Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Waktu Terakhir: Sebuah Refleksi yang Lebih Dalam
9 April 2025 9:26 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari DANIEL GAGARIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat kau pertama kali menggendong bayimu dalam pelukan, ada getar halus yang merambat di jiwa—sebuah perubahan yang tak terucapkan namun abadi. Bayi itu, kecil dan rapuh, membawa serta dunia baru yang kau masuki tanpa persiapan penuh. Di detik itu, dirimu yang lama—yang dulu menari bebas di antara waktu luang, yang hanya memikirkan langkah berikutnya tanpa beban—mulai memudar seperti bayangan di ujung senja.
ADVERTISEMENT
Kau mungkin merindukannya: kerinduan yang samar, tapi tajam—untuk hari-hari ketika kekhawatiran hanyalah angin sepoi yang perlahan berlalu. Tapi kini, ada lelah yang merasuk hingga ke tulang. Lelah yang tak pernah kau kenal sebelumnya, lahir dari malam-malam tanpa tidur dan hari-hari yang berputar dalam irama monoton: menyusui, menenangkan sendawa, mengganti popok, mendengar tangis yang memecah keheningan.
Ada hari-hari ketika keluhan kecil mereka terasa seperti badai, ketika pertengkaran sepele memenuhi udara, ketika tidur siang menjadi kemewahan langka. Semua itu berjalan dalam lingkaran yang tampaknya tak pernah putus—sebuah tarian yang melelahkan, namun penuh makna.
Namun, di tengah pusaran itu, ada kebenaran yang diam-diam menanti: segalanya memiliki akhir—sebuah waktu terakhir yang tak pernah mengumumkan kedatangannya.
ADVERTISEMENT
Akan ada saat ketika kau menyusui bayimu untuk terakhir kalinya—mungkin di malam yang sunyi, dengan hanya suara napas kecil mereka sebagai teman. Kau tak akan tahu bahwa itu adalah akhir, sampai botol atau pelukan itu tak lagi diminta. Mereka akan tertidur di dadamu, tubuh kecil mereka hangat dan damai setelah hari yang panjang, dan tanpa kau sadari, itulah terakhir kalinya kau merasakan beban manis seorang anak yang terlelap dalam pelukanmu.
Suatu hari, kau akan menggendong mereka di pinggul, merasakan berat tubuh mereka yang mulai tumbuh, lalu menurunkannya dengan lembut ke tanah—dan entah bagaimana, kau tak pernah lagi mengangkatnya seperti itu.
Malam akan tiba ketika kau menggosok rambut mereka yang basah di bak mandi, tertawa bersama gelembung sabun. Tapi keesokan harinya, mereka akan berkata, “Aku bisa sendiri,” dan pintu kamar mandi akan menutup rapat.
ADVERTISEMENT
Mereka akan menggenggam tanganmu saat menyeberang jalan, jari-jari kecil itu mencari perlindungan dalam genggamanmu—hingga suatu hari, tangan itu tak lagi meraih, hanya melambai dari kejauhan. Di tengah malam, kau akan terbangun oleh langkah kecil yang menyelinap ke kamarmu, tubuh mungil yang mencari pelukan hangat. Dan tanpa kau duga, itu adalah terakhir kalinya kau membuka mata untuk keajaiban sederhana itu.
Suatu sore, kau akan duduk bersama mereka, menyanyikan “Nina Bobo” dengan suara lembut yang mengalun di udara. Tapi lagu itu akan memudar dari hidup kalian, tersimpan rapi di sudut hati—seperti surat lama dalam laci kenangan.
Mereka akan mencium pipimu di gerbang sekolah, senyum kecil di wajah mereka. Tapi esoknya, mereka akan melangkah sendiri, meninggalkanmu dengan tangan kosong yang masih hangat oleh sentuhan mereka.
ADVERTISEMENT
Kau akan membacakan cerita pengantar tidur, suaramu mengalir lembut di antara halaman-halaman buku, menyeka wajah kecil yang kotor oleh petualangan hari itu—dan suatu saat, buku itu akan ditutup untuk selamanya.
Mereka akan berlari kepadamu, tangan terentang penuh harap, meminta digendong seperti dulu. Tapi akan ada hari ketika lari itu berhenti, dan pelukan itu menjadi kenangan yang jauh.
Yang paling mengharukan adalah ketidakpastiannya. Kau tak akan tahu bahwa itu adalah waktu terakhir saat momen itu berlangsung. Tak ada tanda. Tak ada peringatan. Hanya keheningan yang perlahan memenuhi ruang kosong setelahnya.
Bahkan ketika momen-momen itu lenyap, kau akan butuh waktu untuk menyadari bahwa mereka telah pergi. Bahwa waktu terakhir itu telah berlalu tanpa sempat kau ucapkan selamat tinggal. Dan ketika kesadaran itu akhirnya tiba, kau akan mendapati dirimu merindukan satu hari lagi, satu jam lagi, satu detik lagi dari hari-hari yang dulu kau anggap melelahkan.
ADVERTISEMENT
Kau akan menukar apa saja untuk kembali ke lingkaran itu. Untuk merasakan sekali lagi beban manis di pundakmu, untuk mendengar tangis yang dulu kau harap segera reda, untuk menyanyikan lagu yang kini hanya bergema di hatimu.
Maka, selagi kau masih berada di tengah-tengah hari-hari ini—di antara popok kotor, tangis malam, dan pelukan hangat—berhentilah sejenak. Pandang wajah kecil itu. Dengar suara mereka. Rasakan sentuhan tangan mungil itu.
Karena waktu-waktu ini terbatas, seperti butiran pasir yang perlahan habis di jam kaca. Dan ketika semuanya telah pergi, yang tersisa hanyalah kerinduan yang tak pernah benar-benar usai—sebuah bisikan lembut di hati:
“Andai aku bisa merasakannya sekali lagi, untuk satu waktu terakhir.”