Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Banjir Produk Tiongkok: Ancaman Senyap Industri Lokal yang Terlupakan
13 Mei 2025 19:18 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari carol angelina shalim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami lonjakan signifikan dalam masuknya produk-produk asal Tiongkok ke pasar domestik. Fenomena ini bukan hanya soal persaingan dagang biasa, melainkan bentuk baru dari “perang ekonomi” yang dilakukan dengan cara halus namun sistematis menguasai pasar negara lain melalui harga murah, kecepatan produksi, dan strategi distribusi digital yang luar biasa efisien. Saat masyarakat menikmati harga terjangkau, industri lokal justru makin tersudutkan dan kehilangan daya saing.
ADVERTISEMENT
Pada Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor Indonesia mencapai US$18,86 miliar, mengalami kenaikan sebesar 5,18% secara bulanan (month to month) dibandingkan Januari 2025. Jika dibandingkan secara tahunan (year on year), impor nasional meningkat 2,30%, dengan pertumbuhan signifikan di sektor non-migas sebesar 3,47%, meskipun impor migas justru turun 3,76%. Menariknya, Tiongkok tetap menjadi negara asal impor non-migas terbesar Indonesia dengan kontribusi mencapai 37,81% atau senilai US$6,05 miliar.
Fashion dan Tekstil Jadi Industri Tradisional yang Tersingkir
Sektor fashion menjadi salah satu yang paling terpukul. Merek fast fashion asal Tiongkok seperti Shein, Ximivogue, dan beberapa brand OEM yang dijual bebas di e-commerce telah menggerus pasar domestik secara masif. Dengan desain kekinian, produksi massal, dan harga yang sangat murah, produk Tiongkok tak hanya menarik konsumen, tetapi juga menghabisi UMKM lokal yang mengandalkan produksi skala kecil.
ADVERTISEMENT
Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), industri tekstil Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam tiga tahun terakhir akibat kebijakan impor yang longgar, yang memungkinkan produk tekstil asing, terutama dari Cina, masuk dengan harga lebih murah, bahkan di bawah harga bahan baku lokal. Hal ini menyulitkan produk lokal untuk bersaing dan diperburuk dengan dugaan barang ilegal. Dampaknya, sekitar 13.800 pekerja kehilangan pekerjaan, dan banyak perusahaan menutup pabrik atau mengurangi pekerja. Pasar domestik jenuh dengan produk impor, sementara daya beli masyarakat menurun.
Kelebihan pasokan dari Cina, yang akibat pembatasan ekspor ke AS dan Eropa, semakin memperburuk situasi. Bahkan perusahaan besar seperti PT Kusumahadi Santosa dan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) terpaksa mengurangi tenaga kerja hingga ribuan orang karena turunnya permintaan akibat dominasi produk impor. Kondisi ini diperparah dengan akses Tiongkok yang lebih unggul dalam mendapatkan bahan baku murah dan kapasitas produksi besar yang tidak dimiliki pelaku lokal.
ADVERTISEMENT
Merek Lokal Skincare dan Kosmetik Terkepung dari Semua Sisi
Bergeser ke sektor kosmetik dan perawatan kulit, merek Tiongkok seperti Bioaqua, Judydoll, O.TWO.O, dan YOU mendominasi etalase digital di Shopee, Tokopedia, hingga TikTok Shop. Produk-produk ini dijual dengan harga mulai dari Rp20.000–50.000 dengan kemasan mewah dan promosi masif melalui influencer.
Berdasarkan data Compas.co.id yang dirilis CNBC Indonesia pada 22 April 2024, dalam periode 13 Maret hingga 2 April 2024, merek kosmetik asal China seperti Lameila mendominasi penjualan secara daring, dengan total penjualan mencapai 1.056.691 unit melalui platform e-commerce Tokopedia dan Shopee. Dari total penjualan kosmetik selama periode tersebut yang mencapai 5.568.408 unit, produk-produk China mengambil porsi signifikan.
Situasi ini membuat merek-merek lokal skincare dan kosmetik kian terjepit dari berbagai sisi mereka harus bersaing dengan harga produk impor yang jauh lebih murah, daya saing digital yang tinggi serta preferensi konsumen yang mulai beralih ke produk luar negeri karena aksesibilitas dan strategi pemasaran agresif di platform daring.
ADVERTISEMENT
Kemasan Jadi Industri Pendukung UMKM yang Kian Terjepit
Tak banyak yang menyadari bahwa industri kemasan pun sedang mengalami invasi senyap. Banyak UMKM kuliner, kosmetik, dan produk rumahan lainnya kini lebih memilih membeli botol plastik, pouch standing, hingga label stiker dari pemasok China di Tokopedia, Shopee, atau Alibaba. Indonesia mengalami lonjakan impor plastik, baik bahan baku maupun produk jadi, terutama dari China yang menyumbang 51,9% dari total impor. Neraca perdagangan plastik mengalami defisit besar, mencapai US$ 1,7 miliar pada 2023 karena impor sebesar US$ 3,27 miliar jauh melampaui ekspor yang hanya US$ 1,49 miliar.
Data hingga April 2024 menunjukkan tren serupa, dengan nilai impor mencapai US$ 233,15 miliar, sedangkan ekspor hanya US$ 103,47 juta. Kebutuhan plastik dalam negeri terus meningkat namun belum dapat dipenuhi oleh produksi lokal, yang baru mampu memasok sekitar 50–60% dari total kebutuhan nasional, terutama untuk jenis PE dan PP. Impor terbesar terjadi pada sektor plastik rumah tangga, bahan bangunan, kemasan, dan plastik lainnya, menunjukkan bahwa ketergantungan pada impor masih sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, produsen kemasan lokal mengalami overstock, omzet turun, dan bahkan harus menutup pabrik karena kehilangan pelanggan. Ini ironis, mengingat sektor UMKM disebut-sebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ketergantungan pada kemasan impor juga sangat berisiko jika terjadi embargo atau gangguan logistik internasional.
Respon Pemerintah: Tarif Impor Naik, Tapi Belum Cukup
Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mulai memperketat pengawasan terhadap barang impor asal China sebagai dampak dari kebijakan tarif dagang yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat. Dirjen Bea Cukai Askolani menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk mengantisipasi kemungkinan lonjakan barang-barang dari China yang dialihkan ke Indonesia setelah tertahan masuk ke pasar AS.
Pemerintah pun menyiapkan instrumen seperti Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk menjaga stabilitas pasar domestik dari serbuan produk asing yang berpotensi merugikan industri dalam negeri. Fenomena serupa juga telah terjadi di kawasan Eropa, di mana barang-barang China mencari celah pasar alternatif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, DJBC bersama Kementerian Keuangan terus memperkuat koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk memperbaiki kebijakan impor demi mendukung pencapaian target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada laporan keuangan terbaru per Maret 2025, penerimaan dari bea masuk tercatat sebesar Rp11,3 triliun atau turun 5,8 persen secara tahunan, terutama akibat penurunan impor beras, gula, dan kendaraan bermotor.
Namun, penerimaan dari bea keluar justru melonjak hingga Rp8,8 triliun karena tingginya ekspor produk sawit dan konsentrat tembaga. Sementara itu, penerimaan dari cukai juga meningkat 5,3 persen secara tahunan, menandakan adanya pergeseran komposisi pendapatan negara dari sektor kepabeanan.
Solusi Jangka Panjang: Literasi, Inovasi, dan Proteksi yang Adil
Langkah proteksionis memang perlu sebagai tameng jangka pendek. Namun, solusi utamanya terletak pada peningkatan kapasitas produksi dalam negeri melalui insentif teknologi, pembebasan pajak bahan baku, pelatihan SDM industri kreatif, dan penguatan rantai pasok. Pemerintah juga perlu mendorong program “Bangga Buatan Indonesia” tidak hanya sebagai slogan, tetapi sebagai gerakan ekonomi nasional yang diberi insentif nyata dan dukungan promosi yang setara. Di sisi lain, konsumen harus dibekali literasi kritis untuk memilih produk berkualitas, legal, dan mendukung ekonomi lokal.
ADVERTISEMENT
Invasi produk Tiongkok tidak lagi menjadi sekadar fenomena ekonomi biasa. Ini adalah ujian nyata terhadap ketahanan industri dalam negeri. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pasar konsumen pasif bagi barang murah luar negeri, tanpa kemampuan memproduksi sendiri. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat agar Indonesia bisa bertahan dan tumbuh di tengah arus perdagangan global yang semakin kompetitif dan tidak seimbang.