Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Di Balik Tangan yang Bertaut: Merangkai Makna Hidup
8 April 2025 21:25 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di sudut dunia yang bising, aku berdiri sendiri di depan cermin yang usang. Retakan halus di tepinya mencerminkan waktu yang telah berlalu, sementara bayanganku menatap balik dengan mata yang lelah. Kulitku terbakar oleh matahari; garis di dahiku menyimpan cerita. Dalam keheningan, sebuah pertanyaan muncul: Apa yang membuatku lebih baik dari orang lain?
ADVERTISEMENT
Warna kulit yang kupunya sejak lahir? Budaya yang mengalir dalam darahku? Pendidikan yang kuperjuangkan lewat malam-malam panjang? Atau harta yang datang dan pergi seperti angin?
Tak ada jawaban yang memuaskan. Aku bukan lebih baik. Dan kau pun tidak.
Kita sama—terlahir dengan perbedaan yang tak kita pilih, seperti langit yang biru di pagi hari dan jingga di senja. Indah dalam ketidakseragamannya.
Aku menatap tanganku, terbuka dan menanti. Telapakku kasar, penuh goresan dan bekas luka dari hari-hari yang telah kulalui. Bayangkan jika kau meletakkan tanganmu di sini. Kulit kita mungkin berbeda, garis hidup kita tak sama. Tapi bukankah kita bisa saling bertaut?
Mengapa kita membiarkan perbedaan menjadi dinding, padahal ada jembatan yang jauh lebih kuat: nilai-nilai yang kita bagi sejak napas pertama?
ADVERTISEMENT
Welas asih yang menghangatkan seperti pelukan, kedamaian yang menenangkan seperti ombak, rasa hormat yang membumi, kejujuran yang telanjang, kepolosan yang suci, kerendahan hati yang menunduk, dan simpati yang mengalir lembut seperti sungai.
Ini bukan milik satu bangsa, bukan pula satu keyakinan. Ini warisan kita bersama.
Pernahkah kau memperhatikan bayi yang baru lahir? Di desa terpencil maupun kota gemerlap, senyum mereka sama.
Tawa kecil yang merekah tanpa beban, tangis yang memecah sunyi dengan nada polos.
Bahasa kita mungkin berbeda—aku berbicara dengan logat yang kental, kau dengan irama yang asing. Cara kita hidup pun mungkin tak searah—aku bangun dengan aroma sawah basah, kau dengan deru kereta. Tapi ketika aku tersenyum padamu, tanpa kata, kau membalasnya, bahkan sebelum pikiranmu bertanya mengapa.
ADVERTISEMENT
Itu kekuatan yang tak terucap.
Pernah suatu hari, aku bertemu seorang pedagang tua di pasar. Kulitnya keriput oleh matahari, tapi matanya berbinar saat kuberikan senyum. Dia tertawa kecil—seolah dunia, sejenak, menjadi ringan.
Aku pun merenung, menyelami hatiku sendiri.
Ada hari-hari ketika congkak menyelinap, ketika aku merasa lebih tinggi karena apa yang kumiliki.
Ada saat ketika lapar akan lebih—lebih banyak pujian, lebih banyak harta—menggerogoti nuraniku. Tapi aku berharap, di sela-sela kelemahanku itu, masih ada ruang untuk rendah hati.
Biarlah tembok kebodohan runtuh—tembok yang membutakanku pada luka dunia, pada jerit yang tak terdengar, pada hak sederhana yang kita miliki bersama sebagai saudara dalam kemanusiaan: hak untuk hidup, dicintai, dan didengar.
Aku ingin melihatmu, bukan sebagai bayangan asing di cermin yang retak itu, tapi sebagai cerminan diriku sendiri—berbeda, namun satu.
ADVERTISEMENT
Dalam keheningan saat tangan-tangan bertaut, dalam tatapan yang tak lagi mencari kekurangan, kita menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
Bukan dalam persaingan atau kelebihan yang kita banggakan, tapi dalam kesederhanaan saling menerima.
Jika senyum saja bisa menyatukan kita, bayangkan apa lagi yang bisa kita lakukan bersama.
Lalu, kapan kau akan mengulurkan tanganmu?