Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dokter dalam Genggaman UU Kesehatan
13 Agustus 2023 7:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Agung Sapta Adi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan Politik Etis Belanda di bidang pendidikan melahirkan kelompok elite baru berupa kaum terpelajar, atau kaum intelektual. Sebelumnya Belanda memberikan penghormatan kepada elite lama berdasarkan struktur politik yang berlaku pada masyarakat pribumi yaitu penguasa pribumi: raja, patih, penguasa lokal bupati, wedana, asisten dan lurah.
ADVERTISEMENT
Perkembangan dari Sekolah Dokter-Djawa kemudian berubah menjadi School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA atau Sekolah untuk Pendidikan Kedokteran Pribumi) pada tahun 1902 dan berdiri pula Nederlandsche-Indische Artssenschool (NIAS atau Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya pada tahun yang sama sebenarnya seiring dengan semakin meluasnya usaha perkebunan swasta di Hindia Timur di mana kesehatan para pekerja menjadi aset penting.
Tumbuhnya Kesadaran Kelas
Dokter sebagai priyayi rendahan di bawah petugas administrasi pemerintahan seperti bupati atau birokrat lainnya. Karena kegagalan priyayi atas memperlakukan dokter secara profesional (status sosial bukan sekadar hadiah) mendorong dokter sebagai elite yang memiliki kesadaran nasional dalam tiga hal:
1. Kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan;
2. Mempersepsikan dan memaknai watak imperialisme yang dipraktikkan kolonial Belanda;
ADVERTISEMENT
3. Pandangan atas arah dan tujuan yang harus dicapai di masa mendatang.
Keinginan memanfaatkan profesi dokter untuk kepentingan imperialisme ternyata gagal total karena elite dokter justru berpihak pada rakyat, mereka memiliki rasa nasionalisme dan keberanian bersikap.
Saat pendidikan dokter STOVIA, mereka juga mempelajari ilmu sosial dan politik serta berinteraksi langsung dengan rakyat. Lewat tulisan dan organisasi para dokter dan mantan pelajar STOVIA banyak melakukan perubahan.
Dokter Indonesia di Tengah Neoimperialisme
Walaupun sudah merdeka 78 tahun, bangsa Indonesia belum bisa terbebas dari neoimperialisme, bahkan merasa nyaman sebagai bangsa terjajah. Sumber daya alam dikuasai serta dimanfaatkan oleh asing dan kita hanya menjadi konsumen setia produk mereka.
Transformasi teknologi yang terbatas merupakan bentuk imperialisme baru, tenaga ahli kita hanya menjadi "budak" atau sekadar operator proyek nasional yang mereka buat. Tanpa disadari kita memberikan kontribusi besar atas berkembangnya neoimperialisme.
ADVERTISEMENT
Dunia kedokteran adalah benteng kedaulatan bangsa sekaligus bagian dari sistem ketahanan nasional, sejarah membuktikan bahwa wawasan berpikir berbangsa dan bernegara tumbuh ketika kolonial Belanda membuka akses pendidikan dokter bumiputera.
Semestinya kita sudah memiliki kemampuan mumpuni di bidang kedokteran dan dapat melepaskan diri dari ketergantungan asing, sayangnya pemerintah “tergoda” untuk membuka akses asing masuk melalui UU Kesehatan Omnibuslaw yang disahkankan bagai sinetron kejar tayang pada 11 Juli 2023.
Konsep Industri Kesehatan yang “diusulkan” KADIN seakan lebih diperhatikan dibanding suara kumpulan Profesor dalam FGBLP (Forum Guru Besar Lintas Profesi) yang membuat Petisi Penundaan RUU Kesehatan.
Ketidakmandirian menyebabkan keuntungan finansial besar bagi kapitalis asing untuk berinvestasi. Ancaman besar atas ketahanan nasional ketika kerawanan data genetik serta data kesehatan lainnya berpotensi dimanfaatkan asing.
ADVERTISEMENT
Dunia pendidikan dokter tercemar dengan komersialisasi dan hanya mampu memenuhi target kuantitas. Anak bangsa yang memiliki kemampuan intelektual hanya dapat bersaing masuk FK bila didukung finansial yang kuat. Sangat jarang anak petani, anak nelayan, anak buruh dan sejenisnya dapat berkuliah di Fakultas Kedokteran.
Mahasiswa Kedokteran terkelompok dalam strata sosial dan ekonomi yang relatif sama, menimbulkan dokter yang bermental elite atau saya sebut dokter elite yang lambat laun akan menyebabkan dokter Indonesia tidak mampu “membumi”, tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, tidak dapat merespons kebutuhan masyarakat dan pada akhirnya tidak memiliki arah dan tujuan profesionalisme kebangsaan untuk masa depan.
Dokter terdidik untuk menjadi "buruh" industri kesehatan dan bergantung dengan sistem yang mereka buat. Dokter dipaksa pasrah padahal perubahan harus diawali dari kesadaran internal sebagaimana tumbuhnya kesadaran kelas di era STOVIA.
ADVERTISEMENT
Beralasan untuk kepentingan rakyat, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengubah regulasi kesehatan dan praktek kedokteran yang membahayakan kualitas pelayanan disisi lain pintu dokter asing dibuka tanpa kualifikasi yang sesuai.
Dokter asing dijadikan alat kapitalisme sebagaimana dokter Indonesia. Framing bahwa dokter Indonesia tidak “berkualitas” akibat peran IDI yang terlalu berlebihan secara struktur dan sistematis dinarasikan kepada publik. STR (Surat Tanda Registrasi) seumur hidup, SIP (Surat Izin Praktek) tanpa rekomendasi IDI, kemudahan sekolah spesialis Berbasis Kolegium seakan menjadi solusi instan atas kegagalan regulasi yang dipersalahkan pada IDI.
Ancaman terhadap kedaulatan kesehatan dan pemanfaatan dokter untuk kepentingan neoimperialisme bukanlah fatamorgana di negeri ini. Dokter pendahulu merupakan perintis bangsa, menjadikan profesi bukan sekadar mata pencaharian namun menjadi alat perjuangan, elite dokter berhasil merakyat, mengambil peran bersama rakyat untuk negeri ini.
ADVERTISEMENT
Sungguh ironis ketika kolonial Belanda gagal memanfaatkan elite dokter untuk kepentingan imperialisme, saat ini pemerintah berupaya mencetak dokter elite, menjauhkan dokter dari cita-cita luhurnya, pragmatisme dan oportunistik menjadi paham dokter elite, profesi dokter kehilangan kemampuan berpikir dan bersikap kritis.
Akhirnya kesehatan hanya bermanfaat untuk kepentingan politis dan kapitalis.
-------------------------------------------------------------------------
Penulis: Agung Sapta Adi, Dokter Spesialis Anestesi & Terapi Intensif, Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB)