Sejarah dan Sains

Asep Setiono
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
8 April 2022 21:41 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Setiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada akhir abad ke-18, ketika sains berkontribusi sangat besar baik bagi pengetahuan manusia terhadap dunia maupun bagi sifat fisiknya sendiri. Sains mulai mendapat pertanyaan, apakah sains juga dapat memajukan pengetahuan manusia tentang sosiologi.
ADVERTISEMENT
Konsep ilmu-ilmu sosial, termasuk sejarah di dalamnya dikembangkan secara bertahap sepanjang abad ke-19. Metode yang digunakan oleh sains dalam mempelajari alam diterapkan dalam kajian manusia.
Dalam bagian pertama periode ini, tradisi Isaac Newton berhasil menguasai. Masyarakat seperti alam, dianggap sebagai sebuah mekanisme judul sebuah karya oleh Herbert Spencer, Social Statics, yang diterbitkan pada 1851. Bertrand Russel, yang dibesarkan dalam tradisi ini, kemudian akan mengingat kembali periode ketika ia berharap bahwa pada waktunya akan ada “matematika perilaku manusia yang sama cepatnya dengan matematika permesinan”.
Kemudian Charles Darwin membuat revolusi ilmiah lainnya, lalu para ilmuwan sosial dengan meniru biologi mulai memikirkan masyarakat sebagai sebuah organisme. Akan tetapi, poin penting sebenarnya dari evolusi Darwin adalah menyelesaikan apa yang sudah dimulai Charles Lyell dalam geologi membawa sejarah ke dalam sains.
ADVERTISEMENT
Sains tidak lagi berurusan dengan sesuatu yang statis dan tanpa batas waktu, tetapi dengan proses perubahan dan perkembangan. Evolusi dalam ilmu berfungsi untuk mengukuhkan dan melengkapi kemajuan sejarah.
Namun tidak ada yang terjadi untuk mengubah pandangan induktif dari metode sejarah yang sudah dijelaskan. Masalah tersebut diasumsikan tanpa pertanyaan bahwa hal ini juga merupakan metode ilmiah.
Inilah pandangan yang terbukti ada di pikiran Bury ketika dalam kata-kata penutup pidato pengukuhannya pada Januari 1903, ia mendeskripsikan sejarah sebagai “sains, tidak lebih dan tidak kurang”. Lima puluh tahun setelah pidato pengukuhan Bury, kita menyaksikan adanya reaksi kuat melawan pandangan sejarah ini.
Collingwood ketika ia menulis pada 1930, sangat ingin membuat garis yang jelas antara alam (yang merupakan objek penyelidikan ilmiah) dan sejarah, selama periode ini diktum Bury jarang sekali di kutip, kecuali dalam konteks cemoohan. Akan tetapi, hal yang gagal diperhatikan oleh para sejarawan pada masa itu adalah ilmu itu sendiri telah mengalami revolusi mendalam, yang membuat Bury terlihat hampir benar daripada yang kita perkirakan, walaupun untuk alasan yang salah.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh Lyell untuk geologi dan dan Darwin untuk biologi, sekarang telah dilakukan untuk astronomi yang menjadi ilmu tentang bagaimana alam semesta menjadi apa adanya. Para fisikawan modern yang selalu mengatakan kepada kita bahwa apa yang mereka selidiki bukanlah fakta, melainkan peristiwa. Sejarawan memiliki sejumlah alasan untuk merasa dirinya lebih nyaman dalam dunia keilmuan hari ini daripada yang dapat ia lakukan 100 tahun yang lalu.
Para pelajar dari masyarakat, secara sadar atau tidak sadar ingin menegaskan status ilmiah studi-studi mereka mengadopsi bahasa yang sama dan mempercayai bahwa diri mereka mengikuti prosedur yang sama. sepertinya, para ahli ekonomi politik adalah orang pertama yang berada di bidang hukum Gresham dan hukum pasar Adam Smith. Edmund Burke mengajukan “hukum perdagangan juga merupakan hukum alam, dan sebagai konsekuensinya hukum Tuhan.”
ADVERTISEMENT
Selain itu, Thomas Malthus mengemukakan hukum populasi, Ferdinand Lassale dengan hukum upah dan Marx dalam kata pengantar bagi Capital mengklaim telah menemukan “hukum ekonomi gerakan masyarakat modern”.
Henry Buckle dalam kalimat penutup karyanya yang berjudul History of Civilization, mengungkapkan bahwa jalan urusan manusia “Diresapi oleh satu prinsip mulia yang universal dan menyimpang.” Sekarang terminologi ini terdengar hampir sama ketinggalan zamannya bagi ilmuwan eksakta, layaknya ilmuwan sosial.
Setahun sebelum Bury menyampaikan pidato pengukuhannya, ahli matematika Prancis bernama Henri Poincare menerbitkan sebuah buku kecil berjudul La Science et L'hypothese, yang memulai revolusi dalam memulai revolusi dalam pemikiran ilmiah.
Tesis utama Poincare adalah bahwa dalil umum yang diucapkan oleh para ilmuwan jika bukan sekadar definisi atau konvensi samaran tentang tentang penggunaan bahasa merupakan hipotesis yang dirancang untuk mengkristalisasi dan mengorganisasi pemikiran lebih jauh, serta akan menjadi pokok verifikasi, modifikasi atau penyanggahan. Semua hal itu sekarang menjadi hal yang relatif biasa. Perkataan sombong Newton yang berbunyi “Hypotheses non fingo” (Saya tidak menyusun hipotesis apapun) terdengar hampa saat ini.
ADVERTISEMENT
Walaupun para ilmuwan dan bahkan ilmuwan sosial kadang masih merujuk hukum ini, boleh dikatakan mereka hanya menggunakannya demi kepentingan masa lalu. Mereka tidak lagi mempercayai eksistensi mereka sendiri, seperti apa ilmuwan abad ke-18 dan ke-19 yang secara universal mempercayainya.
Para ilmuwan mengakui telah membuat penemuan dan mendapatkan pengetahuan baru tidak dengan membuat hukum-hukum yang tepat dan komprehensif, tetapi dengan mengungkapkan hipotesis yang membuka jalan bagi penyelidikan baru. Sebuah buku teks standar tentang metode ilmiah yang ditulis oleh dua filsuf Amerika mendeskripsikan metode ilmiah “Pada dasarnya melingkar”:
“Kita mendapatkan bukti bagi prinsip-prinsip, dengan meminta bantuan materi empiris, pada apa yang diduga sebagai “fakta”. Dan kita memilih, menganalisis, juga menginterpretasikan bahan empiris berdasarkan prinsip-prinsip”.
ADVERTISEMENT