Konten dari Pengguna

Dampak Media Sosial pada Remaja: Antara Manfaat dan Risiko

DANIEL GAGARIN
Pensiunan PNS dengan 30 tahun pengabdian di Sulawesi Tengah, berkontribusi di bidang Lingkungan Hidup, Pertanian, dan Perencanaan. Pensiun sejak 2021, tetap aktif mengeksplorasi isu lingkungan, teknologi, dan kesehatan mental. Dedikasi tanpa batas.
23 Februari 2025 10:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Digital Chains" (2025) AI-generated artwork via NightCafe Studio Created by ArtifeX
zoom-in-whitePerbesar
Digital Chains" (2025) AI-generated artwork via NightCafe Studio Created by ArtifeX
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari remaja di seluruh dunia. Platform seperti TikTok, Instagram, Snapchat, YouTube, dan Twitter tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga tempat bagi remaja untuk mengekspresikan diri, membangun hubungan, dan mencari dukungan. Namun, dibalik manfaatnya, muncul pula kekhawatiran tentang dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan remaja. Artikel ini akan mengelaborasi secara mendalam efek media sosial pada remaja, dengan menggabungkan wawasan dari Newport Academy dan Mayo Clinic, serta menyajikan analisis yang menarik dan komprehensif untuk dibaca.
ADVERTISEMENT

Manfaat Media Sosial bagi Remaja

Media sosial menawarkan banyak keuntungan bagi remaja, terutama dalam hal konektivitas dan ekspresi diri. Menurut laporan dari Common Sense Media yang dikutip oleh Newport Academy, sekitar separuh dari 1.500 remaja yang disurvei mengatakan bahwa media sosial sangat penting untuk mendapatkan dukungan, mengurangi rasa kesepian, dan mengekspresikan kreativitas mereka. Sebanyak 43% remaja melaporkan bahwa media sosial membantu mereka merasa lebih baik saat sedang stres, cemas, atau depresi. Angka ini bahkan lebih tinggi di kalangan remaja LGBT, dengan 52% menyatakan bahwa platform ini menjadi penyelamat emosional dalam menghadapi tantangan.
Mayo Clinic juga menyoroti bahwa media sosial memungkinkan remaja membangun identitas daring, berkomunikasi dengan teman sebaya, dan membentuk jejaring sosial yang mendukung. Bagi remaja yang merasa terisolasi—misalnya karena kondisi medis jangka panjang, identitas minoritas, atau kurangnya dukungan di dunia nyata—media sosial dapat menjadi jembatan untuk menemukan komunitas yang memahami mereka. Selain itu, konten yang lucu atau menginspirasi di media sosial bisa menjadi pengalih perhatian yang sehat bagi remaja yang sedang mengalami hari sulit.
ADVERTISEMENT
Media sosial juga mendorong remaja untuk belajar dari pengalaman teman sebaya, seperti cara menghadapi situasi sulit atau mengelola kondisi kesehatan mental. Forum daring yang dimoderasi dengan baik bahkan dapat menjadi tempat yang aman untuk membahas topik sensitif seperti depresi atau kecemasan, sekaligus memberikan ruang bagi remaja untuk meminta bantuan.

Risiko dan Dampak Negatif Media Sosial

Namun, di sisi lain, media sosial juga membawa risiko signifikan yang tidak bisa diabaikan. Newport Academy menekankan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memperburuk kesehatan mental remaja, dengan paparan terhadap cyberbullying, masalah citra tubuh, dan kecanduan teknologi sebagai faktor utama. Studi menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial memiliki risiko lebih tinggi terhadap perilaku menyakiti diri sendiri, depresi, dan kecemasan. Bahkan, beberapa peneliti menghubungkan lonjakan gejala depresi dan tingkat bunuh diri pada remaja antara 2010 dan 2015 dengan meningkatnya penggunaan media sosial pada periode tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak terbesar adalah overstimulation atau stimulasi berlebihan yang disebabkan oleh media sosial. Para ahli percaya bahwa aliran konten yang tak pernah berhenti ini dapat menggeser sistem saraf remaja ke mode fight-or-flight, memperburuk gangguan seperti ADHD, depresi, dan kecemasan. Studi dari University College London yang melibatkan 13.000 remaja selama tiga tahun menemukan bahwa penggunaan media sosial yang intens berkontribusi pada stres psikologis tinggi, yang dipicu oleh kurang tidur (karena begadang scrolling), paparan cyberbullying, dan berkurangnya aktivitas fisik.
Mayo Clinic menambahkan bahwa media sosial dapat mengganggu keseimbangan hidup remaja, seperti mengalihkan perhatian dari tugas sekolah, olahraga, atau waktu bersama keluarga. Konten yang tidak akurat atau berbau sensasional juga dapat mempengaruhi persepsi remaja terhadap dunia, sementara tekanan untuk tampil sempurna di depan teman sebaya seringkali memicu perbandingan sosial yang merusak. Fenomena "compare and despair" ini, seperti yang disebut oleh Dr. Don Grant dari Newport Academy, membuat remaja membandingkan diri mereka dengan gambar-gambar yang telah dikurasi dengan sempurna, sehingga menurunkan harga diri dan memperburuk citra tubuh mereka.
ADVERTISEMENT

Perbandingan Sosial dan Citra Tubuh

Perbandingan sosial menjadi salah satu aspek paling merusak dari media sosial. Remaja menghabiskan banyak waktu mengamati kehidupan teman sebaya atau selebritas, yang sering kali hanya menampilkan sisi terbaik dari diri mereka. Menurut survei Common Sense Media, 35% remaja khawatir tentang ditandai dalam foto yang tidak menarik, 27% stres tentang penampilan mereka saat memposting gambar, dan 22% merasa buruk ketika postingan mereka tidak mendapat "like" atau komentar. Ini tidak hanya terbatas pada remaja perempuan; semua gender terpengaruh oleh tekanan untuk memenuhi standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis.
Efeknya terhadap citra tubuh sangat mencolok. Paparan terhadap foto-foto yang telah diedit atau difilter dapat memicu rasa rendah diri dan meningkatkan risiko gangguan makan, seperti anoreksia atau bulimia. Bahkan, media sosial kadang menjadi tempat bagi remaja untuk saling mendorong dalam perilaku merusak diri, seperti menghitung kalori secara obsesif atau berpuasa ekstrem, yang memperburuk kondisi kesehatan mereka.
ADVERTISEMENT

Kecanduan dan Pengaruh pada Otak Remaja

Media sosial memiliki kualitas adiktif yang signifikan, terutama bagi remaja yang otaknya masih berkembang. Menurut American Psychological Association, otak remaja sangat responsif terhadap umpan balik sosial—baik pujian maupun penolakan—dan kurang mampu mengendalikan impuls. Setiap "like," komentar, atau share melepaskan dopamin dalam otak, menciptakan pola stimulasi yang mirip dengan kecanduan lainnya, seperti judi. Dr. Don Grant membandingkan ini dengan mesin slot: ketidakpastian hadiah membuat remaja terus kembali untuk mencari lebih banyak.
Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat "memprogram" otak untuk ketergantungan di masa depan, baik pada teknologi maupun zat adiktif lainnya. Ketika remaja tidak bisa berhenti scrolling meskipun ingin, atau ketika media sosial mengganggu tidur, sekolah, dan hubungan mereka, ini menjadi tanda bahwa kecanduan telah mengambil alih.
ADVERTISEMENT

Media Sosial dan Pembentukan Identitas

Di sisi positif, media sosial memberikan ruang bagi remaja untuk bereksperimen dengan identitas mereka. Mereka bisa berbagi pendapat, keyakinan, dan preferensi, yang mendukung proses perkembangan diri. Studi longitudinal menunjukkan bahwa remaja yang aktif berkomunikasi di media sosial memiliki self-concept clarity yang lebih baik—pemahaman yang lebih jelas tentang siapa mereka—yang mendukung kesehatan mental mereka.
Namun, ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Tekanan untuk menampilkan versi "sempurna" dari diri mereka sendiri dapat menghambat proses autentik pembentukan identitas, membuat remaja lebih fokus pada validasi eksternal daripada eksplorasi internal.

Hubungan Pertemanan: Dukungan vs. Cyberbullying

Media sosial memperkuat hubungan pertemanan dengan cara yang tak tertandingi. Menurut Pew Research Center, 81% remaja merasa lebih terhubung dengan kehidupan teman mereka berkat media sosial, dan dua pertiga mereka merasa memiliki dukungan saat menghadapi masa sulit. Selama pandemi, platform ini menjadi penyelamat bagi remaja yang terisolasi dari teman sebaya.
ADVERTISEMENT
Namun, semakin banyak waktu yang dihabiskan di media sosial, semakin besar pula risiko cyberbullying. Laporan dari L1ght pada 2020 menemukan peningkatan 70% dalam ujaran kebencian di kalangan anak-anak dan remaja di platform komunikasi daring. Hubungan daring juga tidak selalu setara dengan pertemanan di dunia nyata—hanya 24% remaja yang sering bertemu teman secara langsung dibandingkan 60% yang berinteraksi secara daring setiap hari.

Solusi: Menavigasi Media Sosial dengan Bijak

Baik Newport Academy maupun Mayo Clinic menawarkan pendekatan praktis untuk membantu remaja dan orang tua mengelola dampak media sosial:
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Media sosial adalah alat yang kuat dengan dua sisi yang berlawanan. Ia dapat menjadi sumber dukungan, inspirasi, dan koneksi bagi remaja, tetapi juga berpotensi merusak kesehatan mental mereka melalui perbandingan sosial, kecanduan, dan cyberbullying. Kunci untuk memanfaatkan manfaatnya sambil meminimalkan risikonya terletak pada penggunaan yang bijak dan terarah, baik oleh remaja itu sendiri maupun dengan bimbingan orang tua. Dengan pendekatan yang seimbang, media sosial bisa menjadi teman, bukan musuh, dalam perjalanan perkembangan remaja menuju kedewasaan.
Tanggal saat ini adalah 21 Februari 2025, dan diskusi tentang dampak media sosial pada remaja terus berkembang seiring munculnya penelitian baru. Namun, satu hal yang pasti: memahami dan mengelola penggunaannya adalah langkah penting untuk mendukung generasi muda menjalani kehidupan yang sehat dan bermakna.
ADVERTISEMENT

Sumber:

Newport Academy: "The Effect of Social Media on Teenagers"
Mayo Clinic: "How to Help Your Teen Navigate Social Media"