Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kendala Pembudidayaan Sagu di Indonesia
5 Oktober 2022 14:52 WIB
Tulisan dari Rizky Purwantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanaman ini mempunyai nama latin Metroxylon sagu Rottb. Dimana untuk penamaan sagu sendiri itu berasal dari bahasa Jawa yang maknanya berarti pati yang terdapat didalam empulur atau batang tumbuhan. Kata sagu ini kemudian diserap kedalam Bahasa Indonesia-Melayu. Pada Bahasa Inggris, sagu disebut “true sago palm”, dalam Bahasa Jerman “sagopalme” lalu Bahasa Perancis adalah “sagoutier”. Sagu merupakan tanaman endemik khas Asia Tenggara dan beberapa kepulauan Pasifik Selatan, selain di Indonesia, khususnya Papua, sagu juga dapat ditemukan di Pulau Mindanao, Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, Kepulauan Vanuatu, Kepulauan Fiji dan tentunya di Papua New Guinea. Diperkirakan tanaman sagu awalnya bermula dari Papua yang kemudian menyebar ke bagian barat Asia Tenggara dan ke Kepulauan Pasifik dengan berdasarkan kepada Analisis random amplified polymorphism DNA atau RAPD yang mengidentifikasi hubungan genetis dari sekian jenis tanaman sagu yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sagu merupakan salah satu pangan karbohidrat yang dapat dipertimbangkan menjadi “partner” beras untuk mengisi perut rakyat Indonesia. Namun masih ada beberapa kendala dalam pembudidayaan sagu di negeri ini, salah satunya adalah:
1. Biaya produksi sagu masih tergolong mahal apabila dibandingkan dengan penanaman dan produksi padi misalnya. Hal ini terjadi disebabkan pengerjaan untuk memproduksi sagu dilakukan dilokasi yang jauh dari pemukiman dan terkadang jauh dari tempat pohon-pohon sagu itu dibudidayakan sehingga untuk pengiriman ke pabrik maupun didistribusikan ke luar membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan terkadang perusahaan swasta yang memproduksi sagu itu harus membangun sendiri akses jalan yang menghubungkan dengan tempat lain karena lokasi pabrik mereka yang lumayan terpencil. Berbeda dengan penanaman padi yang saat ini sudah cukup dekat dengan jalan yang dapat digunakan untuk mengangkut padi yang telah dipanen untuk dibawa ke tempat pemasaran atau gudang.
ADVERTISEMENT
2. Produksi sagu yang dihasilkan oleh pabrik yang sudah ada masih sangat sedikit jumlahnya karena jumlah pabriknya sendiri saat ini yang tercatat baru ada dua, satu di Meranti, Riau dan satu lagi di Sorong Selatan, Papua. Dimana pabrik yang adapun lebih berorientasi untuk ekspor keluar daripada untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sehingga tidak terlalu berpengaruh dalam mengurangi ketergantungan rakyat terhadap konsumsi beras di Indonesia.
3. Lahan yang dipakai untuk pembudidayaan tanaman sagu terkadang masih diklaim kepemilikannya oleh masyarakat adat setempat. Walaupun perusahaan swasta pembudidaya tanaman sagu telah mendapatkan hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha secara hukum formal, namun hukum adat setempat tidak serta merta dapat menerima ketentuan hukum formal tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan potensi konflik horizontal antar perusahaan dengan masyarakat adat yang dapat merugikan kedua belah pihak dimana dampaknya bisa tersendat atau bahkan terhentinya produksi pengolahan sagu di pabrik itu.
ADVERTISEMENT
4. Budaya mayoritas masyarakat Indonesia yang masih memandang nasi sebagai makanan pokok, sampai ada istilah kalau belum makan nasi berarti belum makan menjadi kebiasaan yang tertanam kuat di benak masyarakat. Budaya “pemakan nasi” ini sebenarnya awalnya lebih banyak berkembang di pulau Jawa, akan tetapi seiring dengan kolonialisme Eropa dan kemerdekaan Indonesia semakin memasifkan konsumsi nasi pada penduduk yang berada dari luar pulau Jawa. Dengan dalih modernisasi membuat penduduk yang berada di luar pulau Jawa juga terpengaruh untuk ikut mengkonsumsi nasi, seperti yang terjadi di pulau Mentawai, padahal penduduk pulau itu sebelumnya termasuk pemakan sagu.