Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Minyak, Benang, dan Luka Bangsa: Refleksi Ramadan di Tengah Sesak Dada
3 Maret 2025 11:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah Ramadan ini, ketika matahari terbenam dan kita duduk bersama keluarga menanti azan Magrib, ada sesak yang tak kunjung reda di dada. Bukan hanya karena lapar atau haus yang kita jalani sebagai ibadah, tetapi juga karena derasnya arus berita—tentang minyak yang dikorupsi dan industri tekstil yang runtuh, tentang harapan yang pudar di negeri yang kita cintai. Dua cermin besar retak di hadapan kita: Pertamina, penjaga emas hitam, dan Sritex, sang penenun kebanggaan yang kini tumbang. Di bulan suci ini, mari kita merenung—bukan sekadar membaca, tetapi meresapi—apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang bisa kita lakukan sebagai umat yang tengah mencari ampunan dan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Minyak yang Dikorupsi: Luka Kuadriliun Rupiah di Hati Rakyat
Bayangkan kita sedang mengisi BBM di SPBU, tangan menggenggam nozzle, pikiran melayang ke harga yang terus merangkak naik. Namun, tahukah kita bahwa di balik setiap tetesan bensin itu tersimpan kisah kelam? Kejaksaan Agung pada akhir 2024 mengungkap skandal oplosan BBM di Pertamina yang mencengangkan: Rp193,7 triliun hilang hanya dalam tahun 2023, bagian dari kerugian yang diyakini mencapai kuadriliun rupiah sepanjang 2018–2023. Pertalite murah dicampur sedikit "bumbu" lalu dijual sebagai Pertamax yang lebih mahal, keuntungannya mengalir ke segelintir orang.
Angka itu bukan sekadar abstrak; jika dihitung, Rp193,7 triliun bisa membangun 12.913 sekolah menengah baru (dengan estimasi Rp15 miliar per sekolah menurut Kementerian PUPR) atau menyediakan 38 juta paket sembako Ramadan senilai Rp5 juta per keluarga miskin.
ADVERTISEMENT
Di bulan puasa, ketika kita belajar menahan lapar demi memahami penderitaan mereka yang kurang beruntung, korupsi ini terasa seperti tamparan. Dana tersebut seharusnya menjadi darah yang menghidupi nadi bangsa—subsidi untuk nelayan, listrik untuk desa terpencil, atau bahan bakar murah bagi ibu-ibu yang berjuang mengantar anak ke sekolah. Namun kini, dana itu lenyap, dikorupsi oleh tangan-tangan serakah. Ini bukan sekadar kejahatan finansial; ini adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat, dosa yang bertumpuk di bulan ampunan. Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah Al-Mutaffifin: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,”—dan kecurangan ini bukan hanya dalam takaran, tetapi juga dalam kepercayaan rakyat.
Benang yang Putus: Sritex dan 10.965 Pekerja yang Tersungkur
Di Sukoharjo, Sritex—perusahaan tekstil yang pernah menenun seragam tentara NATO dan pakaian rakyat jelata—kini hanya menyisakan puing-puing harapan. Pada Januari–Februari 2025, sebanyak 10.965 karyawan di-PHK, angka yang dirilis detik.com sebagai bagian dari krisis keuangan perusahaan. Utang Rp12,9 triliun yang tak mampu dibayar membuat Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex pailit pada 21 Oktober 2024. Bayangkan: 10.965 keluarga—mungkin 40.000 jiwa jika dihitung dengan anak dan orang tua yang bergantung—kehilangan sumber penghidupan di awal tahun ini. Di bulan Ramadan, ketika kita berbuka dengan kurma dan segelas air, ada ribuan meja di Sukoharjo yang kosong, tak ada sahur yang hangat karena dapur tak lagi berasap.
ADVERTISEMENT
Apa yang menghancurkan Sritex? Bukan sekadar utang, tetapi sistem yang gagal menyelamatkan industri lokal. Data Kementerian Perindustrian (2024) menunjukkan impor tekstil dan pakaian jadi melonjak 15% dalam lima tahun terakhir, sementara ekspor tekstil lokal turun 8% akibat kalah saing dengan Vietnam dan Bangladesh. Bunga pinjaman bank yang tinggi—rata-rata 10–12% per tahun menurut Bank Indonesia—juga menekan perusahaan seperti Sritex, yang semakin sulit bertahan di tengah persaingan global. Ini bukan hanya kegagalan satu perusahaan, tetapi cerminan kebijakan yang lebih suka membeli kain murah dari luar negeri daripada menyelamatkan industri dalam negeri. Di bulan puasa, ketika kita diajarkan untuk menghargai nikmat sekecil apa pun, kejatuhan Sritex adalah pengingat bahwa nikmat pekerjaan bisa lenyap jika kita abai menjaganya.
ADVERTISEMENT
Dua Cermin, Satu Penyakit
Pertamina dan Sritex adalah dua wajah dari penyakit yang sama: kerapuhan sistem dan pengkhianatan terhadap rakyat. Di Pertamina, korupsi bagaikan borobudur yang dibangun dari keserakahan—kuadriliun rupiah menguap sementara rakyat antre BBM bersubsidi. Di Sritex, kehancuran terjadi karena ekonomi yang tak melindungi rakyat, meninggalkan 10.965 jiwa dalam keputusasaan. Keduanya bertemu di satu titik: ketimpangan kekuasaan dan lemahnya pengawasan. Transparency International (2024) menempatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di skor 34 dari 100—stagnan selama dekade terakhir—sementara Bank Dunia melaporkan bahwa 60% UMKM dan industri besar lokal kesulitan bertahan akibat biaya operasional yang tidak kompetitif.
Di Ramadan ini, ketika kita membaca Surah Al-Baqarah ayat 188—“Dan janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil”—kita diajak bertanya: bukankah korupsi di Pertamina dan kegagalan menyelamatkan Sritex adalah bentuk memakan harta sesama dengan cara yang zalim? Jean-Jacques Rousseau pernah berkata, manusia terbelenggu bukan oleh rantai, tetapi oleh sistem yang mereka biarkan. Kita terbelenggu oleh elite yang mengoplos minyak, oleh kebijakan yang membiarkan industri mati, dan oleh sikap kita yang terlalu sering diam.
ADVERTISEMENT
Ramadan: Panggilan untuk Bangkit
Namun, sesak ini tidak harus menjadi akhir cerita. Ramadan adalah bulan refleksi, ampunan, dan perubahan. Bayangkan jika kuadriliun rupiah yang dicuri itu kembali: ia bisa membangun kembali Sritex, membuka lapangan kerja, dan menyulam harapan bagi 10.965 keluarga. Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa setiap Rp1 triliun investasi di sektor industri dapat menciptakan 10.000 pekerjaan—artinya, Rp193,7 triliun bisa menghidupkan 1,9 juta jiwa. Bayangkan jika kita, di sela-sela tarawih dan tadarus, tak lagi diam—menuntut keadilan, mengawasi setiap tetes minyak dan helai benang.
Imam Ghazali pernah berkata, “Hati yang hidup adalah hati yang tak pernah berhenti mencari kebenaran.” Di bulan suci ini, mari hidupkan hati kita. Kita yang mengisi BBM, kita yang memakai kain lokal, kita yang punya suara—mari jadikan Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang melawan ketidakadilan. Karena di balik cermin yang retak, ada bayangan bangsa yang bisa kita perbaiki—satu doa, satu langkah, satu keberanian pada satu waktu.
ADVERTISEMENT