Tali Batin Cak Imin & Kiai dalam Politik PKB

Usep Saeful Kamal
Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
Konten dari Pengguna
19 Februari 2018 0:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usep Saeful Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tanggal 7 hingga 14 Januari 2018 menempatkan elektabilitas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada peringkat keempat. Namun diantara partai dengan basis masa Islam, PKB berada diperingkat paling atas.
ADVERTISEMENT
Fakta itu menunjukkan trend positif bagi PKB dalam menghadapi Pemilu 2019 yang akan digelar tanggal 17 April 2019. Artinya, tidak kurang dari empat belas bulan ini semua partai, khususnya PKB terus berikhtiar meningkatkan elektabilitas (tingkat keterpihan)-nya.
Capaian elektabilitas PKB itu boleh jadi menandakan mesin partai telah menghangat paska starternya digerakkan oleh pemegang kendalinya, yakni H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Sebagai ketua umum, nampak jelas Cak Imin tiada lelah terus melakukan silaturahim kepada simpul-simpul tokoh seantero negeri, terlebih kepada kiai-kiai sepuh.
Bila menilik serpihan historinya, pendirian PKB berawal pada 30 Mei 1998 ketika dilangsungkan istighosah kubro di Jawa Timur. Pada saat yang bersamaan, para kiai berkumpul di kantor PWNU Jawa Timur dan mendesak KH. Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik warga nahdliyin.
ADVERTISEMENT
Atas desakan itu, tanggal 3 Juni 1998 PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU. Forum ini menghasilkan keputusan membentuk Tim Lima yang dibekali Surat Keputusan PBNU.
Setelah dibentuk Tim Lima, seiring semakin derasnya usulan warga NU yang menginginkan adanya partai politik, maka Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas kepada Tim Lima.
Selain itu, dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma'ruf, Lc., Drs. H Abdul Aziz, M.A., Drs. H Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar.
Tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat elaborasi tugas masing-masing. Lanjut, tanggal 26 - 28 Juni 1998 kedua tim ini berkonsinyering di Villa La Citra Cipanas dan hasilkan lima rancangan, yaitu: Pokok-pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda' Siyasi, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan Naskah Deklarasi.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, tanggal 23 Juli 1998 Gus Dur sebagai inisiator bersama deklarator lainnya: KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruhiat, KH A. Mustofa Bisri serta KH A. Muchith Muzadi deklarasikan PKB di Ciganjur.
Meski nampak sangat singkat, tetapi dengan proses kesejaharan yang dilaluinya, hingga kini PKB tidak pernah putus silaturahim dengan para kiai. Cak Imin sadar betul bahwa disamping peran struktur partai, merekalah yang selama ini merawat dan menggerakkan konstituen PKB di level akar rumput.
PKB, kiai dan NU bak setali tiga uang yang tidak dapat dipisahkan. Atas dasar itu, dalam banyak kesempatan Cak Imin selalu instruksikan kader, pengurus dan anggota dewan disemua tingkatan untuk tidak menjauh dari para kiai.
ADVERTISEMENT
Kiai Payung PKB
Peran serta kiai NU tidak bisa dibantahkan dalam proses melepaskan negeri ini dari belenggu penjajah. Lebih dari itu, kiprah kiai NU secara politik tidak bisa dinafikan dalam menjaga keseimbangan tegaknya kemerdekaan Indonesia, meski sejarah ini tidak dipublikasi di era orde baru.
Dalam berbagai level kehidupan, kiai NU berperan strategis dalam konteks politik. Diantaranya, keterlibatan dalam perubahan politik dan ekonomi sehingga wajah praktis-pragmatis didalamnya dirubah menjadi lebih berkesan etis dan spiritual.
Hal ini menjadi elan vital bagi para pelaku politik dan ekonomi lebih memiliki tanggung jawab moral kepada masayarakat, lingkungan sekitar dan sang penciptanya. Bahwa kemudian politik tidak melulu berorientasi ‘kekuasaan”, tetapi mengandung aspek ibadah sebagai manifestasi khalifatullah fil ardl, pemimpin dimuka bumi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, peran kiai dalam politik adalah menghantarkan masyarakat hingga pada kesadaran bahwa politik tidak dicurahkan menjadi ajang aktualisasi nafsu hedonistik bahkan keserakahan tanpa batas yang melabrak aturan main dan etikanya sendiri.
Bagai kiai NU, agama adalah pondasi bagi transformasi sosial dan perekat bagi keragaman masyarakat. Islam datang untuk merubah struktur dan kultur masayarakat arab menuju tatanan yang berkeadaban, adil dan makmur diatas nilai-nilai perbedaan.
Atas dasar itu, terang benderang bahwa posisi kiai menjadi sentral ditengah kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan dalam skala yang lebih luas, bukan menjadi subordinasi dari sebuah kepentingan politik.
Karen PKB didirikan oleh para kiai NU, tak berlebihan kiranya bila PKB kemudian dijadikan wadah untuk memperjuangkan dan mewujudkan kemakmuran serta keadilan warga nahdiyin khususnya, bangsa Indoensia pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Sangat mencolok bila politik PKB lebih mempunyai dimensi dan warna spiritualitasya sendiri. Bukan tanpa alasan, warna politiknya tentu didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran agama yang universal dan bersifat membebaskan sebagai warisan para kiai pendirinya.
Bagi PKB, spiritulaitas bukan semata-mata urusan yang berhubungan dengan hati, akal budi, dan akhirat. Lebih dari itu, spiritualitas dijadikan sebagai aras ikhtiar yang melampaui sesuatu yang bersifat material, duniawi dan jangka pendek.
Berpolitik di PKB dicurahkan sepenuhnya untuk mengawal dan mewujudkan kemaslahatan konstituen dan masyarakat umum sehingga hak-hak dasar mereka sebagai warga negara betul-betul terlindungi dan kesejahteraan adala niscaya.
Hak-hak dasar yang diperjuangkan kiai pendiri PKB yang kemudian diwariskan kepada ahli warisnya sebagai aras perjuangan diantaranya: melindungi agama dan keyakinan setiap orang, keselamatan jiwa atau fisik dari prilaku yang keluar dari ketentuan hukum, keselamatan keluarga, keselamatan harta atau hak milik pribadi, dan kebebasan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Lima hak dasar yang diperjuangkan PKB ini terbukti mampu mentrasnformasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai dasar Islam tentang kehidupan masyarakat seacara luas, terbuka, toleran dan tidak jumud (kaku). Bertabayyun (konfirmasi) kepada kiai dalam ambil keputusan politik, karena kiai NU adalah payung PKB.
Bela Kiai
Julukan Panglima Santri kepada Cak Imin menandai bahwa selain duriyah (keturunan) kiai beliau didapuk untuk menjadi pigur sentral sebagai pembela kiai dalam konteks perjuangan politik warga Nahdliyin.
Saking dekatnya dengan kiai, disamping beliau meminta nasihat kiai yang berada dijajaran pengurus dewan syuro PKB, beliau selalu road show, bersilaturahim ke banyak kiai untuk meminta pandangan atas apa yang akan diputuskan partai.
Nampak betul praktek-praktek berpartai Cak Imin di PKB bersama punggawanya tidak pernah lepas dari nasehat dan pandangan para kiai. Sekedar contoh dalam meminta tabayyun terkait kosongnya jabatan Ketua Dewan Syuro setelah KH. Aziz Mansyur wafat.
ADVERTISEMENT
Beliau selalu memerintahkan para kader dan pengurus disemua level untuk senantiasa meminta pandangan kepada para kiai setiap kali akan mengambil keputusan partai. Walhasil, hubungan harmonis antara PKB dengan kiai tidak bisa terbantahkan.
Pola relasi antara pemimpin, kepemimpinan dan para pengikut yang diwariskan kiai pendahulu NU beliau terapkan dalam membangun rumah politik NU bernama PKB. Meskipun masih ada saja yang masih ‘nyinyir’ terhadap gagasan “monopolitik” NU yang dibangun Cak Imin ini.
Fakta itu menguatkan sinergi antara NU dan PKB disemua tingkatan yang dipertegas dengan kontribusi yang tak bisa dipandang sebelah mata dari PKB untuk NU secara institusi. Ini bukti bahwa PKB tidak pernah “durhaka” kepada ibu kandungnya.
Melalui jargon “Jas Hijau” (Jangan Sekali-Kali Hilangkan Jasa Ulama), sebagai Panglima Santri Cak Imin bertekad dampingi generasi milenial untuk selalu menghargai jasa para ulama. Perjuangan para ulama (kiai) untuk Indonesia sangat besar, merekalah yang mewarisi nilai-nilai nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Sebagai politisi santri, perjuangan beliau hingga penetapan hari santri nasional yang jatuh pada 28 Oktober menjadi rahasia umum, ini kontribusi nyata Cak Imin dalam membela kiai dan perkembangan dunia pondok pesantren.
Disamping itu, jargon itu beliau pekikkan sebagai ikhtiar merawat marwah kiai yang mulai ‘dipendam” perannya sebagai pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Padahal, negeri ini bisa merdeka sebagai hasil perjuangan para kiai siang malam dan lahir batin.
Kendati demikian, Cak Imin selalu menekankan kepada generasi muda NU dan para santri untuk menjadi bagian dari yang menyejukkan Indonesia dan membawa rahmat bagi negeri ini. Tidak dengan cara kekerasan.
Sebagai negeri yang plural, Indonesia membutuhkan peran serta santri bersama generasi muda yang lain untuk menjaga tali persatuan dan kesatuan tetap terikat erat, sehaingga sekecil apapun potensi gesekan harus diputus mata rantainya. Siapa lagi yang bela kiai bila bukan oleh santri!
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR/MPR RI, Keluarga Alumni Cipasung