Integritas yang Tergadaikan

Agung Sapta Adi
Dokter Spesialis Anestesi & Terapi Intensif Presidium DIB (Dokter Indonesia Bersatu)
Konten dari Pengguna
7 September 2023 15:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Sapta Adi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi di bidang kesehatan. Foto: dani daniar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi di bidang kesehatan. Foto: dani daniar/Shutterstock

Korupsi dan Integritas

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Integritas (berasal dari kata Inggris, integrity) secara definisi berarti: kepengikutan dan ketundukan kepada prinsip-prinsip moral dan etis (adherence to moral and ethical principles); keutuhan karakter moral (soundness of moral character); kejujuran (honesty); tidak rusak secara moral (morally unimpaired) atau keadaan moral sempurna tanpa cacat (morally perfect condition).
ADVERTISEMENT
Integritas menunjukkan konsistensi antara ucapan dan keyakinan sehingga orang berintegritas memiliki sikap jujur, tulus, dan dapat dipercaya. Orang yang memiliki integritas bertindak transparan dan konsisten. Orang berintegritas menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela.
Korupsi dan integritas merupakan dua hal yang sangat bertolak belakang, integritas merupakan antitesis dari korupsi yang merupakan penggunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan tidak syah atau ilegal baik oleh individu maupun kelompok yang memegang kekuasaan, otoritas dan wewenang. Karena itu, penciptaan dan penguatan integritas para pejabat publik merupakan salah satu faktor terpenting dalam pemberantasan korupsi.
Korupsi didasari ketidakpedulian akan kepentingan negara, sedangkan integritas memiliki ciri sikap kepedulian dan kesadaran penuh akan tanggung jawab yang diembannya sehingga tidak terjadi penyelewengan jabatan. Munculnya korupsi karena kegagalan penanaman nilai-nilai integritas moral individu dimulai dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga.
ADVERTISEMENT
Pejabat korup cenderung gagal menekan hasrat pribadi serta gagal menanamkan nilai-nilai moral yang sesuai dan yang dibutuhkan masyarakat. Pejabat yang bermasalah dalam keluarga, semisal “berselingkuh“ akan sulit menjaga integritas moralnya di lingkungan kerja yang menjadi kekuasaannya sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dan cenderung menghalalkan segala cara.
Salah satu hambatan pemberantasan korupsi karena korupsi melibatkan banyak orang atau instansi, sehingga setiap orang yang mencoba melacaknya salah-salah malah terjerat masuk ranjau. Kementrian Kesehatan (dahulu Depkes) mencatat sejarah, banyak pejabatnya termasuk Menteri menjadi terpidana korupsi, begitupula pimpinan daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) seringkali tersangkut korupsi di sektor kesehatan.

Panen Korupsi Pasca Pengesahan UU Kesehatan

Ilustrasi korupsi di bidang kesehatan. Foto: Prostock-studio/Shutterstock
Berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meningkatkan potensi fraud dalam layanan kesehatan di Indonesia. Sistem yang rapuh untuk mencegah korupsi dan justru menginduksi korupsi ini terjadi karena tekanan akibat sistem pembiayaan kesehatan yang irasional serta tidak berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Karena pemerintah dianggap tidak fair, akhirnya terjadi cara-cara untuk survive, mencari peluang bertahan sekaligus mendapatkan keuntungan dalam Program JKN. Walaupun Fraud layanan JKN berpotensi merugikan dana kesehatan negara dan dapat menurunkan mutu layanan kesehatan namun Fraud (kecurangan) dalam pembelian alat kesehatan akan jauh lebih dahsyat dampaknya.
Pasca pengesahan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, mark up atau penggelembungan harga pengadaan alat kesehatan akan menjadi modus korupsi paling umum, modus lain dengan membuat dokumen fiktif, pengaturan lelang dan perubahan spesifikasi teknis barang yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak.
Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengungkapkan tiga sektor rawan korupsi di lingkungan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yakni pengadaan barang/jasa, perizinan, dan praktik jual beli jabatan."Di kasus temuan KPK, dilihat bahwa potensi terjadinya korupsi paling banyak pertama adalah pengadaan barang dan jasa. Kedua, perizinan.
ADVERTISEMENT
Yang ketiga, jual beli jabatan, seperti mau dipromosikan jabatannya bayar, mau mutasi bayar, dan mau pindah bayar. “Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan temuan KPK, bahwa penyelenggara negara dan pihak swasta kerap kali melakukan praktek kongkalikong untuk melakukan penggelembungan harga mulai 500 persen, hingga 5000 persen dari harga asli (24/8).
Banyak faktor penyebab pengadaan alat kesehatan jadi obyek utama korupsi. Pertama, alokasi anggarannya besar. Apalagi dalam era Transformasi Kesehatan, Menkes menargetkan 34 rumah sakit pemerintah di seluruh provinsi pada 2024 bisa melayani penyakit kanker, jantung, stroke, dan uronefrologi.
Secara bertahap, Kemenkes akan menyediakan alat kesehatan lengkap untuk empat penyakit tersebut pada setengah dari seluruh RSUD di kabupaten/kota. Alat kesehatan yang dibutuhkan untuk pengobatan jantung dan stroke antara lain Echocardiography, CT-Scan, Cath lab, Set Kamar OK, IABP, Rotablator, IVUS-FFR, MRI, Mikroskop Neuro, Heart Lung Machine, dan OCT.
ADVERTISEMENT
Untuk kanker dibutuhkan Mammography, SPECT CT, Flowcytometer, IHK, Bronchoscopy, Brachiterapy, CUSA, LINAC, PET-CT, dan CT Simulator. Alat kesehatan untuk uronefrologi adalah Set endourology, ESWL, C-Am, USG Doppler, Video Urodynamic, Laser Holmium, Automated Peritoneal Dialysis, PCNL, URS, dan Tissue typing.
Kemenkes juga akan melengkapi alat kesehatan untuk kesehatan ibu dan anak di seluruh RSUD. Yakni berupa Mesin Anestesi, Patient Monitor, Ventilator, USG Fetomaternal, Inkubator Bayi, MALDI Tofs, Laser Ablation, HFOV, Mesin Nitrit Oxide, HFOT, dan HFNC.
Anggaran yang diperlukan untuk mengejar target 50 persen kabupaten/kota tersebut sebesar Rp3,55 triliun. Alokasi anggaran tersebut disalurkan ke daerah sehingga yang melakukan pembelian alat kesehatan adalah pemerintah daerah.
“Saat ini sudah 55 persen alat kesehatan yang sudah sampai di beberapa RSUD. Dari 55 persen itu ada alat yang sudah terpasang, ada juga alat yang dalam proses instalasi,” jelas Dirjen Azhar Jaya.
ADVERTISEMENT
Alat kesehatan memiliki banyak substitusi. Satu jenis barang dengan fungsi dan spesifikasi yang sama bisa diproduksi banyak perusahaan. Kualitas dan harga berbeda-beda. Yang jadi masalah adalah perbedaan harga sering kali dimanfaatkan sebagai peluang untuk korupsi, dengan mencari keuntungan dari selisih harga.
Dalam pengusulan anggaran, spesifikasi mengacu pada barang yang berkualitas tinggi misal diproduksi perusahaan dari Eropa atau Amerika, realisasinya yang dibeli berkualitas lebih rendah dengan harga yang jauh lebih murah. Perangkat medis yang dibeli dalam proses korupsi berkualitas buruk, pelayanan purna jualnya jelek, serta tidak presisi.
Selain jenisnya banyak, spesifikasi alat kesehatan umumnya sangat rumit. Tidak semua praktisi di bidang alat kesehatan bisa memahami dan membedakan antara alat berkualitas rendah dan tinggi. Karena cukup rumit, tak banyak yang mau dan mampu mengawasi pengadaan alat kesehatan.
ADVERTISEMENT
Berbagai manipulasi dan penyelewengan dengan mudah dilakukan. Bisa jadi alatnya canggih tapi tidak diperlukan di rumah sakit penerima bahkan seringkali kesulitan untuk pembiayaan operasional alat dan maintenancenya.
Dalam banyak kasus, pemerintah memaksa mengadakan alat yang ternyata berbeda dengan kebutuhan rumah sakit dan puskesmas. Selain menyebabkan kerugian keuangan negara, korupsi alat kesehatan menjadi biang keladi buruknya pelayanan kesehatan.
Peralatan tidak memadai dan kekurangan obat merupakan dua masalah utama yang paling banyak dikeluhkan masyarakat terkait dengan rumah sakit milik pemerintah dan puskesmas. Korupsi membuat masyarakat sulit mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas karena dananya habis dikorupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai UU Kesehatan belum mampu menjawab masalah korupsi dan fraud di bidang pelayanan kesehatan. Menurut peneliti ICW, Dewi Anggraeni sepanjang tahun 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kerugian negara sekitar Rp 73,9 miliar.
ADVERTISEMENT
Kasus yang ditindak penegak hukum umumnya berkaitan dengan pembangunan, khususnya pembangunan puskesmas dan pengadaan alat kesehatan. "Itu baru tahun 2022. Jadi bisa saja 27 kasus di tahun 2022 hanya fenomena gunung es, hanya sedikit yang tampak di permukaan. Tapi kasusnyaitu lebih banyak," ujarnya.
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan tidak memberikan informasi yang rinci mengenai penggunaan anggaran selain total anggaran yang direalokasi dan direalisasikan, itupun hanya informasi gelondongan tanpa data pelengkap apapun (Potensi Korupsi Alat Kesehatan di Kondisi Pandemi, Kajian ICW).
Dengan alasan darurat, penanganan pandemi Covid-19 sangat jauh dari transparan dan menimbulkan potensi korupsi yang sangat besar. Oligarki memberikan peluang pelaku melanggengkan praktik korupsi serta mencari keuntungan dari bisnis kesehatan melalui hegemoni kekuasaan dan pembentukan UU Kesehatan Omnibuslaw.
ADVERTISEMENT
Upaya pencegahan korupsi di sektor kesehatan amat penting dan mendesak, karena dampak yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi jauh lebih luas dibandingkan bidang lain.
Sektor kesehatan memiliki karakteristik tersendiri yang unik, dengan faktor-faktor risiko seperti asimetri distribusi informasi, ketidakpastian mekanisme pasar, dan besarnya pengeluaran publik, serta kompleksitas lain yang menyebabkan rawannya tindakan korupsi.
Tidak hanya mencegah korupsi, Pemerintah semestinya juga memiliki kebijakan pembiayaan kesehatan yang menjamin akses bagi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dengan kualitas memadai dan berkeadilan bagi pelaku pelayanan kesehatan sehingga keberlangsungan program berjalan baik dan tercapai target-target di bidang kesehatan.
Menjadi amat penting untuk membahas dan menggali integritas kepemimpinan di bidang Kesehatan karena catatan buruk Menkes yang telah menebar hoax problematika kesehatan dan kedokteran untuk mengalihkan perhatian publik dari muatan Kapitalisasi dan Liberalisasi dalam UU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Apakah mungkin ambisi sesat dan arogansi pengambil kebijakan tanpa disertai krisis moral? Integritas yang tergadaikan pastinya akan menuai badai. Kita tunggu saatnya, bukti data serta fakta akan berbicara.