Konten dari Pengguna

Dunia Kampus sebagai Miniatur Politik Bernegara

Miftahur Rizqi
Mahasiswa Perbandingan Mazhab, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
17 Agustus 2024 22:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftahur Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia Kampus memiliki berbagai macam komunitas, seperti mahasiswa, dosen, staf administrasi, dan masyarakat sekitar. Setiap komunitas memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda dalam menjaga tata kelola kampus, sebagaimana warga negara yang memiliki hak dan kewajiban berbeda dalam menjaga tata kelola negara.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan Trias Politika sebuah konsep politik mengenai pembagian kekuasaan di dalam suatu negara yang pertama kali dikemukakan oleh John Locke dan dikembangkan oleh
Montesquieu. John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif.
Di kampus juga memiliki struktur organisasi yang konkret, seperti Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA F), dan Senat Mahaiswa Fakultas (SEMA F), serta Dewan Eksekutif Mahasiswa Univertisas (DEMA U).
Struktur ini mirip dengan struktur pemerintahan di negara, seperti parlemen, kabinet, dan lembaga-lembaga pemerintah yang lain.
Melihat organisasi intrakampus di Universitas Islam Negeri, Jakarta. Pada kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Univertas maupun Fakultas (DEMA U dan DEMA F), serta Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), kekuasaan legislatif terdapat Senat Mahasiswa Universitas maupun Fakultas (SEMA U dan SEMA F). Lembaga-lembaga tersebut memiliki kedudukan yang berbeda secara hierarki.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, kampus-kampus seluruh di Indonesia memiliki organisasi kemahasiswaan yang hampir sama, terdapat lembaga eksekutif, legislatif, tetapi masih jarang kampus-kampus di Indonesia yang memiliki lembaga yudikatif, contohnya yang terdapat lembaga yudikatif seperti Universitas Indnesia.
Dalam kampus terdapat pemilihan umum atau biasa dikenal dengan istilah Pemilihan Umum Raya, disebut dengan Pemira, Pemilihan Umum Raya ini sebuah mekasnisme demokrasi kampus yang bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakli Presiden DEMA, anggota SEMA, Ketua dan Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi.
Sebelum adanya Pemilihan Umum Raya, dibentuk tim atau penyelenggara pemilihan biasanya di Universitas Islam Negeri, Jakarta disebut dengan Komisi Pemilihan Mahasiswa (KPM), serta Badan Pengawas Pemilihan Mahasiswa (BPPM).
Dinamika politik kampus hampir sama dengan yang terjadi pada politik negara atau nasional, mereka membentuk kubu atau koalisi dan saling "sikut-menyikut" demi mendapatkan suara untuk meraih kekuasaan. Dinamika yang terjadi dalam kontestasi pesta demokrasi mewarnai perpolitikan yang ada di kampus, seperti terjadinya pelanggaran ketika kampanye konflik antarkubu, kericuhan, adanya buzzer, black campaign, dsb.
ADVERTISEMENT
Di Universitas Islam Negeri, Jakarta, terdapat partai mahasiswa yang mewadahi serta memfasilitasi mahasiswa yang ingin maju dalam kontestasi tersebut, dalam partai mahasiswa juga terdapat idealiogi serta visi dan misi partai.
Perguruan Tinggi menyuguhkan atmosfer pendidikan yang lebih terfokus dan mendalam, juga menawarkan lingkungan yang intelek. Untuk bisa survive sebagai mahasiswa, dikatakan perlu daya berpikir lebih daripada mereka yang tidak mengenyam bangku kuliah.
Tanpa bermaksud mengeneralisir dan menyalahi takdir, kondisi ini tidak salah jika mahasiswa dikatakan mampu melihat serta mengkritisi keadaan pemerintah. Tak hanya otaknya yang diklaim terlatih mengkaji persoalan, mahasiswa berada dibawah institusi legal yang mana track untuk mencapai meja pemerintah lebih dekat. Apalagi, para pengajar di area kampus adalah mereka yang sering bersinggungan langsung dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, mahasiswa tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan pemerintah namun dianggap mampu mengkritisi kebijakan-kebijakannya. Maka posisi mahasiswa menjadi sangat netral dan strategis untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik karena menjadi pengawal kebijakan dan penyambung lidah rakyat.
Lihat betapa sebenarnya kita semua ini pada hakikatnya adalah pelaku politik. Bahkan saintis yang sibuk di laboratorium dan teknisi yang sibuk merancang bangunan sekalipun. Jika kehidupan sebagai teknisi misalnya, tidak sejahtera, temuan tidak dihargai, kompetensi tidak terstandardisasi, dan lainnya, apa lagi kalau bukan persoalan politik.
Tinggal bagaimana kita mau mengalokasikan waktu dan tenaga untuk berpartisipasi aktif sesuai kapabilitas yang kita miliki. Mahasiswa dengan kapabilitas sebesar itu, apakah hanya mau memilih belajar di kelas dan iya-iya saja? Ketika sebetulnya kebertahanan status mahasiswa kita ini diperjuangkan oleh rakyat melalui dana pajak, dan perputaran uang negara. Masih merasa tidak berdosakah untuk bersikap apatis terhadap peristiwa menyangkut rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Andai pemimpin bangsa dapat lahir dari masa lalu yang tidak peduli dan tidak mau mengenal politik, apa mungkin?