Pasca Gempa Cianjur, Sudah Siapkah Kita?

Urwatul Wusqa
Dosen Departemen Geosains UI - Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB University
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 16:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Urwatul Wusqa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Oleh: Urwatul Wusqa (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University)

Sebuah gedung sekolah Cianjur runtuh setelah gempa (Iman Firmansyah/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah gedung sekolah Cianjur runtuh setelah gempa (Iman Firmansyah/Reuters)

Looking into the past

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gempa magnitudo 5,6 di Cianjur dan sekitarnya - dengan kedalaman episentrum 10 kilometer - mengakibatkan korban meninggal dan hilang sebanyak 332 jiwa per 27 November. Selain korban jiwa, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan jumlah korban luka atau cedera sekitar 7.700 karena tertimpa reruntuhan bangunan; pengungsi 58 ribu orang, serta setidaknya 22 ribu unit rumah dan 25 sekolah rusak.
ADVERTISEMENT
Terjadi semacam “siklus magis” yang terpola: setiap terjadi peristiwa gempa dangkal yang signifikan dari sisi magnitudo dan lama goyangan, seringkali diikuti dengan tingkat kerusakan yang besar disertai kematian yang seharusnya bisa dicegah. Lalu, muncul juru bicara lembaga teknis pemerintah terkait yang menjelaskan mengapa gempa terjadi, karakteristik, dan sumbernya serta standar pesan soal kondisi bangunan rumah rakyat maupun kualitas gedung pemerintah dan swasta yang tidak mampu melawan kekuatan gaya gempa.
Namun setelah banyak gempa dan tsunami merusak Indonesia, apakah mitigasi risiko di sana kini lebih baik? Secara umum, banyak peneliti menganggap langkah-langkah mitigasi risiko yang diterapkan di Indonesia tidak memadai. Langkah-langkah yang diterapkan hingga saat ini masih jauh dari memadai (Løvholt, 2014), dan konsep mitigasi bencana sudah direncanakan namun masih terdapat kelemahan dalam penerapannya (Fuady, 2021).
ADVERTISEMENT
Informasi rinci diperlukan untuk merencanakan tindakan pencegahan untuk memitigasi potensi dampak, dan daerah yang memiliki tingkat risiko kerusakan tinggi akibat gempa bumi adalah Sukabumi, Cirebon, Pangandaran, Garut, Cianjur, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan skala V-VI MMI (Post, 2008; Basid, 2021).
Penduduk desa menyelamatkan barang-barang dari rumah yang rusak setelah gempa berkekuatan 5,6 di Cianjur, pada 22 November 2022 (Aditya Aji/AFP/Getty Images)
Hal ini menunjukkan bahwa langkah-langkah mitigasi risiko yang ada tidak cukup. Ada kebutuhan untuk informasi yang lebih rinci untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan pencegahan dengan benar. Selain itu, daerah dengan risiko kerusakan tertinggi akibat gempa bumi dan tsunami tidak cukup terlindungi.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi dampak bahaya gempa bumi, namun masih ada perbaikan yang harus dilakukan. Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk memitigasi dampak bahaya gempa bumi, antara lain pemutakhiran peta bahaya seismik, merevisi aturan bangunan dan infrastruktur, mengembangkan peta mikrozonasi, dan mendirikan pusat studi gempa bumi nasional (Hendriyawan, 2018).
ADVERTISEMENT
Sementara konsep mitigasi bencana telah direncanakan di beberapa kota di Indonesia, masih terdapat kelemahan dalam penerapannya ketika terjadi bencana (Fuady, 2021). Tantangan utama dalam kesiapsiagaan bencana di Indonesia adalah meningkatkan koordinasi antar organisasi yang berbeda, menciptakan budaya manajemen risiko bencana, menerapkan metode yang tepat, dan menjaga momentum isu ini di masa depan (James, 2008).
Selain itu perlu juga memperhatikan faktor good governance. Sebab sangat jelas korupsi berkontribusi pada kematian akibat gempa bumi. Korupsi sektor publik berhubungan positif dengan kematian akibat gempa bumi (Escaleras, 2007). Praktik korupsi memungkinkan pembangunan rumah dan bangunan dengan lokasi dan kualitas konstruksi yang buruk di daerah seismik (Ambraseys, 2010). Sebagaimana yang terjadi di Cianjur yang banyak korban akibat runtuhnya bangunan sekolar, rumah sakit, dan perkantoran.
Longsor pasca gempa Cianjur (Wikimedia Commons)
Indikator pembangunan manusia, seperti pendapatan per kapita dan pembangunan sumber daya manusia (tingkat pendidikan), serta korupsi (ukuran tata kelola) secara signifikan berakitan dengan kematian dan kerusakan harta benda akibat bencana alam (Padli, 2019). Banyak bencana 'alam' merupakan akibat langsung dari keputusan dan tindakan politik dan ekonomi yang 'menyimpang' oleh negara (Green, 2005). Meski ini bukan secara langsung soal korupsi, tapi korupsi dianggap sebagai salah satu bentuk keputusan politik dan ekonomi yang menyimpang.
ADVERTISEMENT
Kepedulian terhadap mitigasi bencana dapat pula dimunculkan dengan membuat monumen untuk merawat ingatan publik terkait bencana. Beberapa penelitian memiliki pandangan yang beragam tentang monumen peringatan bencana dan kesadaran mitigasi bencana. Beberapa menyatakan bahwa monumen peringatan bencana dapat meningkatkan kesadaran mitigasi bencana.
Monumen tsunami berperan dalam meningkatkan kesadaran bencana (Saito, 2020), dan upaya bersama untuk menyelamatkan ingatan yang terlupakan dari suatu peristiwa dan dapat mendorong keterlibatan masyarakat untuk membangun kota yang lebih aman dari bahaya tsunami (Zamora, 2020).
Meskipun demikian, terkadang tugu peringatan bencana dapat menjadi tempat legitimasi bagi intervensi negara pascabencana untuk memajukan agenda politik dan menegaskan ideologi, daripada bertindak sebagai tempat pemulihan (Lakhani, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa peringatan bencana tidak selalu dapat meningkatkan kesadaran mitigasi bencana. Namun intinya adalah perlu ada upaya agar sejarah bencana alam di Indonesia dapat dirawat dan diambil pelajaran untuk membangun adaptabilitas di masa depan. Baik dengan monumen, film, atau karya sastra yang dilestarikan.
Tugu peringatan untuk mengenang semua yang meninggal pada Tsunami tahun 2004 di Pantai Kanyakumari India . Monumen ini dirancang dan dibangun oleh B. Kanagaraj Cangan (Wikimedia Commons)

Science based policy dalam pengelolaan pemerintahan

Kebijakan mitigasi gempa bumi yang efektif memerlukan kombinasi insentif kelembagaan dan individu (May, 1998), menghubungkan penelitian dan teknologi dengan kebijakan dan praktik (Freddi, 2021), dan standar desain berbasis kinerja (Comerio, 2004). Hambatan mitigasi gempa bumi yang efektif dapat diatasi dengan kebijakan yang lebih baik (Alesch, 2002).
ADVERTISEMENT
Pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, misalnya, mengatakan ada tiga faktor utama yang menyebabkan kerusakan parah pada gempa Cianjur: (1) karakter (kedalaman) gempa dangkal, (2) struktur bangunan tidak memenuhi standar aman gempa, dan (3) lokasi permukiman berada pada tanah lunak (efek tapak) dan perbukitan (efek topografi).
Terkait dengan penerapan aturan bangunan dan infrastruktur, masih banyak kasus yang tidak menaati. Ini buntut dari akses pada pengetahuan tentang standar keamanan minimal hunian tidak sampai di tingkat paling bawah. Manakala ada kesadaran tersebut, tidak ada atau kurang insentif bagi kelompok masyarakat rentan dalam mengakses teknologi tahan gempa secara terjangkau. Hal ini akibat terjadinya kondisi kelembagaan yang sangat pasif dalam pemantauan maupun intervensi eksekusi kebijakan mitigasi.
ADVERTISEMENT
Perlu adanya roadmap kelembagaan di daerah hingga tingkat kabupaten dan desa. Peta itu bukan hanya dalam mengadopsi regulasi dan standar pembangunan rumah yang tahan gempa. Kemampuan daerah mengadopsi standar nasional terkait tata cara perencanaan ketahanan gempa juga harus terus ditingkatkan.
Rawan Gempa, BSN Tetapkan SNI Bangunan Tahan Gempa (BSN)
Kerentanan bangunan memang jelas memperparah kerusakan akibat gempa. Banyak bangunan hancur akibat gempa, dan hal ini memperburuk kemiskinan penduduk setempat (Zhang, 2018). Kerusakan bangunan berkorelasi dengan ketinggian, penggunaan, penyimpangan elevasi dalam kekuatan dan kekakuan, dan intensitas goncangan tanah di setiap lokasi (Liel, 2012). Beberapa intervensi, seperti mengganti struktur atap kayu asli dengan beton bertulang baru atau elemen baja, menyebabkan peningkatan gaya seismik (karena bobot yang lebih besar) dan deformasi yang tidak sesuai dengan dinding bata (Lagomarsino, 2004).
ADVERTISEMENT
Dalam kasus gempa Flores 1992, hasil pembangunan di daerah tersebut selama 30 tahun hilan sekejap hanya dalam tempo beberapa menit saja akibat melalaikan standar keamanan minimum bangunan. Juga harus ada integrasi proses izin membangun bangunan (IMB) dengan agenda mitigasi bencana. Proses izin sebagai saringan pertama perlu diperbaiki.
Secara umum, IMB seringkali hanya mengatur urusan administrasi pajak izin bangunan tanpa ada ketentuan teknis tentang seluk-beluk aspek rekayasa bangunan yang antisipatif bencana. Perlu juga adanya transformasi birokrasi yang melayani IMB. Seringkali, birokrasi perizinan menjadi sumber korupsi. Akibatnya, para pemilik rumah terjebak dalam pilihan “membangun dulu, izin belakangan” karena semua bisa diatur dengan uang. Prosedur formal yang umum dialami masyarakat adalah butuh 2-3 tahun untuk sebuah surat izin membangun rumah.
ADVERTISEMENT

Riset dan pengembangan teknologi mitigasi gempabumi untuk masa depan

Pasca gempa Cianjur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) merekomendasikan agar sembilan desa di tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat direlokasi imbas ditemukannya sesar baru dan aktif Cugenang. Panjang sesar tersebut yakni sembilan kilometer dengan diameter kanan-kiri sepanjang 300-500 meter.
Foto udara zona sesar aktif Cugenang (BMKG)
Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto menambahkan urgensi relokasi itu dilakukan lantaran sesar Cugenang tersebut diprediksi akan berulang 20 tahun lagi. PUPR menyarankan agar sembilan desa di tiga kecamatan tersebut disulap menjadi area non hunian maupun non bangunan.
Area relokasi harus dipastikan clean and clear. Clean artinya lahan relokasi bukan merupakan sesar, tidak dengan topografi yang mudah longsor, alias sudah mendapatkan rekomendasi aman dari badan geologi. Selain itu, secara tata ruang, lahan relokasi tersebut masuk dalam kategori tata ruang yang masuk zona perumahan dan permukiman. Sementara definisi clear adalah tidak ada masalah secara administratif.
ADVERTISEMENT
Adanya penemuan sesar baru tersebut menunjukkan bahwa pentingnya untuk terus melakukan pembaruan terhadap peta sesar aktif nasional. Pemetaan sesar penting untuk mitigasi gempa. Mengidentifikasi dan mengkarakterisasi sesar aktif penting untuk penilaian bahaya seismik (Verma, 2013).
Deep seismic profiling merupakan metode yang ampuh untuk mengetahui geometri sesar yang dalam (Sato, 2001). Yaitu sebuah teknik untuk memperkirakan luas bidang sesar (dalam hal proyeksi permukaannya) dan arah sesar yang dominan disajikan (Convertito, 2012). Mengidentifikasi sesar sangat penting dalam memitigasi dampak gempa bumi yang umumnya dipicu di sepanjang garis sesar; besarnya gempa yang dihasilkan tergantung pada banyak faktor, terutama karakteristik sesar (Katpatal, 2021).
Gempa bumi, dan tsunami yang dipicunya, merupakan ancaman besar bagi masyarakat pesisir di seluruh dunia. Sekarang para ilmuwan menanam sensor di dasar lautan dunia untuk membantu memprediksi bencana (Fabian Matzerath/Getty)
Hal tersebut juga mesti didukung dengan adanya kegiatan edukasi masyarakat agar lebih melek terhadap potensi bencana beserta langkah mitigasi yang harus dilakukan untuk meminimalisir risiko bencana. Hal ini penting sebab masyarakat adalah pihak yang paling terdampak apabila bencana terjadi sewaktu-waktu. Peningkatan level pendidikan masyarakan tentu menjadi pondasinya agar dapat memahami segala literasi dan media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi terkait bencana maupun peringatan dini.
ADVERTISEMENT
Sosialisasi diperlukan untuk kesiapsiagaan gempa. Beberapa orang di Memphis, Tennessee, AS, misalnya telah mengadopsi tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengurangi efek negatif dari gempa bumi yang merusak, menunjukkan bahwa sosialisasi diperlukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan gempa (Edwards, 1993). Kurikulum IPS SMP memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap pendidikan kebencanaan dan mitigasi bencana, menunjukkan bahwa sosialisasi efektif dalam meningkatkan kesiapsiagaan gempa (Fajar, 2022).
Dari sisi penganggaran juga perlu adanya peningkatan prioritas dalam melakukan riset potensi bencana di Indonesia. Riset bencana harus dipandang sebagai suatu investasi terhadap sumber daya yang sangat penting, yaitu nyawa manusia, rasa aman, dan nyaman bagi para penduduk. Sehingga keselamatan harus menjadi prioritas penting dalam penganggaran negara.
Dan sebaliknya, pemotongan anggaran riset dapat menyebabkan kesenjangan besar dalam upaya mengurangi kerusakan akibat gempa bumi (Dickson, 1979). Hal ini menunjukkan bahwa pemotongan anggaran merupakan hambatan utama untuk penelitian gempa. Seismolog dengan teknologi yang mutakhir juga dapat dengan cepat dan secara kuantitatif menentukan apa yang terjadi selama gempa, sehingga mengurangi dampaknya dan jumlah korban jiwa (Kanamori, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan SDM dan teknologi memainkan peran penting dalam mengurangi kerusakan akibat gempa bumi. Pengeluaran pemerintah Jepang untuk bantuan bencana selalu mengalami peningkatan setelah gempa bumi, menunjukkan bahwa pemerintah mengalokasikan lebih banyak uang untuk penelitian gempa setelah gempa terjadi (Noy, 2022). Hal yang sepertinya perlu ditiru oleh pemerintah negeri ini jika ingin menangani masalah gempa bumi dengan baik.
Resiliensi Jepang dalam menghadapi bencana gempa bumi perlu untuk dicontoh termasuk dalam hal penganggaran biaya untuk riset dan tanggap darurat (GETTY IMAGES)

Penutup

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Adanya kejadian gempa Cianjur yang menelan korban yang tidak sedikit mestinya menjadi cambuk yang membangunkan kita semua sebagai bangsa yang hidup di zona yang sangat rawan dengan bencana alam, untuk lebih serius lagi melakukan mitigasi dengan lebih layak. Seluruh aspek dan sektor perlu melakukan evaluasi dan mengambil langkah yang tepat dan cepat sebelum terjadi gempabumi yang lebih besar lagi di masa yang akan datang.

Referensi

Afshani, A., Bakhshi, A., & Tabeshpour, M.R. (2005). VULNERABILITY AND DAMAGE ANALYSIS OF EXISTING BUILDINGS.
Ainuddin, S., Mukhtar, U., & Ainuddin, S. (2014). Public perception about enforcement of building codes as risk reduction strategy for seismic safety in Quetta, Baluchistan. International journal of disaster risk reduction, 9, 99-106.
ADVERTISEMENT
Alesch, D.J., & Petak, W.J. (2002). Overcoming obstacles to implementation: addressing political, institutional and behavioral problems in earthquake hazard mitigation policies. Earthquake Engineering and Engineering Vibration, 1, 152-158.
Almufti, I., & Willford, M.R. (2014). The REDi Rating System: A Framework to Implement Resilience-based Earthquake Design for New Buildings.
Ambraseys, N. (2010). A Note on Transparency and Loss of Life Arising from Earthquakes. Journal of Seismology and Earthquake Engineering, 12, 83-88.
Andromeda, Z.I., Randi, C., Nazhifah, K., Syahputra, R., Iskandarsyah, & Septyandy, M.R. (2019). Efforts to Improve Community Awareness Towards the Potential of a Great Earthquake Which Threats Jakarta Based On Geographic Information and 3D Simulation Systems in Matraman District, East Jakarta. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 279.
ADVERTISEMENT
Basid, A., Mahardika, I.K., Subchan, W., & Astutik, S. (2021). Mapping risk levels of earthquake damage as disaster mitigation efforts: Case studies in West Java, Central Sulawesi and Lombok.
Burby, R.J., & May, P.J. (1999). Making building codes an effective tool for earthquake hazard mitigation. Global Environmental Change Part B: Environmental Hazards, 1, 27-37.
Comerio, M.C. (2004). Public policy for reducing earthquake risks: a US perspective. Building Research & Information, 32, 403 - 413.
Convertito, V., Caccavale, M., Matteis, R.D., Emolo, A., Wald, D.J., & Zollo, A. (2012). Fault Extent Estimation for Near‐Real‐Time Ground‐Shaking Map Computation Purposes. Bulletin of the Seismological Society of America, 102, 661-679.
Dickson, D. (1979). Budget cuts cause upheavals in earthquake research. Nature, 277, 421-421.
ADVERTISEMENT
Edwards, M.L. (1993). Social Location and Self-Protective Behavior: Implications for Earthquake Preparedness. International journal of mass emergencies and disasters, 11, 293-303.
Escaleras, M., Anbarcı, N., & Register, C.A. (2007). Public sector corruption and major earthquakes: A potentially deadly interaction. Public Choice, 132, 209-230.
Fajar, A., Pandikar, E., & Rahadian, D. (2022). Effectiveness of Social Science Learning on Socialization of Earthquake Disaster Potential and its Mitigation to Students of Junior High Schools in the City of Bandung. Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran.
Freddi, F., Galasso, C., Cremen, G., Dall'asta, A., Di Sarno, L., Giaralis, A., Gutiérrez‐Urzúa, F., Málaga‐Chuquitaype, C., Mitoulis, S.A., Petrone, C., Sextos, A.G., Sousa, L., Tarbali, K., Tubaldi, E., Wardman, J., & Woo, G. (2021). Innovations in earthquake risk reduction for resilience: Recent advances and challenges. International Journal of Disaster Risk Reduction.
ADVERTISEMENT
Fuady, M., Munadi, R., & Fuady, M. (2021). Disaster mitigation in Indonesia: between plans and reality. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1087.
Green, P.A. (2005). Disaster by Design: corruption, construction and catastrophe. British Journal of Criminology, 45, 528-546.
Hendriyawan, Irsyam, M., Asrurifak, M., Meilano, I., Natawidjaja, D.H., Widiyantoro, S., Nugraha, A.D., Sakti, L.M., Sabaruddin, A.S., Faisal, L., Simatupang, P.T., Hutapea, B.M., & Afriansyah, T. (2018). Recent Efforts to Mitigate the Impacts of Earthquake Hazard in Indonesia from Geotechnical Engineering Perspective.
James, E. (2008). Getting ahead of the next disaster: recent preparedness efforts in Indonesia. Development in Practice, 18, 424 - 429.
Kanamori, H. (2012). Earthquake hazards: Putting seismic research to most effective use. Nature, 483, 147-148.
ADVERTISEMENT
Katpatal, Y.B., & Shirkhedkar, S.S. (2021). Fault importance index (FII) as earthquake source criteria for seismic zonation: case study of India. Arabian Journal of Geosciences, 14.
Kurniawan, D., Handayani, V.W., & Pamudi, B.F. (2021). THE COMMUNITY EMPOWERMENT STRATEGY IN FACING THE POTENTIAL EARTHQUAKES IN SURABAYA: A LITERATURE REVIEW. Jurnal Pertahanan: Media Informasi ttg Kajian & Strategi Pertahanan yang Mengedepankan Identity, Nasionalism & Integrity.
Lagomarsino, S., & Podestà, S. (2004). Damage and Vulnerability Assessment of Churches after the 2002 Molise, Italy, Earthquake. Earthquake Spectra, 20, 271 - 283.
Lakhani, V., & Schmidlin, M. (2018). Memoriales de desastres: sitios de recuerdo y olvido.
Liel, A.B., & Lynch, K.P. (2012). Vulnerability of reinforced-concrete-frame buildings and their occupants in the 2009 L'Aquila, Italy, earthquake. Natural Hazards Review, 13, 11-23.
ADVERTISEMENT
Løvholt, F., Setiadi, N.J., Birkmann, J., Harbitz, C.B., Bach, C., Fernando, N., Kaiser, G., & Nadim, F. (2014). Tsunami risk reduction – are we better prepared today than in 2004? International journal of disaster risk reduction, 10, 127-142.
May, P.J., Burby, R.J., & Kunreuther, H. (1998). Policy Design for Earthquake Hazard Mitigation: Lessons from Energy Conservation, Radon Reduction, and Termite Control. Earthquake Spectra, 14, 629 - 650.
Nicholls, S. (2006). Disaster Memorials as Government Communication. The Australian journal of emergency management, 21, 36-43.
Noy, I., Okubo, T., Strobl, E., & Tveit, T.B. (2022). The Fiscal Costs of Earthquakes in Japan. SSRN Electronic Journal.
Padli, J., Habibullah, M.S., Hamid, B.A., & Musa, H. (2019). Mitigating Fatalities and Damages Due to Natural Disasters: Do Human Development and Corruption Matters? Jurnal Ekonomi Malaysia.
ADVERTISEMENT
Post, J., Mück, M., Zosseder, K., Steinmetz, T., Riedlinger, T., Strunz, G., Mehl, H., Dech, S.W., Birkmann, J., Gebert, N., Anwar, H.Z., & Harjono, H. (2008). Tsunami risk assessment for local communities in Indonesia to provide information for early warning and disaster management.
Saito, Y., & Hiroi, U. (2020). The Effect of Tsunami Monument on People’s Disaster Awareness of Pre-disaster in Tsunami Lore. Journal of the City Planning Institute of Japan.
Sato, H.P., Ito, T., Ikeda, Y., Hirata, N., Imaizumi, T., & Ikawa, T. (2001). Significance of Imaging Seismogenic and Active Fault Systems for Earthquake Hazard Mitigation. Journal of Geography, 110, 838-848.
Shaw, R., Kobayashi, K., & Kobayashi, M. (2004). Linking experience, education, perception and earthquake preparedness. Disaster Prevention and Management, 13, 39-49.
ADVERTISEMENT
Verma, M., & Bansal, B.K. (2013). Active fault mapping: An initiative towards seismic hazard assessment in India. Journal of the Geological Society of India, 82, 103-106.
Zamora, N., Gubler, A., Orellana, V., León, J.L., Urrutia, A., Carvajal, M., Cisternas, M., Catalán, P.A., Winckler, P., Cienfuegos, R., Karich, C., Vogel, S.W., Galaz, J., Pereira, S.F., & Bertin, C. (2020). The 1730 Great Metropolitan Chile Earthquake and Tsunami Commemoration: Joint Efforts to Increase the Country’s Awareness.
Zhang, X., Tang, W., Huang, Y., Zhang, Q., Duffield, C.F., Li, J., & Wang, E. (2018). Understanding the causes of vulnerabilities for enhancing social-physical resilience: lessons from the Wenchuan earthquake. Environmental Hazards, 17, 292 - 309.
ADVERTISEMENT