Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Katanya Keluarga, Kenapa Sering Memaksa?
11 April 2022 12:08 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Eisya Syifa Yazidatul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pola asuh pada anak merupakan hal yang menantang, sekalipun terlihat baik-baik saja. Pola asuh orang tua kepada anak sejak dini, bisa menuntun dan memengaruhi seperti apa karakteristik anak di masa depan. Namun, ada orang tua yang mendidik anak secara otoriter. Perlu mempertegas, jika bersikap otoriter pada anak bukanlah suatu hal yang baik untuk tumbuh kembangnya.
ADVERTISEMENT
Sekalipun bersifat otoriter, orang tua tetap bertujuan untuk memberikan kehangatan, dukungan, dan tanggung jawab kepada anak. Namun, orang tua cenderung menuntut anak untuk menaati keinginan dan aturan, serta tidak menjelaskan alasan aturan tersebut berlaku bagi anak. Orang tua jarang mau mendengar aspirasi, melihat sudut pandang anak, dan hanya memaksakan kehendak. Selain itu cenderung memberikan hukuman ketika anaknya melakukan suatu kesalahan. Orang tua terkadang mengucapkan kalimat yang membuat anak tidak dapat berpendapat, seperti: “Menurut saja, kan juga demi kamu. Jangan berani membantah!"
Pola asuh otoriter tersebut pun pernah saya alami. Dari TK hingga SD, seragam dan uang saku selalu siap di dekat tempat tidur saya. Kesibukan dari sebelum subuh sudah terdengar di rumah, lalu suara sepi dimulai sesudah subuh. Saya masih tertidur lelap dan sendirian di rumah sampai pagi, terbiasa menjadi pribadi yang mandiri, terbiasa tidak ada sarapan pagi, kecuali mau membeli, dan menyebrangi jalan digandeng tukang becak pinggir jalan-pun sudah sering sekali. Apalagi selalu datang ke sekolah lebih awal dari orang lain, sudah menjadi hobi.
ADVERTISEMENT
Kesibukan kedua orang tua saya mungkin dimaksudkan untuk masa depan saya. Meskipun sering merasa sendiri, bagi saya hal biasa. Selain sendiri, saya sering berbeda pendapat dengan bapak saya. Ketika bapak saya mengatakan “A” saya harus mengikuti kata “A”, sebenarnya pada kata A terkadang ada pilihan kata “B”, mungkin karena beliau beranggapan saya sebagai putri kecilnya yang harus selalu dalam aturan dan batasannya. Jadi menurut beliau, meskipun saya memilih kata “B” maka itu suatu pilihan yang kurang tepat untuk saya.
Ketika pilihan saya jatuh pada “B”, saya meyakini dua hal yang akan saya hadapi. Pertama, jika saya terlalu jatuh pada pilihan saya maka saya harus merelakan risiko apa pun tanpa ridho beliau. Jika saya jatuhkan pilihan sesuai beliau saya yang harus mengikuti batasan hingga saya tak tahu kapan batasan itu hilang, karena saya hanya mengikuti, tanpa bisa berpendapat dan menentukan.
ADVERTISEMENT
Bagi beliau pendapat saya tak lebih dari ocehan anak durhaka. Sebenarnya tujuan saya ingin juga melangkah sesuai dengan keinginan dengan ketentuan masih dalam koridor etis. Toh, setelah saya memutuskan beda pendapat dengan beliau, saya juga tetap menerapkan batasan yang sudah menjadi kebiasaan bagi saya. Tetapi, pendapat saya ternilai sebagai “jurang dosa” bagi beliau. Tidak hanya itu, mungkin beliau juga merasa gagal memiliki anak yang tidak sesuai dengan harapan beliau.
Menyikapi perbedaan pendapat ini, saya menyadari. Mungkin saya belum bisa membanggakan, dan belum bisa membuktikan keberhasilan sesuai keinginan beliau. Di sisi lain, batasan ataupun aturan untuk saya adalah sebuah rasa cinta dan kasih sayang yang mungkin belum tentu saya dapatkan dari lingkungan yang saya pilih sesuai keinginan dan pendapat saya.
ADVERTISEMENT
Perdebatan kami misalnya, saya pernah mengikuti acara kepramukaan dengan mewajibkan menginap di sekolah, saat itu pihak sekolah memaklumi perizinan saya yang susah, hingga pihak sekolah membuatkan saya surat izin yang harus tertandatangani orang tua untuk menginap di sekolah. Namun, ketika saya meminta tanda tangan, beliau bersikukuh tidak menandatangani. Dengan dalih perempuan itu tidak baik keluar malam, tidur di sekolah, dst.
Peristiwa tersebut, hanya bisa saya pendam. Sekalipun mencari pembelaan lewat ibu juga percuma. Nihil, tak ada perubahan. Pada akhirnya saya memilih dengan mengalah dan mengikuti dalih beliau. Saya tidak membenarkan pola asuh orang tua saya. Pun tidak menyalahkan seutuhnya, pola asuh mereka. Karena saya yakin di balik ketegasan beliau, bertujuan agar saya menjadi pribadi sesuai dengan harapan beliau. Inilah bentuk kasih sayang beliau yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Pasrah kata yang terlontar, saat ini pun orang tua saya membiarkan saya melangkah tanpa nasihat dan persetujuan. Langkah ini malah membuat saya merasa semakin durhaka, lalu membuat saya semakin tak terarah dan menjadi terbebani. Sekadar menanyakan kabar rumah saja, saya hanya menghubungi ibu melalui medsos.
Hingga saat ini, saya punya pikiran untuk menurut saja, karena mungkin ini langkah bakti saya. Namun banyak pihak yang menentang jika saya mengikuti kemauan beliau secara terus-menerus. Pemikiran saya hanya satu, selagi masih ada, kenapa tidak diikuti saja, meskipun terasa capek harus mengalah. Tuntutan beliau amat besar bagi saya. Maka dari itu beliau tidak pernah bangga dengan prestasi akademik yang saya miliki selama di sekolah. Karena memang tuntutan tidak pada hal akademik, namun prestasi keagamaan yang beliau minta.
ADVERTISEMENT
Sekarang, harapan saya hanya satu, pintar dan taatnya adik saya semoga selalu menjadi hal yang luar biasa bagi kedua orang tua saya. Banyak saran yang terdengar “ayo buktikan!”, tapi bagi beliau pembuktian yang pernah saya berikan masih terasa kurang. Ada sebuah keyakinan yang sampai saat ini saya pegang, “jangan sampai memaksa orang lain jika kemampuan atau usaha mereka hanya mampu sampai disitu”. Pola asuh yang terterapkan kepada saya, tidak akan terwariskan, namun diganti dengan pola asuh yang lebih efektif untuk masa depan.
Dari pengalaman saya tadi, terlihat jika pola asuh orang tua saya memakai pola asuh otoriter. Yakni ketika orang tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus tertaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan mendapat hukuman.
ADVERTISEMENT
Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan anak kehilangan kebebasan, kekurangan inisiatif dan aktivitas anak, sehingga anak menjadi tidak percaya diri dengan kemampuan. Ucapan orang tua adalah sabda dan dogma yang harus terlaksana, bagaimanapun keadaannya!
Mengasuh anak secara otoriter, pasti akan berpengaruh pada perilaku, sifat, serta sikap anak ketika dewasa nantinya. Anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter membuat anak bertumbuh menjadi anak yang pandai dalam mengikuti sebuah aturan. Hal ini karena anak terbiasa tumbuh di lingkungan yang menuntut.
Tetapi, di sisi lain, anak tidak terbiasa mengeksplorasi dan bertindak secara mandiri. Akibat dari orang tua yang terlalu memaksakan standarnya. Maka, membiarkan anak memilih dan menentukan pilihannya yang bisa dipertanggungjawabkan.
Adapun perilaku yang kurang baik, yang muncul dari dampak pola asuh otoriter adalah rasa takut, tertekan, cemas berlebihan, dan sulit untuk memilih, menolak, hingga mengutarakan pendapat. Hal tersebut yang membuat anak merasa tidak nyaman, mungkin anak merasa tidak ada tempat untuk bercerita ataupun mengemukakan pendapat yang selama ini terpendam.
ADVERTISEMENT
Pola asuh otoriter, seyogyanya diubah, dengan menerapkan secara seimbang antara kebebasan dan peraturan. Namun yang perlu menjadi pengingat adalah, harus ada kesepakatan dari orang tua dan anak. Agar kelak anak tidak mengalami trauma yang justru berakibat buruk pada kesehatan mentalnya.