Menjadi Ahli Waris Pancasila

Usep Saeful Kamal
Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
Konten dari Pengguna
8 Februari 2018 12:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usep Saeful Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masa kecil penulis sudah diakrabi suasana perbedaan kehidupan beragama. Nyaris tiap hari bermain dengan tetangga yang beragama kristen protestan berketurunan China, sebut saja namanya Andrew, Ronald, Yesi, Linda dan lainnya. Kami tinggal berdampingan dan hanya terhalang dua rumah di Kampung Sidamukti Desa/Kec. Pangalengan Kab. Bandung.
ADVERTISEMENT
Sepulang sekolah kami pasti saling kunjungi rumah, bahkan ketika ia sekolah minggu di gereja kadang saya diajak dan kami lanjut main dengan anaknya pendeta, Yossi namanya. Tak ayal persahabatan kami berlangsung sejak masa usia SD hingga SMP sehingga penulis menjadi akrab dengan simbol-simbol agamanya seperti photo Yesus, Bunda Maria, Salib dan lainnya.
Begitupun sebaliknya, kadang penulis ajak ia ke madrasah tempat sekolah agama persis di samping mesjid kampung kami, ya sekedar numpang main galah (gobak sodor) ketika jam istirahat belajar.
Setiap kali perayaan Natal, ayah penulis yang seorang ustadz sekaligus sebagai Ketua RW selalu berkunjung ke gereja untuk ucapkan selamat hari raya Natal dengan bawa tentengan makanan. begitupun sebaliknya bila hari raya Idul Fitri ayahnya Yossi datang ke rumah sekedar ucapkan selamat lebaran sembari bawa tentengan kue kaleng.
ADVERTISEMENT
Begitulah gambaran kerukunan yang dialami penulis di kampung kami yang berpenduduk mayoritas muslim, sementara jumlah jema’ah Gereja Bethel kala itu masih bisa dihitung jari. Kami hidup dalam suasana guyub tanpa ada sekat perbedaan keyakinan beragama atas payung Pancasila.
Pengalaman masa lalu penulis seolah mewakili rasa batin yang miris dimana akhir-akhir ini suasana guyub yang mengedepankan rasa toleransi itu seoalah menjadi barang mahal. Kabarnya, suasana kampung kami pun demikian, kehidupan antar umat beragama menjadi tidak berdampingan lagi tetapi semi “berhadapan”.
Lulus SMP (tahun 1996) penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung di kawasan pondok pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya yang diasuh Alm. KH. Moh. Ilyas Ruhiat, mantan Rois’am PBNU.
ADVERTISEMENT
Belum lama sekolah disana, suatu ketika dalam suasana belajar mengajar tersiar kabar bahwa terjadi kerusuhan di Kota Tasikmalaya, sontak guru pun menghentikan pembeajaran dan mempersilahkan siswa pulang ke pondok.
Saking penasaran, penulis ditemani penduduk sekitar pondok berangkat ke Kota Tasikmalaya sekedar ingin memastikan tentang kabar yang beredar. Sesampainya dilokasi, penulis heran karena setiap toko dan rumah disana ditulisi kata “Muslim”.
Bila teringat pengalaman itu rasanya merinding bulu kuduk karena kala itu mata ini melihat langsung bagaimana kepanikan etnis China yang mayoritas pemilik toko di kota Tasik meronta supaya bisa keluar dari kepungan masa yang kalap merusak dan membakar semua yang mereka miliki.
Lebih dari itu, semua gereja disana tanpa terkecuali dibakar massa yang tersulut emosi karena isu SARA yang entah siapa yang menghembuskannya. Suasana ketir yang dihantui ketakutan itu memunculkan traumatik mendalam bagi warga Tasikmalaya kala itu.
ADVERTISEMENT
Pancasila sebagai Warisan
Dalam buku risalah sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta, 1998) bahwa adagium “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” menjadi bahan perdebatan pada rapat-rapat terkait penyusuna dasar negara, yakni Pancasila.
Perdebatan yang memancing emosi batin tentang adagium tadi adalah ikhtiar para “founding father” (diantaranya KH. Wahid Hasyim) demi mendapatkan kepastian dan menghindari “penolakan publik” ketika Pancasila ini betul-betul disahkan menjadi asas negara dan mengandung muatan maslahah bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Menilik rangkuman substansi masalah yang dimufakati dalam BPUPKI-PPKI pada masa sidang 29 Mei-1 Juni 1945 muncul beberapa gagasan dari anggota BPUPKI, antara lain: Pertama, pidato Muhammad Yamin tanggal 29 Mei mengajukan saran dasar negara terdiri dari: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Kedua, pidato Ki Bagoes Hadikusoemo pada tanggal 31 Mei, beliau menyarankan Islam sebagai dasar negara, mengingat mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Ketiga, pidato Prof. Soepomo pada tanggal yang sama menyampaikan tiga teori negara yakni: teori perseorangan, teori golongan dan teori integralistik. Lebih dari itu beliau memandang tidak perlu ada jaminan hak-hak warga negara secara ekspilit dalam Undang-Undang Dasar.
Keempat, dalam pidatonya Ir. Soekarno tanggal 1 Juni, beliau menyarankan lima prinsip dasar negara yang disebutnya Pancasila. Terdiri dari kebangsaan, internasionalisme, permusyawaratan, perwakilan, kesejahteraan dan ketuhanan. Selain itu, beliau sempat menawarkan pilihan Trisila: socio-nasionalisme, socio democratie dan ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Bahkan beliau pula menawarkan Ekasila, yakni gotong royong.
Munculah polemik pada kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam naskah rancangan Undang-Undang Dasar tanggal 22 Juni 1945. Dilakukanlah upaya menselaraskan alam perasaan dan alam pikiran para tokoh itu memberikan rasionalisasi kepada para “pengikutnya”.
ADVERTISEMENT
Andai saat itu tidak ada “kepastian” dan kesepakatan diantara mereka dengan latar belakang SARA yang berbeda belum tentu kemerdekaan bangsa Indonesia ini bisa diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nampak jelas ketetapan hati, perasaan dan pemikiran mereka melepas jauh egonya masing-masing.
Polemik yang munculkan adagium “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” tadi suka tidak suka harus dirawat keseimbangannya sampai kini dalam bingkai Pancasila. Sehingga terbangun harmonisasi diantara keduanya.
Bila keseimbangan yang ada lepas dari bandulnya, tak mustahil gesekan antara golongan Islam versus golongan kebangsaan bisa porak porandakan keutuhan NKRI ini. Gejalanya seringkali muncul tatkala ada hajat politik, Pilkada DKI Jakarta misalnya.
Perdebatan yang mengisi sejarah pendirian negara terkait Pancasila ini rupanya sudah final. Sebagai ideologi bangsa ia jangan pernah diusik-usih lagi dengan ideologi yang mengancam keutuhan bangsa ini, terlebih didasari atas kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan semata. Warisan ini harus senatiasa dirawat mulai dari pribadi hingga anak cucu kita.
ADVERTISEMENT
Ahli Waris Pancasila
Keakraban penulis dengan suasana perbedaan beragama berlanjut ketika menjadi aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Tasikmalaya. Kami berhubungan baik dengan pemuka agama Kristen, Katholik, Budha dan lainnya, bahkan tak jarang bekerjasama dalam beberapa kegiatan.
Perilaku ini diwarisi oleh panutan kami almarhum KH. Moh. Ilyas Ruhiat pengasuh Ponpes Cipasung Tasikmalaya tempat penulis mondok. Sebagai Rois’Am PBNU kala itu, beliau miliki hubungan baik dengan tokoh pemuka agama di Tasikmalaya, karenanya tak sedikit yang bersilaturahim ke Cipasung.
Pada setiap kegiatan pondok, KH. Moh. Ilyas Ruhiat seringkali memberikan wejangan kepada santri tentang merawat hubungan antar manusia (hablum minannas) sebagai upaya merajut rasa damai ditengah masyarakat. Bersyukur penulis diwarisi nilai luhur sebagai sari pati Pancasila itu.
ADVERTISEMENT
Tahun 2014 penulis mulai tinggal di Kelurahan Tanah Baru Beji Kota Depok pada sebuah komplek perumahan sehubungan dengan hijrah pekerjaan ke Jakarta. Rumah yang kami kontrak diapit oleh keluarga Kristen. Atas pengalaman tadi, tentu tidak aneh dan risi.
Perumahan yang dihuni oleh mayoritas muslim itu memberi kesan tersendiri bagi penulis ketika diantara empat puluh tujuh rumah disana, ada dua rumah dihuni oleh keluarga Kristen. Tak jarang keluarga itu adakan ritual keagamaan dirumahnya. Berjalan beberapa bulan, kami pun makin akrab dengan keluarga itu.
Sebagai media komunikasi dan informasi warga, semua kepala keluarga di komplek itu menjadi anggota group Whatsapp (WA) karena intensitas perjumpaan kami sangat jarang terkait kesibukan masing-masing, sekedar pertemuan bulanan pun tak pernah dihadiri full.
ADVERTISEMENT
Berbeda halnya di grup WA, saling respons terhadap informasipun begitu dinamis terlebih saat ada kejadian aksi 212, yang katanya bela Islam. Tak jarang tema pembicaraanpun mengarah pada isu SARA, padahal ada dua orang Kristen yang menjadi anggota group WA itu.
Penulis pun miris, betapa wajah Islam di grup WA itu seolah memuramkan wajahnya, bahkan tak beri efek ceria bagi non-Islam didalamnya. Berseliwerannya info hoax sungguh megganggu ketentraman kami dalam bertetangga apalagi mencuatnya isu syariat Islam berbalut khilafah yang digembar gemborkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui aksi-aksi masanya.
Berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 80A tanggal 19 Juli 2017, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM resmi mencabut status badan hukum HTI dan resmi membubarkannya karena dianggap anti-Pancasila.
ADVERTISEMENT
Meski telah dinyatakan bubar, ternyata atribut HTI masih bebas dikenakan oleh anak-anak disekitar lingkungan tempat tinggal penulis. Poin penting atas kasus itu betapa orang tua simpatisan atau anggota HTI masih menyimpan bara api atas pembubaran ormasnya.
Bagi penulis, menjadi ahli waris Pancasila adalah keniscayaan karena bersumber pada nilai-nlai suci yang ada dalam agama, terlebih Islam. Tebar nilai Islam dalam Pancasila sebagai nilai etika sosial adalah kunci merawat keutuhan bangsa dan kelak diwariskan anak kita pada cucunya.
Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI, Departemen Lintas Pemuda &Agama PP Ansor