Konten dari Pengguna

Penerapan Legitime Fortie dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Perdata

Liana Devanti
Mahasiswa Ilmu Hukum S1 - Universitas Pamulang
6 Mei 2024 18:26 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Liana Devanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Editor Pribadi: Liana Devanti
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Editor Pribadi: Liana Devanti
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam hukum perdata, hukum waris pada dasarnya memiliki sifat mengatur serta tidak mengandung unsur paksaan. Ini merupakan salah satu cabang hukum perdata yang bersifat mengatur, sehingga segala sesuatu yang dilakukan ahli waris terhadap harta bendanya semasa hidupnya berada dalam kewenangannya.
ADVERTISEMENT
Ada dua cara memperoleh warisan, yaitu Mewaris berdasarkan Undang-Undang dan Mewaris karena wasiat.

Pertanyaannya adalah bagaimana hukum melindungi hak legitimaris dalam wasiat, serta apa yang menjadi hak legitimaris?

Hukum waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang hukum perdata memiliki kesamaan sifat dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk hukum waris perdata, meski letaknya dalam bidang hukum perdata, ternyata terdapat unsur paksaan didalamnya. Unsur paksaan dalam hukum waris perdata, misalnya ketentuan pemberian hak mutlak (legitime portie) kepada ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta warisan atau ketentuan yang melarang pewaris membuat ketetapan seperti menghibahkan bagian tertentu dari harta warisannya, maka penerima hibah mempunyai kewajiban untuk mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya ke dalam harta warisan guna memenuhi bagian mutlak (legitime portie) ahli waris yang mempunyai hak mutlak tersebut, dengan memperhatikan Pasal 1086 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang hibah-hibah yang wajib inbreng (pemasukan).
ADVERTISEMENT
Kalaupun hukum waris perdata mengandung unsur paksaan, maka statusnya sebagai bidang hukum perdata yang bersifat mengatur tidak sah. Konsekwensi dari hukum waris perdata, sebagai salah satu cabang hukum perdata yang bersifat mengatur, adalah apa saja yang dibuat oleh pewaris terhadap hartanya semasa ia masih hidup adalah kewenangannya, namun kalau pelaksanaan kewenangan itu melampaui batas yang diperkenankan oleh Undang-Undang, maka harus ada risiko hukum yang dikemudian hari akan terjadi terhadap harta warisannya setelah ia meninggal dunia.
Pewaris sebagai pemilik harta, adalah mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan konsekwensi dari hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur.
Ahli waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak tersedia dari harta warisan, disebut ahli waris Legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris Legitimaris, dinamakan Legitime Portie.
ADVERTISEMENT

Ada berapa cara untuk memperoleh warisan dalam Hukum Waris?

Dalam hukum waris perdata, dikenal ada dua acara untuk memperoleh warisan, yaitu:
Ahli waris menurut undang- undang (ab intestato), yaitu karena kedudukkannya sendiri menurut undang-undang, demi hukum dijamin tampil sebagai ahli waris, sedangkan ahli waris menurut surat wasiat (ad Testamento), yaitu ahli waris yang tampil karena “kehendak terakhir” dari si pewaris, yang kemudian dicatatkan dalam surat wasiat (testament).
ADVERTISEMENT
Ahli waris yang tampil menurut surat wasiat, atau testamentair erfrecht, dapat melalui dua cara yaitu Erfstelling, yang artinya penunjukkan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan, sedangkan orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam, yang kemudian dicatat dalam surat wasiat. cara kedua yaitu, Legaat (hibah wasiat), adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar testament/warisan yang khusus, orang yang menerima legat disebut legataris.. Pemberian dalam wasiat tersebut baru dapat dilaksanakan, setelah pemberi hibah wasiat (pewaris) meninggal dunia.

Manakah yang lebih didahulukan dan diutamakan, ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris menurut surat wasiat?

Dalam pelaksanaan dari hukum waris perdata, ahli waris menurut surat wasiat yang lebih diutamakan, dengan pengecualian selama isi dan pembagian dalam surat wasiat tidak bertentangan dengan undang-undang. Pertimbangan hukumnya karena surat wasiat merupakan “kehendak terakhir” dari si pewaris terhadap harta warisannya, dengan ketentuan tidak boleh merugikan bagian ahli waris menurut undang- undang, karena ahli waris menurut undang-undang memiliki bagian mutlak (legitime Portie), yang diatur dalam Pasal 913 KUH Perdata yang sama sekali tidak bisa dilanggar bagiannya.
ADVERTISEMENT
Ahli waris yang memiliki bagian mutlak disebut juga legitimaris, artinya selama ahli waris yang bagiannya ditetapkan dalam surat wasiat tidak merugikan bagian mutlak ahli waris legitimaris, wasiat tersebut bisa dilaksanakan, kalaupun bagian mutlak ahli waris legitimaris dirugikan oleh ahli waris testamentair, maka harus dikembalikan kepada ahli waris legitimaris, sesuai dengan bagian yang seharusnya mereka dapatkan.

Bagaimana pelaksanaan pembagian warisan berkenaan dengan adanya legitime portie (bagian mutlak) dan testament (wasiat) menurut KUHPerdata?

menurut Pitlo, bagian yang dijamin oleh Undang-undang legitime portie/wettlijk erfdel:
ADVERTISEMENT
“Merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan, hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak atas bagian yang dimaksud”
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebesan untuk mencabut hak waris dari para ahli warisnya, karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya dan berapa bagian masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang pembagian itu bersifat hukum mengatur dan bukan hukum memaksa.
Akan tetapi untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali.
ADVERTISEMENT
Agar orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu. Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan “Legfitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewariskannya.

Jika seorang yang berhak atas legitime portie (bagian mutlak) menolak warisan, apakah orang lain dapat menjadi legitimaris, apabila seorang meninggal dunia dengan meninggalkan kakak dan kakek, maka warisannya jatuh pada kakeknya?

Kakek memang keluarga dalam garis lurus akan tetapi bukan ahli waris (golongan ketiga) sedangkan kakak (golongan kedua), Kakek sebagai ahli waris golongan ketiga tidak akan mewaris jika golongan kedua masih ada, karena itu kakek ini tidak berhak atas legitime.
ADVERTISEMENT
Apabila kakaknya menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata) maka baru kakek menjadi ahli waris.

Apakah bagian mutlak dari salah seorang ahli waris dapat menjadi besar karena ada orang lain yang menolak warisan?

Bagian mutlak selalu merupakan suatu bagian seimbang dari apa yang akan diterima ahli waris ab intestato, hal ini diatur dalam Pasal 1914 KUHPerdata. Kesulitan yang sama dapat timbul pada “onterving” (pemecatan sebagai ahli waris) dan “onwaadig” (ketidak pantasan/tidak patut mewaris).
Undang-Undang hanya menyatakan, bahwa agar seseorang berhak untuk menuntut atas bagian mutlak (legitime portie), ia harus merupakan ahli waris ab intestato dalam garis lurus ke atas, dengan tidak memperhatikan apakah ahli waris tersebut secara langsung atau merupakan ahli waris sebagai akibat dari penolakan terhadap harta peninggalan.
ADVERTISEMENT

KESIMPULAN

KUHPerdata memberikan hak bagi ahli waris legitimaris yang berkenaan dengan adanya bagian mutlak. Hak yang diberikan oleh Undang-Undang adalah hak untuk mengajukan tuntutan pengurangan atau pengembalian yang diberikan kepada pihak ketiga tersebut terhadap harta yang menjadi bagian mutlak (legitime portie). Para ahli waris legitimaris berhak mengajukan tuntutan untuk memenuhi legitime portie mereka melalui inkorting/pengurangan, dengan cara perbandingan diantara ahli waris yang diberikan.
Setelah didapati hasil perbandingannya maka dihitunglah bagian mutlak ahli waris legitimaris dengan cara, bagian yang diberikan dikurangi hasil perbandingan dikalikan dengan keseluruhan kekurangan bagian mutlak.
Adapun urutan untuk melakukan inkorting/pengurangan adalah, pertama dari ahli waris yang non legitimaris (garis ke samping, janda/duda, saudara-saudara), kedua dari wasiat (hibah wasiat dan erfstelling), dan ketiga di inkorting dari hibah-hibah yang diberikan oleh pewaris semasa ia hidup. Jika setelah di inkorting dan non legitimaris, bagian mutlak belum terpenuhi, maka dilanjutkan dengan inkorting terhadap ahli waris dalam wasiat, jika belum terpenuhi juga bagian mutlak, maka di inkorting dari hibah-hibah (Pasal 1916 KUHPerdata).
ADVERTISEMENT
Sedemikian pentingnya hak mutlak para ahli waris legitimaris sehingga KUHPerdata, memberikan perlindungan dengan membatasi kebebasan pewaris dalam membuat wasiat dan memberikan hak untuk mengajukan tuntutan untuk melakukan pengurangan jika wasiat secara nyata dan benar-benar melanggar legitime portie, dengan tujuan agar ahli waris legitimaris “harus” mendapatkan apa yang menjadi hak mutlak mereka terhadap harta peninggalan pewaris.

SARAN

ADVERTISEMENT