Pro dan Kontra Penghapusan FABA Sebagai Limbah B3

Urwatul Wusqa
Dosen Departemen Geosains UI - Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB University
Konten dari Pengguna
20 Maret 2021 10:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Urwatul Wusqa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasca ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada 2 Februari 2021, muncul perdebatan terkait penghapusan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
ADVERTISEMENT
Pihak yang mendukung keputusan ini berpendapat bahwa FABA mempunyai banyak manfaat sehingga bisa dijadikan sebagai teknologi baru.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Unit 4 di Balaraja, Tangerang. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Komposisi FABA secara fisik mempunyai kemiripan dengan tanah berukuran lempung.
Di dalamnya terkandung banyak silika, yang digunakan sebagai pupuk sekunder untuk tanaman sejenis padi, kelapa sawit, dan sebagainya. Negara yang sudah menerapkan hal tersebut salah satunya adalah Jepang.
Selain itu, karena karakteristiknya yang menyerupai lempung, fly ash juga dapat dimanfaatkan sebagai material pencampur dalam pembuatan semen.
Bahkan bisa dijadikan bahan antibakar, sehingga bangunan tidak mudah terbakar, dan antikorosi, yang akan menimbulkan inovasi sebagai baru, seperti break water. FABA dalam jumlah banyak dapat dimanfaatkan sebagai pelindung pantai di Indonesia.
FABA yang sudah diolah dengan baik sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, bisa dijadikan batu bata, semen, conblock, dan sejenisnya.
Batu bata berbahan dasar Fly ash. Foto: commons.wikimedia.org
Hasil uji karakteristik beracun TCLP dan LD-50 menunjukkan FABA yang dihasilkan PLTU memiliki konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari yang dipersyaratkan pada PP Nomor 22 Tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Hasil uji kandungan radionuklida FABA PLTU juga menunjukkan masih di bawah yang dipersyaratkan.
Adapun KPK beralasan dengan pencabutan FABA dari limbah B3 dapat menghindarkan potensi korupsi dari sektor perizinan, sehingga biaya produk pembangkitan listrik PT PLN menurun dan potensi manfaat FABA untuk sektor industri lain dengan estimasi nilai Rp 300 triliun dapat direalisir.
Juga dapat meminimalisir ruang gerak mafia yang bermain dalam pengelolaan limbah, yang berpotensi merugikan pengelola dan pengusaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Yang mana untuk mengelola FABA dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga sekitar Rp400 jutaan dan rawan memunculkan praktik mafia.
Pengolahan FABA menjadi tidak memerlukan izin Amdal. Foto: energytransition.org
Sekalipun begitu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berpotensi melonggarkan kesempatan korporasi melanggar aturan pengelolaan limbah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Koordinator Nasional JATAM, Merah Johansyah menyoroti kasus-kasus pelanggaran pengelolaan limbah industri yang sudah marak ditemukan, meskipun ketika limbah PLTU masih masuk kategori limbah B3.
Dari sini kita akan mudah melihat adanya ketidakselarasan antara pihak yang pro dan kontra dengan keputusan ini.
Alih-alih perdebatan di seputar masalah saintifik terkait manfaat dari FABA sesungguhnya permasalahan ini lebih kepada rasa keadilan masyarakat yang tidak terpenuhi.
Suasana PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Secara saintifik sangat bisa jadi argumentasi yang diajukan oleh KLHK, KPK, dan pihak yang mendukung pencabutan ini adalah benar.
Namun, di sisi lain adanya penegakan hukum yang lemah, termasuk di dalamnya pemberian izin lingkungan yang sangat rawan dengan praktik korupsi dan nepotisme, ditambah dengan rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah akan perhatian yang lebih tinggi kepada kemaslahatan masyarakat umum yang terdampak oleh adanya industri yang membuang limbah berupa FABA, makin membuat dua persepsi terkait status FABA tidak menemukan titik temu pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Terlebih dengan adanya rekam jejak kasus pelanggaran ketika limbah FABA masih tergolong limbah B3, pengesahan UU Omnibus Law yang sangat kontroversial, ditambah dengan regulasi terbaru yang seakan melonggarkan pihak investor, tentu semakin memunculkan persepsi bahwa pemerintah lebih condong pada pengusaha daripada rakyat.
Mestinya, dengan adanya pencabutan status FABA dari limbah B3 pihak pemerintah pun harus memperlihatkan usaha yang jauh lebih serius dalam mengendalikan dan mengelola lingkungan hidup, utamanya yang bersinggungan erat dan masyarakat umum di sekitar industri.
Bukan tidak mungkin konflik ini akan terus berlanjut jika tidak nampak itikad baik pasca keputusan yang kontroversial ini.
Akhirnya perdebatan ini bukan lagi masalah sains atau hukum saja, namun jauh lebih mendasar yakni terkait masalah rasa keadilan dan kepercayaan publik pada pemerintah, yang tentu harus dijawab dengan lugas dan baik agar terwujud suasana yang kondusif bagi pelaku usaha dan masyarakat secara umum.
ADVERTISEMENT