news-card-video
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mengubah Arah: Pelajaran dari Legenda Jepang untuk Melawan Korupsi di Indonesia

DANIEL GAGARIN
Pensiunan PNS dengan 30 tahun pengabdian di Sulawesi Tengah, berkontribusi di bidang Lingkungan Hidup, Pertanian, dan Perencanaan. Pensiun sejak 2021, tetap aktif mengeksplorasi isu lingkungan, teknologi, dan kesehatan mental. Dedikasi tanpa batas.
9 Maret 2025 11:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perjalanan Kereta Sumber: NightCafe Creator – Link gambar
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perjalanan Kereta Sumber: NightCafe Creator – Link gambar
ADVERTISEMENT
Di sebuah desa kecil di Jepang, konon ada seorang samurai yang menjalani hidup menurut kode etik Bushido—sebuah filosofi yang mengutamakan kejujuran, keberanian, dan integritas. Suatu hari, ia menyadari bahwa dirinya menaiki kereta yang salah, membawanya menjauh dari tujuan yang benar. Dengan tekad kuat, ia memilih turun di stasiun berikutnya, meskipun itu berarti menghadapi ketidakpastian dan perjalanan yang lebih berat. Legenda ini sederhana, namun mengandung pelajaran mendalam: mengakui kesalahan dan mengubah arah adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, kisah ini mengajak kita merenung—akankah kita terus melaju di kereta yang salah, atau berani turun demi masa depan yang lebih baik?
ADVERTISEMENT

Kereta Korupsi yang Tak Pernah Usai

Indonesia, dengan segala potensinya, telah lama terperangkap dalam kereta korupsi yang seakan tak pernah berhenti. Transparansi Internasional, melalui Corruption Perception Index (CPI) 2024, mencatat bahwa Indonesia memperoleh skor 37 dari 100. Angka ini memang meningkat dibandingkan skor 34 pada 2023, tetapi masih tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Singapura (skor 83) atau Malaysia (skor 47). Data ini mencerminkan bahwa korupsi masih menjadi bayang-bayang gelap dalam tata kelola negeri ini.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2023 mengungkap bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 62,9 triliun dari 614 kasus. Sayangnya, jumlah ini diperkirakan terus meningkat. Kasus mega-korupsi terbaru di PT Pertamina, yang diungkap Kejaksaan Agung pada Februari 2025, merugikan negara sebesar Rp 193,7 triliun akibat dugaan penyimpangan dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Selain itu, kasus korupsi pengadaan kapal di PT ASDP senilai Rp 800 miliar serta penyalahgunaan "dana komando" di Basarnas sebesar Rp 20 miliar turut mencuat dalam kurun waktu yang sama. Kereta ini terus melaju, dengan biaya yang semakin mahal—bukan hanya dalam bentuk rupiah, tetapi juga hilangnya kepercayaan rakyat serta masa depan generasi mendatang.
ADVERTISEMENT

Biaya Tinggi dari Kebiasaan yang Keliru

Seperti dalam legenda samurai, semakin lama kita bertahan di kereta yang salah, semakin besar harga yang harus dibayar. Survei Lembaga Survei Indonesia pada 2024 menunjukkan bahwa hanya 42 persen masyarakat yang masih mempercayai integritas pejabat publik—angka terendah dalam satu dekade terakhir. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2024 dari Badan Pusat Statistik juga menurun menjadi 3,85 dari skala maksimum 5, dibandingkan 3,92 pada 2023, menandakan bahwa budaya anti-korupsi belum sepenuhnya mengakar di masyarakat. Korupsi bukan lagi sekadar kejahatan; ia telah menjadi sistem yang mendarah daging, sebagaimana pernah diungkapkan oleh sosiolog Soedarso, sebagai "cara hidup" yang diam-diam diterima.
Dampak dari korupsi sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur justru lenyap di tangan segelintir orang. Misalnya, kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), yang diumumkan KPK pada Maret 2025, merugikan negara Rp 11,7 triliun. Jumlah ini bisa digunakan untuk mendanai ribuan beasiswa atau memperbaiki jalan di pelosok negeri. Selama kereta korupsi terus berjalan, rakyatlah yang menanggung akibatnya, dan harapan pun semakin memudar.
ADVERTISEMENT

Keberanian untuk Turun dari Kereta

Namun, legenda Jepang itu mengajarkan bahwa keberanian adalah awal dari harapan. Jepang modern, yang mencatat skor CPI 73 pada 2024, membuktikan bahwa transformasi mungkin terjadi jika ada kemauan untuk mengubah arah. Setelah kehancuran akibat Perang Dunia II, Jepang membangun budaya integritas yang kokoh, didukung oleh sistem hukum yang tegas dan pendidikan moral yang konsisten. Indonesia pun dapat mencontohnya. Langkah pertama adalah mengakui bahwa kita berada di jalur yang keliru.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang mulai menjabat sejak Oktober 2024, menjanjikan perubahan dengan komitmen "tanpa kompromi" terhadap korupsi. Penangkapan lima tersangka dalam kasus LPEI pada Maret 2025 menjadi sinyal awal. Akan tetapi, keberanian sejati tidak hanya terletak pada penindakan, melainkan juga pada pencegahan sistemik. KPK melaporkan bahwa sejak berdiri pada 2002 hingga 2024, lebih dari 1.500 kasus korupsi telah ditangani, tetapi tren korupsi masih belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Bahkan, sektor energi dan infrastruktur menjadi sasaran empuk korupsi. Ini menunjukkan bahwa menangkap pelaku saja tidak cukup; kita harus memperbaiki rel kereta yang telah rusak.
ADVERTISEMENT

Tantangan di Perjalanan Baru

Turun dari kereta korupsi bukanlah hal mudah. Ada banyak rintangan yang harus dihadapi: proses hukum yang berlarut-larut, perlawanan dari pihak yang diuntungkan oleh keadaan saat ini, hingga ketidakpastian akan hasil akhir. Kasus penetapan tersangka Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto pada Desember 2024, misalnya, memicu polemik politik yang memperlihatkan betapa sulitnya menegakkan hukum di tengah tarik-menarik kepentingan. Selain itu, skandal etika di internal KPK pada 2024, di mana 78 pegawai dijatuhi sanksi berat, mencoreng kredibilitas lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.
Meski demikian, seperti samurai yang memilih jalan sulit demi kehormatan, perjalanan ini sepadan. Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah—minyak, nikel, dan hutan tropis—yang seharusnya menjadi fondasi kemakmuran, bukan ladang korupsi. Dengan pemerintahan yang bersih dan transparan, potensi ini dapat terwujud. Bayangkan jika Rp 193,7 triliun dari kasus Pertamina dialihkan untuk membangun energi terbarukan, atau Rp 11,7 triliun dari LPEI digunakan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah—bukankah itu akan mengubah wajah bangsa?
ADVERTISEMENT

Panggilan untuk Bertindak

Hari ini, 8 Maret 2025, kita berada di persimpangan. Kereta korupsi masih melaju, tetapi pintu untuk turun telah terbuka lebar. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bersatu, mengambil pelajaran dari legenda Jepang: keberanian mengubah arah adalah langkah awal menuju perbaikan. Ini bukan hanya tentang menangkap koruptor, tetapi juga membangun budaya integritas—mulai dari menolak suap kecil hingga mendorong reformasi besar.
Renungkanlah: jika samurai itu memilih tetap di kereta yang salah, ia tak akan pernah mencapai tujuan. Demikian pula dengan Indonesia. Jangan biarkan korupsi terus menghancurkan apa yang telah kita bangun. Perjalanan menuju negeri yang adil dan makmur dimulai dari satu keputusan—turun dari kereta yang salah dan melangkah ke jalur yang benar. Sekarang adalah saatnya bertindak. Pilihan ada di tangan kita semua.
ADVERTISEMENT

Sumber Data

ADVERTISEMENT