Konten dari Pengguna

Tibanya Aksara untuk Budaya Literasi

Fira Deyanti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta
7 September 2024 15:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fira Deyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: dok pribadi
zoom-in-whitePerbesar
sumber: dok pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksara berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang terdapat dalam gua Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar-gambar itu disebut dengan piktogram, hingga beberapa waktu kemudian gambar-gambar piktogram itu benar-benar menjadi sistem tulisan. Dalam tulisan piktograf ini, satu huruf yang berupa satu gambar melambangkan satu makna atau konsep.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem tulisan berubah menjadi lebih sederhana, salah satunya adalah tulisan paku. Aksara paku ini kemudian diambil alih oleh orang Persia, yakni pada zaman Darius I (522 – 468 SM), tetapi tidak untuk menyatakan gambar, gagasan, atau kata, melainkan untuk menyatakan suku kata. Sistem yang demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Kemudian aksara silabis ini mempengaruhi sistem tulisan bangsa lain, termasuk bangsa Fenesia. Tulisan silabis orang Fenesia kemudian diambil alih oleh orang Yunani, tetapi karena bahasanya berlainan, maka sifat silabisnya ditinggalkan. Orang Yunani mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf.
Selanjutnya aksara Yunani ini diambil alih oleh orang Romawi pada abad-abad pertama masehi aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara latin) menyebar ke seluruh dunia. Kemudian tiba di Indonesia sekitar abad XVI (Abdul Chaer: 2014).
ADVERTISEMENT
Namun, meski umat manusia sudah mengenal aksara, sampai tahun 1966 masih terdapat 350 juta jiwa di penjuru dunia yang masih buta huruf. Padahal, literasi menjadi salah satu faktor penting yanag mendorong kemajuan suatu negara. Oleh karena itu, dalam upaya melawan buta aksara diselenggarakan sebuah Konferensi Dunia UNESCO, hingga kemudian dideklarasikan sebuah hari aksara internasional pada tanggal 8 September 1967 dan selalu diperingati setiap tahunnya hingga sekarang.
Sejak lama, literasi diakui sebagai salah satu faktor penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara. Kemampuan masyarakat untuk mengakses dan memahami informasi menjadi prasyarat utama bagi peningkatan taraf hidup, pengentasan kemiskinan, serta penciptaan lapangan kerja. Menurut UNESCO, negara-negara dengan tingkat literasi tinggi cenderung memiliki ekonomi yang lebih stabil dan masyarakat yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara berkembang masih menghadapi tantangan dalam hal literasi. Berdasarkan data UNESCO pada 2020, sekitar 87% penduduk Indonesia sudah melek aksara. Meski sudah melek aksara, kenyataan bahwa minimnya minat literasi masyarakat Indonesia sudah bisa kita ketahui bersama, bahwa UNESCO mrenyebutkan Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya mencapai 0,001%. Mengingat bahwa melawan buta aksara adalah demi kepentingan kemampuan literasi, nyatanya melek aksara pun belum bisa menentukan kemampuan literasi itu sendiri di Indonesia.
Kemampuan literasi yang baik, membuat seseorang mampu memahami isu-isu penting yang terjadi di sekitarnya, seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, hingga kebijakan publik. Hal ini pada akhirnya mendorong terbentuknya masyarakat yang lebih kritis dan berdaya. Oleh karena itu, pentingnya budaya literasi sesungguhnya sangat mempengaruhi kualitas suatu negara.
ADVERTISEMENT