Belajar dari Sarah Gilbert: Melepaskan Hak Paten Demi Kemanusiaan

Agustinus Hadi Nugroho
ASN pada Badan Riset dan Inovasi Nasional
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2021 11:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agustinus Hadi Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sarah Gilbert melepaskan hak paten atas dasar kemanusiaan
zoom-in-whitePerbesar
Sarah Gilbert melepaskan hak paten atas dasar kemanusiaan
ADVERTISEMENT
Pekan lalu dunia dibuat terkesan dengan Sarah Gilbert, inventor vaksin AstraZeneca, yang rela melepaskan hak patennya. Keputusan Sarah terbilang luar biasa ditengah ‘perang vaksin’ yang terjadi di dunia hari ini. Dengan melepaskan hak patennya, berarti Sarah turut melepaskan potensi royalti jutaan dolar yang bisa masuk ke kantongnya. Potensi royalti yang didapat dari angka jual-beli vaksin di tingkat global memang luar biasa, apalagi mengingat fakta lonjakan saham emiten-emiten farmasi pembuat vaksin yang bisa mencapai ratusan hingga ribuan persen di pasar saham. Misalnya saja Dr. Ugur Sahin dan istrinya Ozlem Tureci, inventor vaksin Pfizer-BioNTech, yang mendadak menjadi miliarder. Sejak diumumkan bahwa vaksin Pfizer terbukti 90% efektif untuk melawan Covid-19, kekayaan bersih keduanya kini melonjak mencapai 5,2 milliar USD atau setara dengan 72,8 trilun Rupiah. Sebuah angka yang sangat mengesankan sehingga keduanya kini masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di Jerman dan 1000 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes. Begitu pula dengan inventor vaksin Moderna, Prof. Tim Springer dan Prof. Robert Langer, yang kekayaannya melonjak masing-masing menjadi 2 miliar USD dan 1,5 miliar USD. Sungguh sebuah nilai yang luar biasa dari royalti paten.
ADVERTISEMENT
Keputusan Sarah Gilbert untuk melepaskan hak paten di saat dia seharusnya dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dapat disebut sebagai aksi terpuji dan layak memperoleh apresiasi setinggi-tingginya. Sarah tidak mengambil kesempatan itu untuk memperkaya dirinya sendiri.
Pantas jika pada hari pembukaan turnamen tenis Wimbledon tahun ini, Sarah bersama timnya yang sedang menonton pertandingan tenis di tribun penonton mendapatkan standing ovation yang luar biasa dari seluruh isi stadion. Sarah memandang bahwa pematenan vaksin hanya akan menghambat proses produksi dan penyebarannya ke seluruh dunia, padahal hal itulah yang dibutuhkan sebagai faktor krusial di saat situasi darurat akibat pandemi. Dikutip dari Reuters, Sarah mengatakan, “Saya tak ingin mengambil (hak paten). Sudah seharusnya kita bisa berbagi dan membiarkan semua orang membuat vaksin mereka sendiri”. Sebagai implikasi, pelepaskan hak paten yang dilakukan oleh Sarah akan mampu menekan harga produksi vaksin AstraZeneca di pasar global sehingga dapat diakses secara lebih murah bagi negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Sebagaimana diketahui bahwa vaksin AstraZeneca merupakan salah satu vaksin dengan harga termurah saat ini. Selain itu, dengan melepaskan hak paten berarti Sarah membuka keran bagi kemungkinan negara-negara berkembang untuk memproduksi vaksin mereka sendiri dengan biaya yang lebih murah. Sarah mungkin tidak akan pernah menjadi salah satu orang terkaya di dunia seperti Dr. Ugur Sahin atau Prof. Tim Springer, namun dengan tindakannya ini Ia akan selalu dikenang oleh dunia sebagai seorang pahlawan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi situasi biasa, perlindungan terhadap paten merupakan hal yang sangat penting demi mendorong dan menstimulasi terciptanya inovasi-inovasi dalam masyarakat. Sayangnya hal yang sama cenderung bersifat kontra-produktif pada saat situasi darurat seperti halnya pada saat terjadinya pandemi seperti hari ini. Perlindungan paten terhadap produk-produk farmasi justru berkontribusi terhadap mahalnya harga obat dan vaksin, sehingga meningkatkan beban anggaran negara dalam langkah upaya penanggulangan pandemi. Selain itu, perlindungan paten terhadap obat dan vaksin justru akan membatasi upaya dari tiap-tiap negara untuk mampu memproduksi obat dan vaksin bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat mereka sendiri. Dengan kata lain, perlindungan hak paten di saat pandemi akan memblokir langkah dari tiap-tiap negara, terutama bagi negara dengan tingkat teknologi menengah ke bawah, untuk menciptakan program kedaulatan kesehatan dan industri farmasi nasional mereka. Alhasil, negara-negara semacam ini hanya akan menjadi pasar yang lebih banyak mengimpor produk-produk farmasi dari negara-negara maju, sehingga menghasilkan kesenjangan pendapatan yang lebih dalam antara negara produsen dan konsumen selama berlangsungnya pandemi. Padahal dalam situasi darurat kesehatan, penting bagi negara-negara untuk merumuskan program yang efisien dan efektif melalui respon yang cepat.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kondisi penanganan pandemi di Indonesia sejauh ini, bahwa Indonesia mengalami ketergantungan yang amat besar terhadap impor obat, bahan baku obat dan vaksin untuk penanganan pandemi Covid-19. Seperti halnya telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam sambutan Rakernas Apoteker Indonesia tahun lalu bahwa 90% persen produk farmasi nasional masih mengandalkan impor. Padahal kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia seharusnya dapat menjadi modal bagi pengembangan industri farmasi nasional. Pada gilirannya, lemahnya kedaulatan industri farmasi nasional menjadi salah satu faktor melebarnya defisit neraca anggaran nasional selama terjadinya pandemi. Bukan hanya karena devisa negara yang menguap ke perusahaan-perusahaan farmasi global, melainkan juga karena pengadaan obat dan vaksin telah berkontribusi terhadap penambahan utang negara. Bukan bermaksud sinis dengan menyatakan bahwa utang negara sebagai hal yang melulu bermakna negatif, namun alokasi anggaran produktif yang seharusnya dapat dipakai untuk pembangunan infrastruktur dan pembukaan lapangan kerja jadi terpakai untuk sekedar menutup beban anggaran kesehatan nasional. Sekedar informasi, terhitung sejak pandemi utang pemerintah Indonesia telah tumbuh secara ekponensial sekitar 4,8% atau menembus Rp. 6.041 triliun per April 2021. Utang ini baru mencakup utang luar negeri, belum termasuk angka dari penerbitan surat utang atau obligasi sebesar Rp. 1.000 triliun. Dari total utang tersebut Pemerintah telah mengalokasi sekitar Rp. 58,18 triliun untuk pengadaan vaksin, belum termasuk untuk pembelian obat-obatan dan biaya perawatan medis. Mirisnya, bahkan dengan nilai sebesar itu masih belum dapat meng-cover keseluruhan biaya vaksinasi yang menyasar 70% populasi atau 181,5 juta orang. Dengan demikian, nilainya diperkirakan akan terus menerus bertambah selama pandemi masih berlangsung.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi memang telah menginstruksikan untuk segera mempercepat pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan nasional sejak tahun 2016, sayangnya hal itu memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Apalagi pemerintah juga harus berhadapan dengan mafia-mafia farmasi dan alat kesehatan yang posisinya lebih banyak diuntungkan dari kegiatan impor. Langkah ini semakin sulit terwujud kala pandemi dimana tekanan semakin meningkat untuk segera melakukan pemberian obat dan vaksin kepada masyarakat. Akhirnya daripada menunggu pembangunan industri farmasi yang membutuhkan waktu lebih lama dan dibatasi oleh banyak hak paten luar negeri, kebijakan nasional di bidang kesehatan diarahkan untuk melakukan impor. Ini akan menjadi sebuah siklus lingkaran setan yang menjerumuskan Indonesia ke dalam lilitan utang yang semakin dalam dan menghasilkan kondisi pemiskinan negara dalam jangka waktu yang panjang.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ada satu langkah yang barangkali boleh dicoba untuk meringankan beban anggaran kesehatan pemerintah di masa pandemi ini, yaitu dengan menuntut pembebasan paten, baik sementara atau permanen, bagi para produsen penyedia obat dan vaksin Covid-19. Dengan pembebasan paten diperkirakan harga obat dan vaksin bisa turun 25% hingga 75%. Penurunan harga obat dan vaksin akan membantu upaya penghematan anggaran bagi negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, sehingga sebagian alokasinya dapat dialihkan ke sektor produktif. Selain itu, pembebasan paten akan berbanding lurus dengan perluasan akses produksi dan distribusi obat dan vaksin ke seluruh negara di dunia. Negara-negara berkembang bukan saja dapat mengimpor produk-produk farmasi dengan biaya yang lebih murah, melainkan sekaligus dapat memulai program kedaulatan industri farmasi dengan memproduksi obat dan vaksin mereka sendiri. Pada gilirannya hal ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk-produk dari perusahaan farmasi raksasa global yang mayoritas berada di negara-negara maju, dan dengan demikian diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antara negara berkembang dan negara maju di masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Seperti telah diketahui, bahwa badai pandemi mengakibatkan terjadinya badai resesi ekonomi bagi negara-negara berkembang. Resesi ekonomi memang bukan saja dialami oleh negara-negara berkembang, melainkan juga negara-negara maju akibat melambatnya aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi. Akan tetapi, negara-negara maju masih dapat memperoleh penghasilan luar biasa dari ekspor bisnis di bidang farmasi, sedangkan negara-negara berkembang cenderung hanya menjadi objek eksploitasi pasar mereka. Situasi ini jelas akan menciptakan jurang kesenjangan pendapatan yang semakin dalam pada masa pandemi. Oleh sebab itu, boleh dikatakan bahwa efek paling dalam daripada pandemi akan lebih dirasakan oleh negara berkembang seperti Indonesia, dibandingkan dengan negara maju yang memiliki kekuatan pada industri farmasinya.
Langkah untuk mengupayakan pembebasan paten bukan tidak pernah terpikirkan dan teraktualisasi sama sekali. Isu ini pernah dibawa ke sidang dewan WTO’s Trade-Related Aspects of Intellectual Property pada bulan Mei tahun ini. Setidaknya proposal ini telah didukung oleh lebih dari 100 negara berkembang, termasuk Indonesia, namun sayang masih menemukan jalan buntu. Negara-negara kaya menyatakan pemblokiran terhadap usulan tersebut. Daripada mendukung upaya pembebasan paten, negara-negara kaya menyerukan pendanaan yang lebih besar terhadap skema distribusi vaksin melalui COVAX, lisensi sukarela dan perjanjian terhadap transfer teknologi. Bagi negara-negara kaya isu tentang pengabaian paten bukanlah masalah terbesar dalam hal produksi dan distribusi obat dan vaksin guna penanggulangan pandemi. Negara-negara kaya beranggapan bahwa pengabaian paten justru akan berdampak buruk terhadap insentif yang akan diterima oleh inventor dan perusahaan produsen farmasi untuk merespon datangnya kembali pandemi di masa depan. Bagi negara-negara kaya, strategi untuk penurunan biaya dan peningkatan produksi dan distribusi obat dan vaksin tidak dilakukan dengan pengabaian paten, melainkan konsolidasi melalui konsorsium internasional terhadap distribusi seperti halnya COVAX, demi akses yang murah, adil dan merata. Selain itu negara-negara kaya juga beranggapan bahwa strategi pembebasan paten tidak akan efektif mempercepat dalam hal produksi obat dan vaksin di negara-negara miskin, karena mengabaikan kerumitan dalam hal produksinya. Produksi vaksin dengan teknologi rekayasa genetika mRNA semisal Moderna dan Pfizer contohnya, membutuhkan teknologi dan fasilitas yang canggih yang tidak mungkin dimiliki oleh negara-negara miskin untuk saat ini. Dengan demikian, biaya investasi yang dibutuhkan bisa jadi lebih mahal untuk mengembangkan teknologi dan fasilitas semacam itu di negara-negara miskin.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan penolakan usulan tersebut di sidang dewan WTO, negara-negara berkembang mencurigai bahwa keengganan negara-negara kaya terhadap usulan ini lebih berkaitan dengan kepentingan ekonomi-politik mereka, yang mana pembebasan paten akan menyebabkan mereka kehilangan banyak pundi-pundi pendapatan. Artinya, negara-negara kaya bersama dengan perusahaan-perusahaan farmasinya bekerja sama untuk mempertahankan status monopoli terhadap alur produksi dan distribusi produk farmasi di tingkat global dengan menggunakan tameng perlindungan hak kekayaan intelektual demi mendapatkan keuntungan maksimal dari situasi dunia hari ini. Tak ayal jika negara-negara berkembang kemudian menuduh telah terjadi praktik kartel farmasi antara pemerintah-swasta di negara-negara kaya yang bertujuan untuk mempertahankan dominasi mereka di tingkat global atas akses obat dan vaksin. Kartel farmasi pemerintah-swasta dari negara-negara maju ini bahkan dituduh juga bukan hanya memiliki kontrol atas peredaran obat dan vaksin secara global, melainkan juga menekan keputusan dan kebijakan kesehatan di tingkat global melalui lembaga internasional semacam WHO. Selain itu kartel farmasi ini memiliki jaringan yang sangat luas di tingkat lokal di negara-negara berkembang sehingga mampu menekan pemerintahan di negara itu.
ADVERTISEMENT
Menurut WTO, perdebatan atas isu pembebasan hak paten akan memakan waktu yang panjang sehingga menjadi tidak krusial sebagai tindakan darurat penanggulangan pandemi saat ini. Terlepas dari perdebatan pandangan dan perbedaan kepentingan ekonomi-politik antara negara maju dan negara berkembang, serta motif-motif yang mungkin tersembunyi, kiranya semua orang harus sepakat bahwa solidaritas akan kemanusiaan harus menjadi nilai yang lebih utama daripada aspek bisnis dalam situasi darurat pandemi hari ini. Dunia hari ini dihadapkan oleh sebuah tragedi yang menghadirkan sebuah situasi krisis bagi hidup manusia, oleh karena itu menuntut sikap saling berbagi, tolong menolong dan cinta kasih. Kiranya dengan sikap hidup yang demikian itu akan membantu meringankan penderitaan yang tengah dialami oleh umat manusia di bumi. Belajarlah dari Sarah Gilbert! Seorang perempuan yang telah bekerja keras untuk menyembuhkan dunia yang sedang sekarat tanpa mengambil keuntungan dari royalti yang seharusnya bisa dia dapatkan. Sebuah sikap tulus dan penuh cinta yang akan terus menginspirasi dunia.
ADVERTISEMENT