Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tradisi Pacu Jawi : Sebagai Media Dakwah dan Pelestarian Budaya Minangkabau
15 November 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Wika Naspia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Minangkabau terkenal dengan adat istiadatnya yang kental akan budaya. Banyak sekali budaya lokal, dan tradisi dari nenek moyang yang masih dilestarikan sampai sekarang. Salah satu tradisinya adalah Pacu Jawi, Pacu Jawi sendiri berasal dari bahasa Minang. Pacu berarti lomba kecepatan, sedangkan Jawi berati sapi, jadi Pacu Jawi berarti lomba sapi yang paling cepat.
ADVERTISEMENT
Sejarah dan Asal Usul Pacu Jawi
Pacu Jawi sudah dilakukan dari beberapa ratus tahun yang lalu, walaupun tidak ada informasi yang tepat mengenai waktu pertama kali pelaksanaannya. Pacu Jawi bermula dari petani zaman dahulu, yang mencari cara bagaimana supaya sawah subur. Karena belum adanya teknologi seperti sekarang, jadi menggunakan cara tradisional yaitu sapi untuk meratakan, dan menggemburkan tanah. Sehingga, mempermudah petani menanam padi. Selain itu, kotoran sapi bisa dijadikan pupuk alami oleh para petani.
Datuak (Dt) Tantejo Gurhano adalah penemu Pacu Jawi. Datuak Tantejo Gurhano merupakan tertua atau pemuka adat setempat. Gelar datuak sendiri di Minangkabau diberikan kepada seseorang melalui kesepakatan suku, dan sampai ke tingkat rapat oleh tokoh pemuka adat setempat. Dt Tantejo Gurhano awalnya mencari cara bagaimana cara memudahkan menanam padi dan membuat tanah subur. Hingga menemukan cara membajak sawah dengan menggunakan sapi. Selain itu, Pacu Jawi juga dimanfaatkan sebagai wadah dalam meningkatkan harga jual, dan kesehatan sapi. Harga jual sapi bisa meningkat berkali-kali lipat jika sapi tersebut sering memenangkan perlombaan.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, menjadi sebuah perlombaan atau permainan bagi masyarakat setempat. Hal itu dijadikan sebagai hiburan dan pengisi waktu luang setempat setelah panen padi berlangsung. Hingga menjadi sebuah tradisi yang masih dilakukan sampai sekarang.
Permainan Pacu Jawi
Permainan pacu jawi dilaksanakan empat kali dalam seminggu, setiap hari Sabtu. Yang dilakukan secara bergilir di empat kecamatan, Kecamatan Pariangan, Tanah Datar, Sumatra Barat. Tapi, tidak hanya di kecamatan Pariangan saja, Pacu Jawi juga bisa ditemukan di Kecamatan Sungai Tarab, Kecamatan Limo Kaum, Kecamatan Rambatan.
Permainan pacu jawi sangat meriah, karena sapi yang ikut dalam perlombaan mencapai 500 sampai 800 ekor. Permainan tersebut dilakukan di dalam sawah, biasanya sawah itu milik masyarakat setempat. Acaranya berlangsung dari pukul 10.00 sampai 17.000
ADVERTISEMENT
Permainan ini tidak hanya soal kecepatan atau sapi yang paling cepat, tapi permainan ini juga dinilai dari kekuatan dan kemampuan berlari lurus. Sepasang sapi dikendalikan oleh seorang joki. Sapi yang digunakan adalah sapi jantan yang sudah berumur dua sampai 13 tahun. Sapi berlari berpasangan dengan diikat di sebuah alat bajak yang terbuat dari kayu, untuk tempat joki berdiri. Sepasang sapi dikendalikan oleh seorang joki,
Panjang sawah digunakan mulai dari ukuran 60 meter, 100 meter, sampai 250 meter. Kedalaman lumpur lintasannya bisa mencapai 30 meter. Para sapi juga sudah terlatih ketika mendengar aba-aba, ketika joki menginjak alat bajak maka sapi akan mulai berlari. Untuk mengendalikan sapi sang joki dapat memegang ekor kedua sapi. Joki tidak boleh jatuh dari pijakan bajak, serta juga dituntut bisa mengendalikan kedua sapi agar tidak terpisah, dan bisa berlari dengan lurus hingga garis finis.
ADVERTISEMENT
Tahapan Tradisi Pacu Jawi
Mulai dari tahap persiapan, kecamatan yang menjadi tuan rumah akan gotong royong untuk mencari lokasi, dan menemukan lahan untuk kegiatan Pacu Jawi. Masyarakat bekerja sama membersihkan area pacu, mengalirkan air, dan menghaluskan lahan. Setalah acara selesai masyarakat kembali gotong royong untuk meratakan tanah.
Tahap selanjutnya, pelaksanaan. Di awal acara penyambutan oleh Pemerintah Daerah, di hadiri juga oleh pemuka adat. Acara akan dilaksanakan secara setelahnya. Pengaturan jadwal pacu jawi di atur oleh Persatuan Olahraga Pacu Jawi (PORWI).
Tahapan penutup, tahapan ini akan lebih meriah, karena akan ada berbagai pertunjukan kesenian. Mulai dari tari tradisional, pertunjukan alat musik, dan juga pidato dari tokoh-tokoh penting.
Lalu tahapan terakhir, pawai. Sapi yang menjadi juara diarak keliling kampung, sapi-sapi itu juga akan didandani, dan dipakaikan suntiang. Suntiang merupakan hiasan kepala tradisional khas Minangkabau yang dipakai perempuan Minang. Hanya di acara ini pemandangan sapi memakai suntiang.
ADVERTISEMENT
Nilai Tersembunyi dalam Pacu Jawi
Banyak nilai yang terdapat dalam kegiatan Pacu Jawi beberapa nilai yang terkandung dalam permainan Pacu Jawi. Pertama, nilai kekompakan dan jiwa gotong royong. Kegiatan ini membangun kekompakan dan jiwa gotong royong masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki jiwa kerja sama yang tinggi.Kedua, nilai seni. Salah satu nilai seni dari Pacuan Jawi adalah permainan yang dimainkan oleh anak - anak Nagari , antara lain seperti Tari Piring, Talempong, dan Aguang Bana. Kesenian tradisional Minangkabau ini mengiringi Pacuan Jawi tersebut. Hal ini dapat dilihat saat musik talempong mengiringi tarian piring dan pada saat Niniak Mamak berpidato dengan menggunakan Petatah Petitih yang dialunkan sambil berdendang dengan kata-kata penuh makna. Dalam pelaksanaan kegiatan Pacu Jawi juga memberi peluang dalam memperkenalkan kesenian tradisional kepada anak dan pendatang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, nilai ketertiban. Nilai ketertiban terlihat dari para peserta yang dengan sabar menantikan sapi-sapi Pacuan mereka untuk berPacu. Pada perlombaan Pacu Jawi ini, sapi yang berlomba hanya sepasang-sepasang saja, sehingga peserta yang lain harus menunggu giliran dengan tertib dan sabar.
Terakhir nilai agama, dalam tradisi Pacu Jawi juga terdapat nilai agama. Permainan ini dilaksanakan juga bentuk syukur masyarakat atas hasil panen yang mereka dapatkan. Memberi pelajaran bahwa apa yang didapatkan harus disyukuri.
Tradisi Pacu Jawi Sebagai Media Dakwah Islam
Tradisi Pacu Jawi Bukan sekedar balapan sapi dan hiburan semata saja, tetapi juga berfungsi sebagai media dakwah islam. Tradisi ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah, yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan sosial masyarakat. Beberapa aspek konteks dakwah melalui Pacu Jawi adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Media Dakwah bagi Generasi Muda
Pacu Jawi bisa dijadikan sarana untuk menarik minat generasi muda terhadap budaya, sekaligus memperkenalkan nilai-nilai Islam secara nonformal. Sebagai generasi yang mungkin tidak terbiasa dengan pengajian langsung atau forum agama formal, generasi muda bisa diberikan edukasi agama secara halus melalui ajakan partisipasi dalam kegiatan ini, serta di dalam acara Pacu Jawi adanya penyampaian atau kata-kata nasehat yang di sampaikan oleh pemuka agama atau pemuka adat.
2. Penyisipan Nilai-Nilai Islam
Melalui Pacu Jawi, nilai-nilai Islam seperti semangat kebersamaan, persaudaraan, dan rasa syukur dapat disisipkan. Kegiatan ini juga dapat dikaitkan dengan konsep syukur dalam Islam atas hasil panen yang melimpah sebagai karunia dari Allah. Selain itu, adanya kerjasama dalam mempersiapkan dan mengelola acara mencerminkan prinsip gotong royong dan ukhuwah (persaudaraan) yang diharuskan dalam syari’at Islam.
ADVERTISEMENT
3. Pendekatan Dakwah Melalui Budaya
Dakwah melalui pendekatan budaya lokal seperti Pacu Jawi memiliki dampak yang lebih mendalam bagi masyarakat, terutama yang berakar kuat pada adat Minangkabau. Dalam pendekatan ini, para da’i bisa menyampaikan pesan-pesan moral dan keagamaan dengan menggunakan konteks budaya yang dekat dengan keseharian masyarakat. Da’i juga bisa menjangkau audiens yang lebih banyak lagi, karena yang hadir dalam Tradisi Pacu Jawi tidak hanya orang dewasa saja. Remaja dan anak-anak, bahkan orang luar negari juga ikut berkontribusi di dalamnya. Hal ini menjadi kesempatan bagi da’i untuk menyebarkan syari’at agama Islam lebi luas lagi.
4. Penguatan Karakter Melalui Dakwah Bil Hal
Dakwah bil hal, atau dakwah dengan tindakan nyata. Bisa diterapkan dalam Pacu Jawi melalui penguatan karakter Islami seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Dalam konteks ini, pesan-pesan tentang pentingnya menjunjung sportivitas dan kejujuran selama acara balap bisa menjadi media yang kuat untuk membangun moralitas Islami.
ADVERTISEMENT
5. Peran Pemimpin Lokal dan Tokoh Agama
Dalam acara Pacu Jawi, tokoh adat dan agama memiliki peran penting. Mereka dapat memimpin doa sebelum acara dimulai atau memberikan ceramah singkat tentang pentingnya bersyukur dan berterima kasih atas rezeki. Dengan demikian, kehadiran tokoh agama di tengah acara memberikan kesan bahwa Islam tidak hanya diterapkan dalam ibadah ritual, tetapi juga meresap dalam kegiatan sosial-budaya.
6. Wisata Religius sebagai Sarana Dakwah
Pacu Jawi juga menarik perhatian wisatawan lokal maupun asing, sehingga membuka peluang untuk menyebarkan nilai-nilai Islam kepada khalayak yang lebih luas. Dengan menggabungkan unsur budaya dan dakwah, acara ini bisa menjadi bentuk wisata religius yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik masyarakat.
Dengan pendekatan ini, Pacu Jawi tidak hanya menjadi sekadar hiburan rakyat, tetapi juga sarana efektif dalam menyebarkan dakwah, terutama dalam menyampaikan nilai-nilai moral dan ajaran Islam yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Pacu Jawi sebagai pelestarian budaya lokal Minangkabau
Pacu Jawi merupakan tradisi yang selalu dipertahankan dari dulu oleh masyarakat Minangkabau. Tidak hanya sebagai ajang perlombaan semata, permainan ini juga sebagai pelestarian adat yang harus dipertahankan dan dikenalkan kepada anak-anak generasi berikutnya. Karna mengandung banyak sekali nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalamnya. Selain itu, tradisi Pacu Jawi juga sebagai penarik turis dari berbagai negara. Karena permainan yang unik membuat para turis berdatangan untuk melihat tradisi tersebut. Pacu Jawi menjadi tontonan yang menarik ditegah kemajuan teknologi.
Adat-adat di Minangkabau masih yang diadakan sampai sekarang, hal tersebut sebagai bentuk pelestarian budaya lokal, dan adat istiadat yang telah di wariskan oleh nenek moyang. Tradisi ini harus terus diadakan agar memperkenalkan kepada generasi-generasi berikutnya. Tradisi dari budaya lokal harus tetap dilestarikan walaupun terus bersaing dengan perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Wika Naspia, Cindy Aulia, Chintya Maharani. Mahasiswa Universitas Muhammadiya Yogyakarta