Konten dari Pengguna

Budaya Merawat Logical Fallacy di Fakultas Hukum

Mayeasa Junaidi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas
9 Juli 2023 7:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mayeasa Junaidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: pixabay.com/jessica45
zoom-in-whitePerbesar
foto: pixabay.com/jessica45
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Universitas pada dasarnya adalah tempat untuk menciptakan manusia-manusia intelektual yang manusiawi dan mampu berpikir kritis. Di dalam Universitas terdapat berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan seni.
ADVERTISEMENT
Agar disiplin ilmu itu tidak berantakan, maka dibentuklah sebuah sistem yang amat sistematis yang disebut fakultas. Sebuah fakultas dibagi menurut ilmu yang diberikan oleh universitas, salah satu bagiannya adalah fakultas hukum yang mana akan diulik dalam tulisan ini.
Fakultas hukum merupakan sarana untuk mempelajari hukum secara keilmuan dan mendalam. Tujuan dari fakultas hukum seharusnya adalah untuk membentuk para akademisi ataupun praktisi hukum yang bermoral dan mampu menjawab tantangan atau persoalan zaman mengenai hukum secara kritis.
Namun, dalam perkembangannya, fakultas hukum cuma sebagai tempat membentuk para sarjana yang hanya berpikir secara kuantitatif, mereka tidak mampu untuk berpikir secara kualitatif. Kemudian dengan sedikit berlebihan, dapat dikatakan bahwa lambat laun fakultas hukum dapat mematikan hati nurani seseorang karena adanya budaya intelektual yang tidak sehat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan-pernyataan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Ada beberapa sebab yang membuat mengapa hal-hal tersebut dapat terjadi. Terdapat beberapa problematika yang rumit bahkan saling terkait sehingga menimbulkan persoalan di fakultas hukum. Untuk itu tulisan ini akan memaparkannya untuk kalian.

Pertama, yaitu sikap apatis yang dipertahankan oleh mahasiswa fakultas hukum

Ilustrasi suasana pembelajaran di kelas. Foto: Dok. Pribadi
Secara singkat sikap apatis adalah sikap yang tidak peduli atau cuek terhadap lingkungan sekitar. Sikap apatis yang dipertahankan oleh mahasiswa fakultas hukum merupakan masalah yang rumit untuk dihadapi. Banyak mahasiswa hukum yang tidak lagi peduli dengan pelajarannya apalagi dengan lingkungan sekitar.
Sebagian mahasiswa datang ke kampus hanya untuk menunaikan kewajibannya, semisal kewajiban sebagai seorang anak. Seharusnya, fasilitas-fasilitas yang terdapat di kampus bisa digunakan oleh para mahasiswa sebagai sarana untuk belajar dan bertukar pikiran satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Adapun contoh dari keapatisan tersebut, tanyakan saja kepada mereka mengenai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sebagian dari mereka pasti tidak mengetahui apalagi memahaminya. Semua itu akibat dari sikap yang apatis dan malas untuk mencari tahu.
Padahal Tri Dharma Perguruan Tinggi sangat penting untuk dipahami para mahasiswa karena mahasiswa adalah salah satu elemen penting perguruan tinggi. Lalu, mahasiswa hukum tidak lagi menganggap organisasi itu penting.
Organisasi tidak lagi dijadikan sebagai tempat penempaan karakter, tempat pembelajaran, melainkan organisasi hanya dijadikan sebagai tempat kongko-kongko semata.
Padahal sebagai orang yang akan menempuh profesi hukum nantinya, setidaknya mereka mesti paham dulu mengenai sesuatu yang struktural, perangkat-perangkat, mengurus administrasi, atau lain sebagainya yang akan mereka temukan di lapangan nanti, yang mana semua wawasan itu akan didapatkan jika mereka pernah ikut berorganisasi. Namanya orang hukum tentu tidak akan jauh-jauh dari persoalan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Sikap apatis yang bersemayam pada diri sebagian mahasiswa merupakan permasalahan yang rumit. Mengapa demikian karena permasalahan yang satu ini akan memunculkan permasalahan-permasalahan lainnya jika tidak segera diatasi.
Sikap apatis tidak selayaknya dipertahankan dalam diri mahasiswa hukum, sebab para mahasiswa tersebut akan menjadi akademisi ataupun praktisi hukum di masa yang akan mendatang. Bagaimana mau menegakan keadilan jikalau dari dini saja sudah tidak mau peduli dengan gejala-gejala sekitarnya.

Kedua, apatisme yang diperankan oleh para mahasiswa akan menyebabkan ketidakmampuan dalam bernalar

Ilustrasi seseorang yang kebingungan. Foto: pixabay.com/Tumisu
Sikap apatis secara tidak langsung akan menyerang kecerdasan yang dianugerahkan tuhan kepada diri mereka. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, mereka tidak lagi peduli dengan pelajarannya.
Mereka hanya mengaminkan pelajaran yang diberikan dosen kepada mereka tanpa mempertanyakan apakah semua itu benar atau salah,bagaimana sebab akibatnya, ataupun pertanyaan semacamnya. Mereka hanya menelan mentah-mentah pelajaran tersebut seolah-olah seperti robot yang sengaja diprogram untuk kepentingan si pemiliknya. Dengan begitu mereka akan hanya mampu berpikir secara kuantitatif.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita yang ditemui di lapangan pun demikian, bahwasanya ketika mahasiswa hukum diajak untuk berdiskusi suasananya akan terasa membosankan. Mereka terlampau merujuk ke pelajarannya sehingga tidak bisa memecahkan suatu persoalan dari hasil intuisi atau nalarnya.
Misal saja, apa itu keadilan? Mereka akan menjawabnya berdasarkan bunyi Undang-Undang. Jika dipertanyakan secara filosofis atau secara sosiologis mereka akan kebingungan sendiri.
Ilmu Hukum bukanlah pelajaran yang dapat kita rujuk kepada rumus-rumus atau suatu hal yang pasti. Sebab ilmu hukum bukanlah pelajaran seperti apa yang dipelajari mahasiswa saintek. Kita tahu bahwa hukum akan selalu berkembang sesuai dengan zamannya. Dengan begitu teori-teori hukum yang muncul oleh para pemikir dahulu pun, belum tentu bisa dipercayai atau dipegang di zaman sesudahnya.
ADVERTISEMENT

Ketiga, fakultas hukum tempat mematikan hati nurani

Ilustrasi palu hakim. Foto: unsplash.com/Tingey Injury Law Firm
Dari keapatisan yang menyebabkan ketidakmampuan dalam bernalar akan menimbulkan logical fallacy (sesat pikir) pada mahasiswa hukum. Mereka selalu merasa paling benar dan paling mengerti. Gejala-gejala sosial yang timbul di tengah masyarakat selalu dipandang dengan cara yang dingin.
Tiap kejadian apa pun dijelaskan dalam terang pasal. Persoalan keadilan pun hanya ditimbang melalui prosedur seperti apa yang telah kampus ajarkan kepada mereka. Tentu ini akibat dari menelan pelajaran mentah-mentah tanpa meragukan ataupun mempertanyakannya. Dan di sini tidak luput juga peranan kampus dalam membina mahasiswanya.
Secara berlebihan, fakultas hukum mendoktrin mahasiswanya agar menjadikan hukum itu sebagai alat dari suatu kebenaran yang pasti. Lalu mahasiswanya juga didongengkan dengan profesi-profesi hukum yang berbayaran tinggi, sehingga bukannya memikirkan bagaimana cara menegakkan keadilan di masa depan, tetapi mahasiswa dibuat berkhayal-khayal akan upah yang didapat dari profesi yang mungkin akan mereka jalani nanti. Dengan begitu bisa dibilang bahwa fakultas hukum sengaja menjerumuskan mahasiswanya ke dalam ranah-ranah yang buruk.
ADVERTISEMENT
Hukum berada di atas segala keyakinan. Dengan paham yang seperti itu menjadikan mereka mudah untuk menghakimi seseorang tanpa rasa berdosa. Bukankah belakangan ini kita menyaksikan seorang nenek tua yang diseret karena tuduhan kriminal. Atau seorang komika yang dilaporkan karena mengkritisi persoalan yang terjadi.
Polisi, jaksa, hingga hakim meyakini kalau tindakan mereka sesuai dengan prosedur. Kepercayaan diri yang naif itu subur karena memang dirakit semenjak mereka kuliah. Inilah yang disebut fakultas hukum sebagai tempat mematikan hati nurani seseorang.

Keempat, tidak ada mata kuliah lapangan

Ilustrasi ruangan kelas. Foto: unsplash.com/Ivan Aleksic
Logika dari hukum adalah peristiwa bukan sesuatu yang abstraksi. Mahasiswa fakultas hukum dibina dalam suasana pembelajaran yang dangkal. Tidak ada mata kuliah yang membawa mereka langsung terjun ke lapangan.
ADVERTISEMENT
Minimnya sentuhan dari realitas yang ada di kehidupan sekitar menciptakan mahasiswa seperti robot dan boneka. Mereka hanya diajarkan tentang pasal-pasal lalu menghubungkannya dengan suatu kejadian dengan bunyi pasal.
Keterbatasan itu dibentuk dari pembelajaran-pembelajaran yang hanya berbau materi dan prosedural dalam kuliah hukum. Sebaiknya pendidikan hukum bukan berkaca dari buku, melainkan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Mereka harusnya segera sadar bahwa pengetahuan hukum yang telah mereka pelajari itu, sedikit banyaknya telah menghakimi ribuan orang yang tidak bersalah dan juga telah memenangkan ribuan orang yang bersalah.
Akhirul kata, seperti inilah realita problematika yang terdapat di fakultas hukum. Memang tidak semua fakultas hukum yang begitu, namun setidaknya dari paparan tersebut, bisa jadi mahasiswa hukum menyadari dan mulai berbenah diri akan ketelodorannya selama ini. Mereka tidak lagi menjadi bagian dari produk-produk hukum yang sengaja dibentuk untuk kepentingan.
ADVERTISEMENT
Mengutip perkataan filosof Socrates “Orang yang mengetahui apa yang baik akan berbuat baik.” Dengan ini maksudnya ialah bahwa wawasan yang benar akan menuntun seseorang pada tindakan yang benar, dan hanya orang yang bertindak benar sajalah yang dapat menjadi orang yang berbudi luhur.
Dan seyogyanya kampus tidak hanya dijadikan sebagai tempat berkumpul, tetapi kampus adalah sebagai wadahnya bertemu (bertemunya berbagai insan dan bertemunya berbagai pemikiran). Dan dari setiap pertemuan akan lahirlah kesadaran yang sama sekali baru.
Dalam kesadaran baru semua berprinsip: aku membutuhkan kau dan kau membutuhkan aku. Dan ketika kau bersama aku, kita sama-sama merangkaki realita kelam untuk memahami yang tak terpahamkan. Bukankah itu salah satu tujuan pertemuan kita di fakultas hukum?
ADVERTISEMENT