Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Ketika Hidup Berubah Menjadi “Tubuh”: Renungan tentang Makna Eksistensi
5 April 2025 10:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Aku duduk dalam diam suatu sore, membiarkan pikiran mengalir seperti sungai yang tenang namun penuh rahasia. Ada satu kesadaran yang tiba-tiba menghantamku: ketika aku mati, identitasku—nama yang kusandang, cerita yang kubangun, dan segala usaha untuk dikenang—akan lenyap dalam sekejap. Orang-orang tak lagi memanggilku dengan nama yang selama ini kukejar untuk diingat. Sebaliknya, aku akan menjadi “tubuh”—sesuatu yang impersonal, yang dibicarakan dengan kalimat sederhana seperti, “Bawa tubuh itu ke sana,” atau “Turunkan tubuhnya ke dalam tanah.” Dingin, bukan?
ADVERTISEMENT
Dan aku pun bertanya pada diriku sendiri: untuk apa semua itu?
Mengejar Bayangan yang Fana
Hidup ini, kusadari, sering kali terasa seperti permainan mengejar bayangan. Kita menghabiskan waktu untuk membuat orang lain terkesan—teman, keluarga, bahkan orang asing di media sosial. Tapi apa yang tersisa ketika tirai ditutup? Nama kita memudar, dan yang kita tinggalkan hanyalah jejak tanpa isi.
Dalam keheningan itu, aku mulai meninjau ulang tujuanku. Mungkin hidup bukan tentang memikat hati sesama ciptaan yang sementara, tetapi tentang menyelaraskan diri dengan Sang Pencipta—sesuatu yang lebih besar, lebih abadi. Bukan berarti aku mengabaikan dunia, tapi aku belajar untuk tidak menjadikannya segalanya.
Kebebasan dalam Ketidaksempurnaan
Kesadaran ini membawaku pada satu keputusan kecil tapi bermakna: aku ingin hidup lebih jujur pada diriku sendiri. Aku mulai mengambil langkah-langkah berani—membelanjakan waktu dan uang untuk hal-hal yang benar-benar kusukai, bukan yang seharusnya kulakukan demi penilaian orang lain.
ADVERTISEMENT
Aku tertawa lepas sampai perutku sakit, menari meski kakiku tak tahu irama, dan berpose konyol di depan kamera tanpa peduli bagaimana orang melihatku. Ada kelegaan dalam semua itu—seperti kembali menjadi anak kecil yang tak mengenal rasa malu atau beban ekspektasi.
Pernahkah kamu mencoba menari tanpa peduli langkahmu salah? Atau tertawa sampai lupa waktu? Itu bukan sekadar tindakan sederhana—itu adalah cara kita merebut kembali hidup dari cengkeraman rutinitas dan pretensi.
Kehilangan yang Sebenarnya
Semakin aku merenung, semakin aku menyadari bahwa kematian bukanlah akhir yang paling menyedihkan. Yang jauh lebih tragis adalah ketika kehidupan mati di dalam diri kita, padahal kita masih bernapas.
Bayangkan: mata masih terbuka, tapi hati tak lagi merasakan apa-apa; tangan masih bergerak, tapi tanpa gairah yang menggerakkannya. Kehilangan itu bukan tentang tubuh yang dikubur, melainkan tentang jiwa yang menyerah—ketika harapan, keberanian, dan sukacita perlahan lenyap, meninggalkan kekosongan yang tak terucap.
ADVERTISEMENT
Aku pernah berada di titik itu—di mana hari-hari terasa seperti deretan tugas tanpa makna. Tapi aku tak ingin lagi membiarkan hidupku tenggelam dalam kehampaan.
Merayakan Anugerah yang Sementara
Kini, aku memilih untuk menghidupi setiap momen dengan penuh kesadaran. Bukan lewat kehebohan besar atau pencapaian yang mencolok, tapi melalui hal-hal kecil yang sering kita abaikan: merasakan angin sepoi-sepoi di kulit, mendengar tawa teman di meja makan, atau sekadar menatap langit yang perlahan berubah warna saat matahari terbenam.
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam penyesalan, tapi terlalu berharga untuk dilewati begitu saja tanpa rasa syukur.
Aku ingin menjadi manusia yang benar-benar hidup—bukan sekadar ada, tapi hadir.
Bagaimana denganmu? Apa yang akan kamu lakukan hari ini untuk merayakan anugerah yang disebut kehidupan?
ADVERTISEMENT