Jihad Cak Imin untuk Pesantren dan Madrasah

Usep Saeful Kamal
Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
Konten dari Pengguna
13 Maret 2018 19:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usep Saeful Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jihad Cak Imin untuk Pesantren dan Madrasah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai alumni pondok pesantren, penulis sungguh bahagia dan bangga ketika pada bulan desember 2016 lalu muncul inisiasi di DPR terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembanga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren.
ADVERTISEMENT
Bahagia karena bagi penulis atau bahkan bagi jutaan alumni pesantren lainnya, RUU ini dianggap tumbuhkan optimisme lebih bahwa negara sudah mulai ingin hadir ‘perhatikan’ pesantren ditengah citranya yang jarang positif.
Selain dianggap kolot, kumuh, ekslusif (tertutup) dan lainnya, pesantren seringkali dianggap sebagai wadah ‘kecambah’ radikalisme seperti yang akhir-akhir mengemuka. Meskipun, stigma itu terus muncul, tak sedikit pesantren kita yang sudah maju dan modern sehingga dari sisi kualitas tak bisa dipandang remeh lembaga pendidikan lainnya.
Bangga, karena inisiasi itu muncul sebagai bagian dari perjuangan H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai nahkoda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebagai figur sentral santri di parlemen (DPR) beliau gunakan ‘jalan” fungsi legislasinya, dimana DPR memiliki kekuasaan penuh membentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
Nampak bukan hanya wacana, Cak Imin melalui Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) tak pernah lelah mendorong supaya RUU ini masuk prioritas pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada setiap masa sidang.
Masuknya kata pesantren dalam judul RUU melalui ketetapan DPR RI nomor 7/DPR-RI/II/2016-2017 tentang Prolegnas Perubahan RUU 2016-2019 dengan nomor urut 109 dan kemudian dicantumkan kembali pada Prolegnas Prioritas tahun 2018 dengan nomor urut 37 tak lepas dari konsistensi Cak Imin dan FPKB berjihad untuk pesantren.
Tidak berhenti di parlemen, atas inisiasi Cak Imin, diluar parlemen PKB selenggarakan Halaqoh Ulama Rakyat bertajuk “Tabayyun Konstitusi” yang digelar dua hari pada tanggal 28-29 November 2016 di Jakarta yang diikuti ratusan ulama.
ADVERTISEMENT
Diantara rekomendasinya adalah mendorong RUU pesantren dan madrasah untuk diundangkan sebagai upaya menjadikan pendidikan pesantren dan madrasah sebagai upaya gerakan revolusi mental.
RUU ini sebagai elan vital untuk mendorong pemerintah bersikap adil dalam memberikkan supporting system terhadap pendidikan pesantren dan madrasah yang selama ini belum meperoleh perhatian yang semestinya.
Tidak sampai disitu, Halaqoh Ulama kemudian digelar diberbagai wilayah Indonesia sebagai forum tabayun dan kait masukan bagi PKB dalam meneguhkan perjuangannya di DPR. Bahkan hingga hari ini Cak Imin masih road show terkait penguatan ruhul jihad itu.
Penulis kira, ikhtiar dan perjuangan Cak Imin bersama PKB terhadap RUU ini lahir dari sebuah keperihatinan bahwa negara belum hadir hampiri pesantren sebagai entitas yang kontribusinya tidak sedikit demi negeri ini raih kemerdekaannya.
ADVERTISEMENT
Sangat terang jejak Cak Imin bersama PKB mengawal dan menguatkan proses demi proses menuju lahirnya UU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren. Meskipun ada saja pihak lain yang anggap bahwa RUU itu buah perjuangan mereka.
Akar Kultur
Atas fakta empirik penulis yang pernah alami kehidupan di pesantren, penulis meyakini bahwa pesantren merupakan akar kultur (sistem norma) yang memberikan muatan nilai spiritual dan moral yang berefek positif pada perilaku masyarakat dalam berbagai kegiatan: pendidikan, budaya, ekonomi, sosial, politik, kemasyarakatan, dan lain-lain.
Dalam berbagai literatur, pesantren merupakan akar kultur khazanah peradaban di Indonesia yang telah ada sejak zaman Kapitayan sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam dengan misi suci dan risalahnya sebagai agen perubahan.
ADVERTISEMENT
Penulis kira pada indikator tertentu, jati diri pesantren sebagai akar kultur memiliki keunikan baik dari segi tata nilai kehidupan, pandangan hidup dan fungsi sosial yang terus mengalami tantangan perubahan.
Meminjam istilah Martin van Bruinessen, bahwa pesantren adalah salah satu tradisi agung pengajaran agama Islam di Indonesia. Pada perkembangannya, ia tidak melulu menggarap ranah vertikal, tetapi juga mobilitas horizontal.
Karena Pesantren tidak pernah lepas dari bandul kaidah “al-muhafadzatu alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah”, kini ia tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan saja, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian dalam masyarakat.
Mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan kongkrit sebagai ikhtiar merawat dan menguatkan tali kaidah tadi. Tak salah bila NU dengan pesantrennya tidak pernah lekang oleh zaman.
ADVERTISEMENT
Fakta lain, dari sisi sosiologis bahwa penyelenggaraan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren mendapat respon yang baik dari masyarakat. Indikasinya, animo masyarakat muslim kita terhadapnya masih cukup signifikan.
Kaitan dengan madrasah, sesungguhnya ia banyak dibidani kelahirannya oleh pondok pesantren. Wajar jika penyelenggaraan pendidikan madrasah kemudian mendapat perhatian negara menjadi madrasah negeri, meski sebagian besar masih dikelola oleh masyarakat.
Pada konteks historis, madrasah telah tumbuh kembang pada abad ke-19 jauh sebelum Indonesia merdeka. Contoh, Pesantren Tambak Beras-Jombang –Jawa Timur yang kini sudah berusia 1 abad berdiri pada tahun 1915 dulu bernama Mubdil Faan.
Lalu, Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Muballighin, dan Madrasah Diniyah. Al-Irsyad (1913) mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus. Madrasah Sumatera Thawalib berdiri pada tahun 1919 merintis pendidikan diniyah dan sampai sekarang masih eksis.
ADVERTISEMENT
Fakta sejarah bila secara kualitatif pesantren telah melahirkan tokoh inspiratif seperti: RA Kartini santriwati pertama KH Soleh Darat, Buya Hamka, HOC. Cokroaminoto, KH. Mas Mansur, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH KH Hasyim Asyari, KH.Wahid Hasyim, Gus Dur, KH. Ma’ruf Amin, KH. Said Aqil Siradj, dan tentunya Cak Imin.
‘Ala kulli hal madrasah dan pesantren sebagai ragi Islam rahmatan lil’alaimiin, wajib melakukan modernisasi manajemen dan transformasi pemikiran dalam kurikulum pendidikannya dengan prioritaskan nilai kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhennika Tunggal Ika, sehingga stigma pesantren sebagai sarang radikalisme terbantahkan.
Jihad Panglima Santri
Merujuk data Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, 2012-2015 bahwa lembaga pendidikan madrasah mulai tingkat Taman Kanak Kanak/Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah berjumlah 76.551. Adapun Guru Madrasah berjumlah 1.077.606 orang dengan siswa Madrasah berjumlah 7.388.633.
ADVERTISEMENT
Data kuantitatif madrasah tersebut 94,93% dikelola oleh masyarakat, sisanya 5.07% adalah madrasah negeri. Adapun pendidikan madrasah diniyah yang dibidani Pondok Pesantren bejumlah 84.000 murni partisipasi masyarakat. Sementara itu, pesantren yang terdaftar berjumlah 27.230 dengan total santri berjumlah 3.759.198.
Berbeda halnya dengan Data Education Management Information System (Emis): 2016, Madrasah Diniyah Takmiliyah berjumlah 76.566 dan 443.842 pendidik dengan 6.000.062 santri. Pendidikan Al-Qur’an ada 134.850 lembaga dan 134.860 pendidik dengan 7.356.830 santri. Sedangkan, pesantren berjumlah 28.961 dan 322.328 pendidik dengan santri berjumlah 4.028.660
Atas data itu, mengapa RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren menjadi ladang ‘jihad’ Cak Imin dan PKB supaya segera menjadi UU yang miliki kaitan dengan fungsi budgeting (penganggaran) DPR. Pertama, belum proporsionalnya pengalokasian APBN ataupun APBD untuk penyelenggaraan pendidikan di lembaga Madrasah dan Pondok Pesantren.
ADVERTISEMENT
Kedua, masih ada tafsir bahwa urusan agama adalah tersentralisir oleh Pemerintah pusat, tidak diserahkan ke daerah, hanya APBN lah yang berkewajiban membiayai urusan agama kecuali melalui dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Inilah alasan Pemda tidak memberikan perhatian kepada madrasah dan pesantren.
Ketiga, 94,93 persen madrasah dan pesantren dikelola oleh masyarakat yang dirintis dalam keadaan serba terbatas, wajar manajemennya masih minim sehingga berdampak pada kualitas peserta didik dan kesejahteraan guru yang jauh dari kata sempurna.
Berdasarkan data yang penulis peroleh, coba kita bandingkan. APBN tahun 2017 berjumlah Rp 2.080,5 Triliyun (T) dengan alokasi anggaran pendidikan 20 persen berjumlah Rp 416,1 T, yakni: Anggaran Kemendikbud RP 39,8 T, Dana Transfer Daerah untuk Tunjangan Guru PNS Daerah Rp 55,6 T, Kementerian Agama (Kemenag) Rp 50,4 T ( 12,1%).
ADVERTISEMENT
Karena Kemenag menerapkan konsep pembagian kekuasaan secara vertikal, maka jumlah anggaran Rp. 50,4 Triliyun dialokasikan untuk semua layanan agama, pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai Perguruan Tinggi, non pesantren. Jadi, alokasi untuk pesantren hanya Rp. 875 Milyar pertahun (1,8 persen/tahun). Ironis bukan?
Disparitas (ketimpangan) anggaran yang cukup tinggi antara lembaga pendidikan di bawah Kemenag dengan Kemendikbud menjadi alasan lain ruhul jihad Cak Imin (Panglima Santri) dan PKB atas RUU ini sebagai pertanggungjawaban kepada 11.298.950 pemilihnya di Pemilu 2014 yang mayoritas masyarakat pesantren.
Lebih dari itu, bukan hanya bertanggungjawab kepada NU sebagai ibu kandung PKB yang menaungi mayoritas pesantren di Indonesia. Pada akhirnya nanti UU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren ini akan memayungi ormas bahkan agama lain.
ADVERTISEMENT