Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Permasalahan Lahan Pengembalaan Hewan Ternak di Indonesia
4 Oktober 2022 17:56 WIB
Tulisan dari Rizky Purwantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lahan merupakan salah satu faktor penting bagi terselenggaranya suatu peternakan. Mungkin saja hewan ternak dapat hidup dan berkembang biak pada tempat tertutup pada gedung bertingkat yang tidak memerlukan lahan yang cukup luas. Namun situasi seperti itu sepertinya hanya dapat diberlakukan pada beberapa hewan ternak yang berukuran kecil saja dan tidak membutuhkan lahan mencari makan yang luas. Pertanyaannya bagaimana dengan hewan ternak yang tetap memerlukan ruang yang apabila tidak dipenuhi berdampak kepada psikologis dari hewan ternak yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Sukses atau tidaknya suatu peternakan bisa sangat ditentukan dari lahan yang tersedia, baik luasan lahan maupun ketersediaan makanan seperti rumput yang dapat tumbuh subur di lahan itu. Kalau mau mengambil pelajaran dari kesuksesan peternakan di negara lain, mereka didukung dengan keberadaan lahan yang memang potensial untuk dijadikan lahan peternakan.
Selanjutnya lahan yang ideal untuk menjadi lahan peternakan setidaknya harus memenuhi beberapa aspek sebagai berikut:
1.Lahan yang sehat, maksudnya jangan sampai lahan yang akan dijadikan lahan peternakan merupakan bekas lahan pembuangan limbah beracun, bekas kawasan tempat pembuangan sampah akhir ataupun daerah endemik penyakit.
2.Dekat dengan sumber air, hewan layaknya mahluk hidup yang lain pasti membutuhkan air bersih yang mencukupi untuk minum, mandi, pembersihan kandang, dan sanitasi pembuangan kotoran hewan ternaknya.
ADVERTISEMENT
3.Dekat dengan pasar hewan ternak atau sentra penjualan ternak hewan agar dapat memudahkan distribusi pemindahan hewan ternak tersebut dan memudahkan pemasarannya sehingga lebih ekonomis.
4.Dapat diakses dengan menggunakan jalan, bisa dengan jalan yang layak dilalui oleh kendaraan maupun jalur kereta sehingga memudahkan mobilisasi hewan ternak yang ada di lokasi peternakan.
5.Dekat dengan lokasi penjagalan atau Rumah Pemotongan Hewan yang sudah sesuai dengan ketentuan akan pemotongan hewan yang baik.
6.Sebaiknya dekat dengan rumah sakit hewan atau instalasi yang dapat segera menangani penyakit hewan yang mungkin saja muncul.
7.Jauh dari pemukiman penduduk, kehadiran hewan ternak apapun terkadang dapat mengganggu kenyamanan penduduk yang tinggal di sekitar itu yang kemudian dikawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal dengan penduduk sekitar yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
8.Suhu yang ada di lahan tersebut seharusnya cocok dengan suhu yang bisa ditoleran oleh ternak hewan biasanya sekitar 23-28 derajat celcius. Diperkirakan suhu diluar itu dapat menghambat pertumbuhan hewan ternak yang hidup di lahan itu.
9.Luasan lahan, hewan ternak yang besar tentu saja membutuhkan lahan yang lebih luas untuk dapat berkembang biak dengan baik, minimal hewan ternak tersebut pada saat memamah biak dapat bergerak leluasa karena lahannya yang tidak membatasi.
10.Jauh dari keramaian, hampir sama dengan jauh dari pemukiman manusia. Selain dapat mengganggu kenyamanan penduduk yang tinggal disekitar lokasi peternakan disisi lainnya dapat membuat ternak hewan yang menjadi terganggu psikologisnya.
11.Lokasi lahan peternakannya sudah sesuai dengan perencanaan tata ruang yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya lahan yang sudah mengacu kepada aspek-aspek lahan peternakan yang ideal seperti diatas diharapkan dapat mendorong terwujudnya kondisi yang nyaman bagi hewan ternak untuk berkembang biak dengan baik.
Pada poin nomor 11 mempunyai potensi masalahnya sendiri, karena kalau kita memperluas kemungkinan kepemilikan lahan yang biasanya ada di Indonesia, ternyata lahan yang ada di negeri ini tidak hanya menjadi tanah negara tetapi terdapat beberapa jenis lahan dilihat dari sudut kepemilikannya. Contohnya seperti Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, selain yang sering berpotensi besar terjadinya konflik lahan termasuk lahan peternakan adalah jika lahan tersebut diklaim sebagai lahan milik masyarakat adat yang kadang dikenal juga sebagai tanah adat atau tanah ulayat.
Konflik atau sengketa yang dapat timbul biasanya muncul bilamana terdapat ketidakjelasan siapa yang sebenarnya memiliki dan persoalan akan kejelasan batas-batas lahannya yang tidak jarang agak kabur. Ketiadaan dokumen berupa sertifikat tanah atau sertifikatnya ada namun ternyata diperkirakan ada yang asli tapi palsu atau bodong membuat masalahnya semakin komplek dan ruwet.
ADVERTISEMENT
Permasalahan semakin tidak jelas karena perbedaan konsep yang diadaptasi oleh penerapan tanah adat atau tanah ulayat itu biasanya diatur dalam hukum adat yang selama jarang yang tertulis. Itu saja sangat berbeda dengan rezim hukum yang berlaku di Indonesia, dimana rezim hukum negeri ini menganut ketentuan bahwa hukum itu harus tertulis dan hukum non tertulis tidak boleh bertentangan dengan hukum tertulis yang sudah dibuat di Indonesia. Konsep hukum di negeri ini juga menganut asas hukum Eropa Kontinental yang terkenal disebutkan sebagai Common Law yang dilihat dari segi proses penyusunan peraturannya harus top-down atau dibuat oleh pemerintah pusat dan parlemen yang kemudian diterapkan kepada masyarakat.
Konsep atau asas ini memang memiliki kelebihan namun tetap saja mempunyai kekurangan, dana apa itu kekurangannya? Bisa jadi kekurangannya adalah kurang diakomodirnya aspirasi dari masyarakat karena asas ini tidak berlandaskan kepada aturan yang hidup di tengah masyarakat seperti hukum adat untuk selanjutnya di formalkan menjadi institusi peraturan perundang-undangan atau bentuk regulasi yang lain seperti yurispudensi seperti yang menjadi inti dari asas Civil Law. Mungkin dalam proses penyusunan di dalam negara yang menganut asas Common Law tetap menyaring dan menampung aspirasi dari bawah atau dari masyarakat namun tetap saja tidak semuanya dapat diterima begitu saja, penentunya tetap ada di tangan pemerintah ataupun parlemen, bahkan seandainya bertentangan atau minimal tidak sesuai dapat saja ditolak oleh mereka, dan muatan regulasi yang akan lahir hanya mengakomodir kepentingan dari yang sudah digariskan oleh pemerintah atau parlemen.
ADVERTISEMENT
Kembali mengenai permasalahan lahan peternakan. Disini konflik yang terjadi sepertinya disebabkan berbedanya ketundukan kepada rezim hukum yang berbeda, apabila tanah ulayat atau tanah adat tunduk pada hukum adat berbeda dengan konsep yang akan diterapkan pada lahan peternakan yang dapat dibuka di Indonesia harus tunduk kepada hukum formal yang berlaku didalam peraturan perundang-undangan negeri ini.
Disini terdapat korelasi akan adanya hukum antar tata hukum yang dapat dijadikan kerangka. Hukum formil telah menjadi ketentuan yang berlaku umum di Indonesia dan telah banyak mengadopsi berbagai banyak aspek-aspek bidang lainnya seperti memperhatikan kepastian hukum dan kelancaran investasi modal yang diharapkan untuk mensupport pembangunan yang tentunya membutuhkan banyak uang untuk penggerak roda ekonominya. Disisi lain harus diakui mau tidak mau bahwa di banyak tempat di Indonesia terdapat masyarakatnya yang masih menganut hukum adat, mau dianggap sebagai hukum yang sudah tidak sesuai lagi dengan arus modenisasi atau tidak memihak kepada kelancaran investasi tetap saja masyarakat masih menganggap kalau hukum yang paling sesuai dengan kehidupan dan kearifan lokal mereka adalah hukum adatnya yang telah hidup selama beberapa generasi dimasyarakat adat tersebut.
ADVERTISEMENT
Pertemuan yang perlu mendapatkan solusinya mungkin adalah dengan mengakomodir kearifan lokal yang ada di masyarakat, mengadopsi ketentuan tradisi yang ada didalam hukum adat. Sulit tapi tetap harus dilakukan dengan cara menampung aspirasi mereka dengan syarat kuat bukan hanya formalitas belaka namun memang dapat menjadi pertimbangan kuat dengan tidak hanya mengutamakan kepentingan dan agenda dari pemerintah dan parlemen.