Konten dari Pengguna

Keterwakilan Perempuan dalam Politik melalui Kebijakan Kuota di Indonesia

Nadyasheva Unzilla Anggraini
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
8 Oktober 2024 15:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadyasheva Unzilla Anggraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source : Canva Nadyasheva
zoom-in-whitePerbesar
Source : Canva Nadyasheva
ADVERTISEMENT
Kebijakan affirmative action dengan sistem kuota pertama kali diterapkan dalam pemilu legislatif, di mana UU Pemilu dan UU Partai memberi kesempatan kepada perempuan untuk masuk parlemen melalui kuota 30% untuk perempuan, yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Meskipun hasilnya belum memuaskan, undang-undang tersebut diperbarui menjadi UU No. 10 tahun 2008, yang juga mengatur kuota keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar calon. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat kritik karena belum memenuhi janji tersebut selama satu dekade terakhir. Revisi PKPU No. 10 tahun 2023 juga menimbulkan masalah baru, karena aturan yang mewajibkan satu dari tiga calon adalah perempuan dapat dianggap menghapus diskriminasi, tetapi juga menyulitkan pencapaian kesetaraan. Keterwakilan perempuan dalam pemilu diatur dalam berbagai regulasi dan harus sesuai dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang ditujukan untuk kesetaraan gender di berbagai bidang. Untuk itu, upaya yang konsisten dan berkelanjutan sangat diperlukan agar perempuan dapat berpartisipasi secara efektif dalam politik. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 7 tahun 1984, tetapi implementasinya perlu ditingkatkan demi mencapai tujuan kesetaraan gender yang sebenarnya (Maryam, 2012).
ADVERTISEMENT
Dibandingkan di level ASEAN, Indonesia di urutan kelima dari sebelas negara lainnya, jumlahnya 21% ini angka di parlemen saja. Tetapi, jika dilihat lebih jauh lagi ternyata ada kondisi yang memperlihatkan gap yang terlalu besar (Hurriyah, 2024). Hal ini membuktikan bahwa keterwakilan perempuan di level daerah Indonesia hanya sekitar 16% pada 2021. Angka ini lebih kecil dibandingkan negara Laos yang mencapai 32% dan Vietnam dengan angka 29%. Faktor utamanya adalah kebijakan kuota yang sangat berperan sangat penting dalam mendorong peningkatan ketahanan keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan pada lingkup publik telah meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan seluruh lembaga pemerintahan masihlah rendah (Supanji, 2021). Faktor lainnya adalah sebagian rakyat Indonesia masih memandang sebelah mata tentang perempuan, keterwakilan perempuan terbelenggu dalam paham patriarki. Stereotip perempuan lemah telah mengakar kuat yang dijadikan alasan oleh oknum-oknum pro patriarki untuk merendahkan perempuan. Sebagian besar rakyat Indonesia berpikir bahwa perempuan hanya cocok untuk berperan sebagai Ibu dan Istri. Ketidakadilan ini menciptakan budaya di mana perempuan merasa tidak layak dan tidak percaya diri untuk bersaing dalam dunia politik yang keras dan penuh tantangan. Menurut Joni Lovenduksi (Sakaria, 2015), keterwakilan perempuan dalam kekuasaan negara adalah kewajiban yang harus diimplementasikan, karena jumlah perwakilan tersebut harus mencerminkan populasi perempuan. Berdasarkan data sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,2 juta jiwa, terdiri dari 136,66 juta laki-laki (50,58%) dan 133,54 juta perempuan (49,42%). Dengan demikian, ada potensi munculnya gerakan feminis radikal jika perempuan tidak memiliki suara yang dapat mewakili dan mengeksekusi aspirasi mereka (BPS, 2020).
ADVERTISEMENT
Sistem kepartaian di Indonesia masih jauh dari optimal dalam pemberdayaan perempuan (Daniswara & Riwanto, 2021). Perkaderan perempuan dalam partai sering kali hanya dilakukan sebagai formalitas untuk memenuhi kewajiban affirmative action, tanpa adanya program nyata untuk menarik atau melibatkan perempuan sebagai anggota aktif partai. Banyak kader perempuan merasa bahwa kebijakan partai terkait posisi mereka tidak otomatis memberikan peluang untuk berperan lebih aktif atau menjadi pemimpin di pemerintahan. Kader perempuan umumnya ditempatkan pada posisi yang kurang strategis, seperti bendahara, sekretaris, atau seksi konsumsi kegiatan partai yang dianggap sebagai posisi dengan stereotip feminin, seperti urusan administrasi. Hal ini mengungkap kelemahan dalam sistem rekrutmen dan kaderisasi partai, serta lemahnya sanksi dari pemerintah terhadap partai yang tidak menjalankan aturan dengan benar. Faktor-faktor ini menjadi penyebab minimnya keterlibatan perempuan dalam posisi strategis dan kepemimpinan di dunia politik. Salah satu bentuk konkret dari fenomena ini adalah ketika partai politik memasukkan perempuan sebagai calon legislatif hanya untuk memenuhi persyaratan kuota 30% keterwakilan perempuan, yang diatur dalam undang-undang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam praktiknya, beberapa partai hanya memasukkan perempuan dalam daftar pencalonan di posisi yang tidak strategis atau sulit terpilih, sehingga peran mereka menjadi simbolis saja.
ADVERTISEMENT
Di kancah politik internasional, perempuan telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memegang posisi penting dan memberikan dampak signifikan. Salah satu contohnya adalah Kamala Harris, yang pada tahun 2021 menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat. Dia adalah perempuan pertama, orang Afrika-Amerika pertama, dan keturunan Asia pertama yang menduduki posisi tersebut. Contoh lainnya adalah Ngozi Okonjo-Iweala, yang pada tahun 2021 menjadi Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan menjadi perempuan pertama dan orang Afrika pertama yang memimpin WTO, Ngozi membawa pengalaman luas dari karirnya sebagai Menteri Keuangan Nigeria. Di Asia, Tsai Ing-wen terpilih sebagai Presiden Taiwan pada tahun 2016 dan terpilih kembali pada tahun 2020. Sebagai perempuan pertama yang memimpin negara ini, Tsai telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik Taiwan di tengah tekanan dari China. Agar perempuan Indonesia menjadi bagian integral dari politik, bukan sekadar komoditas, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama, pendidikan politik khusus untuk perempuan sangat penting, mencakup kepemimpinan dan keterampilan advokasi, agar mereka lebih percaya diri berpartisipasi aktif. Kedua, partai politik perlu mengubah budaya internal mereka dengan memberi perempuan akses ke posisi strategis, bukan hanya peran administratif, serta menyediakan mentor untuk pengembangan mereka. Terakhir, regulasi yang lebih tegas harus diterapkan, memastikan kuota keterwakilan perempuan diikuti dengan peluang nyata untuk berkontribusi. Dengan ketiga langkah ini, perempuan dapat benar-benar berdaya dalam politik, bukan sekadar simbol.
ADVERTISEMENT