Konten dari Pengguna

Maafkan Dirimu: Sebuah Perjalanan Menuju Takdir yang Dirancang dengan Cinta

DANIEL GAGARIN
Pensiunan PNS 30 tahun, kini fokus pada lingkungan, pertanian, dan perencanaan. Meski pensiun sejak 2021, semangat eksplorasi isu lingkungan, teknologi, dan kesehatan mental tak pernah padam. Berdedikasi penuh!
8 April 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Danau Sunyi — Foto oleh Oleksii Holovachko, dari Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Danau Sunyi — Foto oleh Oleksii Holovachko, dari Unsplash
ADVERTISEMENT
Bayangkan dirimu berdiri di tepi sebuah danau yang tenang. Airnya begitu jernih hingga memantulkan langit kelabu penuh kenangan, sementara angin sepoi berbisik pelan di telingamu. Di momen sunyi ini, ada sesuatu yang menggenggam hatimu—bisikan untuk memaafkan diri sendiri. Bukan sekadar ucapan kosong, melainkan undangan untuk menyelami perjalananmu, merangkul setiap langkah yang pernah kau ambil, dan melepaskan beban yang selama ini kau pikul tanpa sadar.
ADVERTISEMENT
Kita semua pernah berada di persimpangan itu: mengangguk "ya" dengan setengah hati, padahal ada suara kecil di dalam dada yang memohon untuk berkata tidak. Seperti saat kau menerima beban yang sebenarnya bukan milikmu, hanya karena takut mengecewakan orang lain. Atau sebaliknya, saat kau menutup pintu rapat-rapat dengan "tidak" yang tegas, padahal di baliknya ada cahaya harapan yang sabar menantimu. Keputusan-keputusan itu kini menjadi bayangan yang menari di sudut pikiranmu, mengajakmu bertanya: apa yang akan berbeda jika saat itu aku memilih mendengarkan diriku sendiri?
Ada saat-saat ketika kakimu terus melangkah menembus kabut, meski hatimu ingin berhenti—duduk sejenak di bawah pohon tua, mendengarkan detak jantungmu, dan mencari tahu arah yang benar-benar kau inginkan. Dan ada pula waktu ketika kau membeku, diam di tanah yang asing, padahal di kejauhan ada jalan berliku yang memanggilmu keluar dari malam yang panjang. Mengapa kita sering kali berlari saat sebenarnya perlu berhenti, atau justru diam saat seharusnya melangkah?
ADVERTISEMENT
Keraguan adalah bayangan kelam yang kerap kita biarkan menetap di pundak. Ia menarik kita mundur, tepat ketika garis akhir mulai tampak—berkilau seperti fatamorgana di padang pasir tak bertepi. Sementara itu, ketakutan, musuh yang diam-diam kita pelihara, membuat langkah kita gemetar di garis awal, seolah dunia di depan adalah kehampaan tak berbentuk. Kita membiarkan mereka—keraguan dan ketakutan—menutup mata kita dari segala kemungkinan yang menanti.
Lalu ada relasi-relasi yang telah layu, namun tetap kita genggam erat seperti bunga kering yang rapuh. Kita tahu waktunya telah usai jauh sebelum daun terakhir gugur, tapi kita bertahan—mungkin karena takut pada ruang kosong yang akan ditinggalkannya. Mimpi-mimpi yang dulu menyala terang kini tertimbun debu waktu, karena kita tak pernah memberi mereka sayap untuk terbang. Intuisi—bisikan halus seperti nyanyian samar dari hutan dalam—kita abaikan. Dan firasat kecil yang bergetar di nadi kita, kita anggap ilusi tanpa arti.
ADVERTISEMENT
Hidup ternyata penuh dengan tikungan-tikungan buta. Ia hadir tiba-tiba, seperti plot twist dalam novel tua yang kita baca di malam sunyi—tak terlihat, tak terduga. Akhir cerita yang kita pikir bisa kita kendalikan dengan tangan sendiri justru mengalir liar seperti sungai yang menempuh jalannya sendiri. Ada hal-hal yang tak bisa kita pahami, ada faktor tersembunyi di balik layar, dan ada badai yang datang tanpa aba-aba. Dan ya, ada bagian dari diri kita yang masih hijau—belum cukup matang untuk melihat mana yang benar, mana yang hanya bayangan dalam kabut.
Namun di atas segalanya, maafkanlah dirimu. Maafkan karena terlalu lama menatap ke belakang—pada cermin masa lalu yang retak, penuh bayangan penyesalan. Maafkan karena kau membiarkan rasa bersalah menjadi tali tak kasat mata yang mengikat langkahmu, menahanmu dari melompat menuju masa depan yang telah menunggumu dengan tangan terbuka.
ADVERTISEMENT
Ini bukan sekadar pengampunan. Ini adalah panggilan suci—undangan untuk melangkah masuk ke dalam lukisan besar yang telah dirancang semesta dengan penuh cinta untukmu.
Sebuah takdir yang dirancang dengan cinta—jalan yang disusun dengan makna, di mana setiap goresan, setiap warna, bahkan setiap kekeliruan adalah bagian dari keindahan yang tak tergantikan. Lepaskan rantai itu. Biarkan kakimu melangkah ringan menuju danau yang kini tak lagi kelabu, tapi berkilauan oleh janji hari esok.
Maafkan dirimu, dan mulailah berjalan. Takdir itu menantimu dan ia jauh lebih indah dari yang pernah kau bayangkan.