Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Keadilan yang Merintih: Pencuri Motor Dihakimi Massa, Koruptor Berleha-leha
6 Maret 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Keadilan yang Terluka di Indonesia: Ketimpangan Hukum antara Pencuri dan Koruptor
ADVERTISEMENT
Di negeri yang menjunjung tinggi keadilan, kita sering menyaksikan ketimpangan yang terus menganga. Korupsi di Indonesia dan kejahatan narkoba menjadi dua ancaman terbesar yang menggerogoti harapan bangsa. Korupsi merampas hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, sementara narkoba menghancurkan generasi muda serta merusak tatanan sosial. Namun, mengapa hukum seolah memiliki dua wajah? Pencuri motor dihajar massa, sementara koruptor menikmati hidup mewah di balik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Hukum yang Berat Sebelah: Rakyat Kecil Dihukum, Elit Korup Melenggang Bebas
Baru-baru ini, peristiwa di Pondok Rajeg, Cibinong, Bogor kembali mencabik nurani. Seorang pria berinisial NG (49) tertangkap mencuri sepeda motor saat pemiliknya sedang menonton televisi di kontrakan. Warga yang geram langsung bertindak: NG diikat, dipukuli, lalu dibiarkan tergeletak di jalan (detikNews, 5 Maret 2025). Aksi main hakim sendiri ini jelas tidak dapat dibenarkan, tetapi mencerminkan frustrasi rakyat terhadap sistem hukum di Indonesia yang tidak lagi dipercaya.
NG mungkin mencuri motor seharga beberapa juta rupiah—barangkali karena lapar atau terdesak kebutuhan keluarga. Namun, ia harus menghadapi kemarahan massa tanpa ampun. Sebaliknya, koruptor yang merugikan negara hingga triliunan rupiah—dana yang seharusnya membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur—justru mendapat hukuman ringan atau lolos dari jerat hukum.
ADVERTISEMENT
Data berbicara tegas. Transparency International dalam Corruption Perceptions Index 2023 menempatkan peringkat korupsi Indonesia di urutan 110 dari 180 negara dengan skor 34 dari 100—jauh dari kategori bersih. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara akibat korupsi pada 2022 mencapai Rp 57,78 triliun. Ironisnya, hukuman rata-rata koruptor di Indonesia hanya 2–4 tahun penjara dan kerap dikurangi dengan remisi (Kompas, 2023). Bandingkan dengan pengedar narkoba kecil yang bisa divonis belasan tahun atau bahkan hukuman mati. Mengapa sistem peradilan di Indonesia begitu timpang?
Korupsi: Kejahatan Luar Biasa yang Dipandang Enteng
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum; ia adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ketika seorang pejabat menggelapkan dana bantuan sosial, ia merampas harapan jutaan orang miskin. Ketika proyek jalan dikorupsi, ia membiarkan rakyat melintasi jalanan berlubang yang mengancam nyawa. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada 2023, sebanyak 26 juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Berapa banyak yang bisa diselamatkan jika triliunan rupiah uang negara tidak dikorupsi?
ADVERTISEMENT
Sementara itu, banyak pelaku narkoba di Indonesia adalah korban sistem yang timpang—kemiskinan, putus sekolah, dan lingkungan yang rusak. Hukuman berat bagi mereka ditegakkan dengan ketat. Namun, mengapa koruptor di Indonesia yang merugikan negara dalam skala besar justru mendapatkan perlakuan istimewa?
Kekuasaan: Tameng bagi Koruptor
Ada alasan pahit di balik semua ini: kekuasaan dan politik di Indonesia. Koruptor besar biasanya adalah elite dengan jaringan luas, uang berlimpah, dan pengaruh yang kuat. Mereka mampu membayar pengacara terbaik, memengaruhi putusan hakim, dan memanfaatkan celah hukum. Kasus korupsi besar seperti e-KTP dan dana bantuan sosial sering kali berakhir dengan hukuman ringan atau pembebasan bersyarat. Sementara itu, rakyat kecil seperti NG dan pengedar narkoba kecil di Indonesia tak punya kuasa untuk melawan. Mereka menjadi korban, sementara para pelaku kejahatan kelas kakap menikmati impunitas.
ADVERTISEMENT
Saatnya Menegakkan Keadilan Sejati
Keadilan yang terluka ini tidak boleh dibiarkan mati. Korupsi di Indonesia harus benar-benar dianggap sebagai kejahatan luar biasa—bukan sekadar dalam retorika, tetapi dalam setiap putusan hukum. Hukuman bagi koruptor di Indonesia harus lebih berat: masa tahanan panjang tanpa remisi, penyitaan aset hingga tuntas, dan pengembalian penuh kerugian negara. Mereka yang mencuri masa depan bangsa tak pantas mendapat belas kasihan.
Sistem hukum di Indonesia harus berlaku adil bagi semua: pelaku narkoba dihukum sesuai kadar kesalahannya, tetapi koruptor tidak boleh mendapatkan perlakuan istimewa. Keduanya adalah ancaman bagi bangsa yang harus diberantas hingga ke akarnya.
Mari kita bangun Indonesia yang lebih adil, di mana hukum menjadi pelindung bagi rakyat kecil, bukan tameng bagi penguasa korup. Keadilan bukan sekadar kata-kata di ruang sidang; ia harus menjadi nafas yang menghidupkan bangsa. Jika kita diam hari ini, ketimpangan ini akan terus berlanjut, dan generasi mendatang akan mewarisi negeri yang kehilangan harapan. Saatnya bersuara, saatnya menuntut keadilan hukum di Indonesia—sebelum semuanya terlambat.
ADVERTISEMENT