (sebelum mengalami perkosaan) Marguerite pernah mengatakan kepada temannya, bahwa Le Gris adalah lelaki tampan, yang dapat membuat wanita-wanita mabuk kepalang. Pengakuannya sebagai korban perkosaan akhirnya tidak dipercaya pengadilan. Alih-alih mendapat pembelaan dan perlindungan, Marguerite justru dituduh memfitnah Le Gris. Diperkuat oleh sangkalan Le Gris sendiri yang membantah melakukan pemerkosaan.
Apalagi saat sidang pengadilan dilaksanakan enam bulan setelah peristiwa pemerkosaan, Marguerite tengah hamil. Dan ilmu medis masa itu, meyakini bahwa kehamilan hanya bisa terjadi jika kedua pasangan yang berhubungan intim saling menikmati.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, Sang Hakim mencurigai apa yang dialami oleh Marguerite itu bukan pemerkosaan tetapi atas suka sama suka. Bahkan sampai Sang Pengadil bertanya sesuatu yang konyol kepadanya, “Apa kau menikmatinya (perkosaan)?” Dengan kata lain, Marguerite dituduh telah menggoda Le Gris.
Apa yang dialami Marguerite tersebut dirasakan pula oleh Novia Widyasari. Pengakuannya bahwa dia diperkosa dan dipaksa untuk melakukan aborsi tidak diterima oleh paman-pamannya. Juga oleh orang tua dan keluarga kekasihnya, yang seorang Bripda itu. Novia bahkan mendapat teror dari mereka, serta pandangan miring dari sebagian masyarakat, atas perilaku seks bebas.
Tidak ditanggapinya keluhan Novia dari lingkungan keluarga sang kekasih hingga kepolisian, membuat Novia depresi dan mengambil jalan pintas dengan meneguk sebotol sianida. Sebagaimana diakuinya melalui ‘suicide note’ yang disampaikan kepada ibunya. Pesan yang kemudian viral di media sosial dengan tagar #Save_Novia_Widyasari.
ADVERTISEMENT
Kisah Novia ini memiliki kemiripan dengan apa yang dialami oleh Marguerite. Keduanya dituduh menjadi penyebab perbuatan nista itu. Sehingga upaya pengungkapan kasus pemerkosaan mereka menjadi berlarut-larut.
Bedanya, kasus pemerkosaan Marguerite berlarut-larut di ruang pengadilan. Sedangkan kasus pemerkosaan Novia Widyasari berlarut-larut di kantor polisi. Walaupun kemudian polisi sudah menetapkan Bripda R menjadi tersangka. Itupun setelah berhari-hari dan kisahnya viral di masyarakat.
Pernyataan (lama) Marguirite bahwa Le Gris tampan, fakta kehamilan Marguirite, dan penyangkalan Le Gris, membuat Sang Pengadil merasa kesulitan mengambil keputusan. Sehingga kemudian Raja Charles VI turun tangan. Raja mengambil sikap, kebenaran harus dibuktikan melalui duel antara Jean de Carrouges dengan Jacques Le Gris.
Jika Jean de Carrouges kalah dan mati dalam duel tersebut, maka Marguerite de Carrouges akan dibakar hidup-hidup sebagai hukuman karena dianggap telah berbohong dan memfitnah.
ADVERTISEMENT
Marguerite dan Novia Widysari mengalami nasib yang sama. Pertama, proses hukum dari kasus yang mereka alami berjalan lambat. Secara kebetulan, kedua wanita ini mengalami pemerkosaan oleh seorang prajurit. Marguerite oleh Le Gris, seorang ksatria (knight), adapun Novia oleh Bripda R, seorang polisi. Apakah karena yang menjadi tersangka seorang prajurit, sehingga kasus hukumnya berlarut-larut?
Kalau jawabannya ‘ya!’, sungguh sangat miris. Kasus Novia yang terjadi tahun 2021 bernasib sama dengan yang dialami Marguerite di tahun 1386. Berarti selama 600 tahun lebih, hukum tidak mengalami perubahan. Hukum masih melihat siapa yang menjadi tersangka.
Kedua, Marguerite dan Novia sama-sama menjadi korban tetapi justru mereka menjadi tertuduh. Ibarat setelah jatuh mereka tertimpa tangga. Marguerite menjadi tertuduh oleh pengadilan, sedangkan Novia menjadi tertuduh selain oleh keluarga pacarnya juga oleh masyarakat, yang memberi stigma negatif padanya.
ADVERTISEMENT
Stigma negatif yang sepertinya sekarang ini saat mudah sekali disematkan masyarakat terhadap seseorang, yang dianggap keluar norma, tanpa harus merasa tahu apa latar belakang yang sebenarnya terjadi.
Masih banyak, yang ikut-ikutan memberi stigma negatif tersebut, hanya karena itu yang sedang ramai di media sosial. Seolah-olah kalau tidak mengikuti arus ‘trending topic’ akan menjadi orang yang bersalah dan ketinggalan.
Melihat nasib yang dialami oleh Marguerite dan Novia tersebut, dan setelah menyaksikan akhir dari film yang saya tonton, saya kemudian jadi bertanya-tanya, apakah untuk menyelesaikan kasus yang berlarut-larut harus diselesaikan seperti di film? Dengan cara duel?
Saya membaca berita, ternyata bukan hanya Novia yang mengalami kasusnya tidak segera diproses. Atau diproses tapi lama, berlarut-larut. Lama-lama, saya atau masyarakat, jadi hilang kepercayaan pada polisi atau pengadilan. Jade geregetan. Dan kalau sudah begitu, masa kita harus mengambil jalur non-hukum untuk menegakkan hukum.
ADVERTISEMENT