Perjalanan Panjang dan Kontribusi Etnis Tionghoa dalam Sejarah Indonesia

Miki Suhendri
Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
3 Juni 2024 11:34 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miki Suhendri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : https://www.pexels.com/photo/photo-of-chinese-temple-2846075/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://www.pexels.com/photo/photo-of-chinese-temple-2846075/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia, negara yang beragam dan berbudaya, telah menghadapi berbagai isu sensitif sejak awal kemerdekaannya. Salah satu isu yang paling sensitif dan kompleks adalah status warga negara bagi komunitas Tionghoa di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih jauh tentang sejarah dan perkembangan Etnis Tionghoa di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Asal Usul dan Peran Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Etnis Tionghoa pertama kali datang ke kepulauan Nusantara sebagai pedagang dan pekerja kontrak pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Mereka membawa serta keahlian dalam perdagangan dan manufaktur, memperkenalkan teknik-teknik baru dan produk-produk yang kemudian menjadi bagian penting dari ekonomi lokal.
Selama periode kolonial, masyarakat Tionghoa sering kali diintegrasikan dalam sistem ekonomi yang terpusat di sekitar kota-kota pelabuhan seperti Batavia (sekarang Jakarta), Semarang, dan Surabaya. Namun, mereka juga sering menghadapi diskriminasi dan perlakuan tidak adil dari penguasa kolonial maupun masyarakat lokal.
Pada tahun 1854, pemerintah Hindia Belanda mengategorikan orang-orang Cina sebagai "Timur Asing," yang berarti mereka bukan bagian dari masyarakat asli Indonesia. Kategori ini telah menempel pada masyarakat Cina dan menjadi dasar untuk diskriminasi yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa terus berlanjut. Pada tahun 1945, Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia mengatur bahwa warga negara harus memiliki darah asli Indonesia. Kebijakan ini membuat komunitas Tionghoa kesulitan untuk diakui sebagai warga negara.
Pada masa Reformasi, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diangkat menjadi presiden ke-4 dan membuka kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut ditandai dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Bahkan Gus Dur sempat menjadi saksi dan secara lantang membela pasangan Tionghoa yang ingin menikah namun ditolak oleh kantor catatan sipil yang merupakan institusi legal negara dalam pengesahan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Kontribusi dalam Pembangunan Ekonomi dan Budaya
Meskipun menghadapi tantangan, masyarakat Tionghoa terus berperan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Mereka mendirikan bisnis-bisnis yang sukses di berbagai sektor, mulai dari perdagangan hingga industri manufaktur, dan memainkan peran penting dalam mengembangkan infrastruktur ekonomi nasional.
Selain itu, mereka juga melestarikan dan memperkaya warisan budaya Indonesia melalui praktik-praktik tradisional seperti seni bela diri, musik, dan kuliner. Festival-festival budaya Tionghoa seperti Imlek dan Cap Go Meh telah menjadi bagian dari kalender budaya Indonesia yang meriah dan berwarna-warni.
Etnis Tionghoa telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keragaman budaya Indonesia, membawa dengan mereka warisan yang kaya dan kontribusi yang beragam dalam pembangunan negara. Dengan menjaga keberagaman dan menghargai kontribusi setiap kelompok etnis, Indonesia dapat terus maju sebagai negara yang inklusif dan dinamis.
ADVERTISEMENT