Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Asap Dapur dan Korupsi Triliunan
1 Maret 2025 19:02 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bagi kami, orang kecil, angka 197,3 triliun rupiah yang tersapu korupsi ibarat bayang di ufuk—terlihat, namun tak terjangkau. Kami menangkap kabar itu dari radio usang yang berderit di warung kopi atau televisi tetangga yang kami intip saat listrik menyala. Tapi apa makna triliunan itu bagi kami? Bukan kami tak acuh, melainkan karena benak kami sudah sesak oleh urusan yang lebih nyata: dapur harus berasap, anak-anak harus makan, dan hari ini harus dilewati. Angka sebesar itu terlalu jauh, sementara dunia kami hanya seluas meja kayu reyot dan sebatas atap bocor yang ditambal seadanya.
ADVERTISEMENT
Lihat saja apa yang kami hadapi. Per Maret 2025, Badan Pangan Nasional mencatat harga beras premium di pasar sudah Rp15.000 per kilogram—merangkak naik dari Rp13.000 di awal 2024. Gula pasir Rp18.000 per kilogram, telur ayam Rp32.000 per kilogram, dan cabe rawit—nyawa masakan kami—mencapai Rp80.000 per kilogram di beberapa tempat. Gas elpiji 3 kilogram, tumpuan terakhir dapur kami, Rp20.000 di eceran, tapi sering lenyap dari pasaran, memaksa kami membayar lebih atau kembali ke kayu bakar yang asapnya menggigit dada. Angka-angka ini bukan sekadar catatan kertas; mereka adalah napas kami, pembatas tipis antara hidup dan megap-megap. Saat harga melambung, korupsi triliunan itu tak lagi terpikir. Yang ada hanya satu: bagaimana agar nasi tetap matang, agar anak-anak tak pulang dengan tatap kosong.
ADVERTISEMENT
Keresahan kami tak berhenti di situ. BPJS Kesehatan, harapan saat tubuh rapuh, kini Rp35.000 per bulan untuk kelas terendah—naik Rp5.000 dari tahun lalu. Bagi kami, itu bukan angka kecil; itu sepiring makan yang hilang. Biaya sekolah anak-anak yang masih kecil, meski katanya gratis, tetap menagih: seragam, buku, dan “sumbangan” yang tak pernah tertulis resmi—bisa Rp200.000 hingga Rp500.000 setahun di sekolah negeri biasa. Pertalite, darah bagi motor tua yang mengantar kami mencari rezeki, Rp10.000 per liter—masih bertahan, tapi bayang kenaikan selalu mengintai. Kami tak bisa mengubah apa pun. Yang tersisa hanyalah doa lirih agar harga tak bertambah, karena setiap lonjakan adalah langkah menuju keheningan: dapur mati, motor diam, dan harapan pudar.
ADVERTISEMENT
Mereka bilang korupsi mencuri masa depan kami. Tapi masa depan itu terasa pedih saat anak kami, lulusan sarjana tahun lalu dengan Indeks Prestasi tinggi, masih mengetuk pintu-pintu tanpa jawaban. Ijazahnya yang kami harapkan jadi kunci emas ternyata tak cukup membuka gerbang kerja. Badan Pusat Statistik menyebut pengangguran terbuka per Februari 2025 ada 5,32%—7,5 juta jiwa—dan anak kami, meski berprestasi, tetap satu dari lautan itu. Kami tak punya tali untuk menarik peluang, tak punya koin untuk membeli harapan. Kami orang biasa, tak punya nama besar atau jaringan luas. Pekerjaan kami sendiri pun goyah: buruh harian terhenti saat hujan, pedagang kecil tersungkur saat pembeli pergi. Pemutusan kerja bukan isapan jempol; itu bayang nyata yang siap merenggut pijakan kami kapan saja.
ADVERTISEMENT
Lalu apa daya kami dengan korupsi 197,3 triliun itu? Kami tak tahu cara memutus rantainya, tak punya mimbar untuk berteriak. Tanpa radio atau televisi, mungkin kami tak pernah tahu ada tangan yang mengambil apa yang bukan haknya. Dan meski tahu, kami hanya bisa bergumam, “Oh, ada korupsi lagi,” lalu kembali menekur: menyapu, menanak, mencari. Suara kami tenggelam, tertelan gemuruh berita dan kilau angka triliunan. Kami tak duduk di meja kekuasaan, tak memegang pena keadilan. Yang kami genggam hanyalah tangan kasar yang bekerja dari fajar hingga malam, dan hati yang menyimpan asa kecil: dapur tetap hidup, anak-anak belajar tenang, dan suatu hari anak kami yang sarjana itu berdiri tegak, membuktikan prestasinya bukan sia-sia, bebas dari bayang ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Korupsi 197,3 triliun itu ada, tapi yang lebih nyata bagi kami adalah asap dapur yang kian tipis, lampu yang redup karena listrik tak terbayar, dan langkah anak kami yang lesu mencari asa. Kami lelah—lelah pada janji kosong, lelah pada perubahan yang tak kunjung tiba, lelah pada dunia yang seolah buta pada kami. Tapi kami tak patah. Setiap pagi, kami bangun, menyalakan tungku, berbisik dalam doa. Harapan kami tak besar: hidup tak kian berat, napas tak lagi sesak, dan anak kami—dengan segala prestasinya—punya hari esok yang lebih terang. Bagi kami, orang kecil, bertahan adalah kemenangan, dan dapur yang berasap adalah bukti kami masih hidup—masih melawan, walau hanya dengan sunyi dan harap.
ADVERTISEMENT