Konten dari Pengguna

Keriaan Fotografi yang Terlalu Kasat Mata

Mardohar B B Simanjuntak
Mardohar B.B. Simanjuntak berprofesi sebagai dosen filsafat di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ia terlibat dalam berbagai forum dan pusat studi kebudayaan. Ia juga gemar menulis tentang seni kontemporer.
22 Oktober 2022 13:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardohar B B Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Malam itu di bekas Bioskop Dian, jalan Dalem Kaum 58, cuaca cerah. Hampir tidak ada rintik atau gerimis yang siap mengguyur dari langit. Suasana riuh khas daerah kisaran Alun-Alun Bandung pun terasa akrab dan nyaman. Tepat di malam itu pembukaan sebuah rangkaian pameran – Bandung Photography Month 2022, dilaksanakan.

Antara Detektif Conan dan Yuval Harari
Menebak memang bukan perkara mudah, kata sejarawan Yuval Noah Harari. Apalagi, lanjut Harari dalam Homo Deus, memperkirakan sejarah yang akan “terjadi” di masa depan. Maksud Harari, kalau saya memprediksi setelah melihat sebuah rekaman CCTV tentang penodongan yang mengintai di sebuah gang sempit – maka saya kemudian meminta jasa seorang pengawal pribadi untuk menemani saya menelusuri gang tersebut; alhasil, saya tidak ditodong oleh siapapun. Prediksi saya gagal, karena – menurut Harari – prediksi itu berlapis ganda.
ADVERTISEMENT
Conan, memang tokoh manga Jepang terkenal – dan mungkin tidak banyak orang yang mengaitkannya dengan keberadaan Sherlock Holmes. Padahal, kaitannya keduanya cukup erat: Conan lahir sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras Sir Arthur Conan Doyle dalam mengangkat rasio sebagai bentuk supremasi cara berada dan mencairkannya ke dalam ranah dan wilayah fiksi. Sang detektif dewasa sekaligus cilik memang punya kemampuan untuk membaca terbalik. Bila ada lomba lari, maka rekam jejak – harfiah – sang atlet bisa dirunutnya sampai ke garis akhir.
Lantas apa kaitan – benang merah – sang Conan dengan Harari? Sebuah ungkapan tentang betapa sulitnya menarik garis mundur ke belakang sembari menjaga intensi agar tidak masuk ke lapis prediksi kedua. Kesetiaan untuk tetap tahu tanpa terganggu dorongan untuk memotong pembicaraan memang tidak mudah. Mengaitkan keduanya adalah persoalan jam terbang. Hanya bila kita semakin terampil untuk tetap setia pada rasa keingintahuan, kita bebas dari terpangkasnya dialog yang sebenarnya bernas. Kecerdikan ini yang kita butuhkan untuk membaca pameran di venue Bioskop Dian ini.
ADVERTISEMENT
Ironi dan Imajinasi Alternatif
Sekarang, kita diajak bergerak mundur ke belakang bersama Shinichi Kudo sang detektif dimulai dari depan, sembari Harari mengawasi kita dari samping. Tempat kejadian perkara menyuguhkan kita lembaran-lembaran foto yang disusun bak jemuran dan menghalangi pandangan ke kiri dan ke kanan. Singkatnya kita seperti disergap oleh keganjilan yang memberi kita sontekan: “baca secara terbalik” – demikian inti pesan yang tertulis dari pajangan film negatif tersebut.
Mendengar bisikan ganjil tersebut, Shinichi biasanya akan melemparkan inderanya ke segala penjuru. Di hadapan jejeran film negatif tersebut ada tiga alat: kamar gelap portabel, kamera format besar, dan bak pengembang sianotip. Ketiganya butuh kecanggihan teknik dan keterampilan dalam pengoptimalan fungsinya. Kamar gelap sendiri mungkin tahunan untuk bisa sampai tahap mahir. Di sebelah kiri dan kanan ketiga benda sakral fotografi tersebut kita melihat deretan karya berbagai ukuran dari berbagai teknik. Berbagai karya itu seakan berdiri tegas dan tegar di ruang pamer, seolah menopang garang gedung yang mulai reyot itu.
ADVERTISEMENT
Menghadapi berbagai petunjuk semacam itu mungkin seorang Shinichi harus menarik napas sejenak dan diam merenung. Petunjuk utama “kasus” ini ada di foto-foto negatif yang terjemur terpampang menghalangi niat masuk. Shinichi harus berpikir jernih bila tidak ingin terjebak dalam lapisan ganda prediksi – hingga kesimpulan akhirnya hanya projeksi dari imaji-imaji yang ada di kepalanya.
Membaca pameran ini secara terbalik berarti mulai dengan menarik oposisi biner dari artefak yang ada di ruangan ini. Kita bisa mulai dari gedungnya: ini bukan gudang dengan tumpukan kanvas; ini adalah ruang pamer dengan panel. Ruang ini tidak gelap; ruang pamer ini adalah kamar gelap dengan gemerlapnya semua jejalan ide. Tiga benda tadi bukan untuk dipajang; mereka adalah alat kita untuk memotret. Semua karya yang ada di dinding ada karya-karya kita nanti, dan kita bebas menghasilkan apa saja. Kita tidak perlu takut berkarya. Bahkan saat semua eksperimen analog kita sudah tuntas, ada “Kang Ray Bachtiar” di ujung kanan sana yang menarik Photoshop ke titik batas.
ADVERTISEMENT
Ironi yang terbalik ini sebenarnya adalah hakikat yang ingin disampaikan oleh kurator Damar Jati. Seperti sebuah film negatif yang siap dicetak, foto yang sesungguhnya hadir saat kita terlibat di dalamnya. Karya-karya yang ada di bekas bioskop ini baru akan menjelma jadi karya saat kita mulai memotret. Pameran semestinya bukan karya mati, tapi imajinasi hidup. Inilah ironi yang ingin disampaikan dari proses kurasi dan 22 seniman yang terlibat di venue ini.
Kesimpulan yang Mengambang dan Risiko yang Mengintip
Shinichi sekarang siap untuk membius sang detektif dan mengungkap kasusnya. Namun kalau kita jadi Shinichi, kita mesti berhati-hati – tukas Harari – dan mengingat risikonya. Setidaknya ada empat catatan yang tidak boleh disepelekan. Yang pertama adalah masalah paling standar yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan dorongan berkesenian: masalah keselamatan. Ruang pamer ini terlalu penuh risiko – dan bila ini adalah kegiatan yang mengundang orang banyak, maka egoisme penyelenggara ternyata mengalahkan rasio pakem penyelenggaraan. Langit-langit yang sudah pecah bisa saja jatuh setiap saat dan menyayat kepala.
ADVERTISEMENT
Kedua, teka-teki semiotik yang dihadirkan sangat sulit, dan audiens bahkan tidak dibimbing. Di sini sang kurator tampak terlalu arogan, dan sikap seperti ini malah bertolak belakang dengan sasaran yang dituju oleh geliat arus-arus alternatif. Justru yang mereka butuhkan adalah edukasi, dan sayangnya setiap karya tenggelam ke dalam bahasa solisipstiknya sendiri. Alih-alih dialog, yang menyembul ke permukaan adalah kumpulan monolog. Maksud keriaan yang hendak dituju sangat mungkin berubah menjadi kegilaan.
Selanjutnya, pameran ini seolah menyanjung semua pendekatan analog dalam fotografi ke titik irasionalnya. Proses alternatif pada hakikatnya adalah sebuah napak tilas kelahiran fotografi dari jaman Daguerre. Namun seperti yang dicatat sejarawan foto Mary Warner Marien, fotografi tidak pernah bergantung pada “analogisme” – sebuah adiksi akut terhadap proses-proses yang masih mengandalkan kamar gelap dan bak cuci dengan berbagai ramuan kimia mulai dari developer hingga stop bath yang sangat beracun – dan bahkan merengut nyawa legenda industri sekaliber George Eastman. Fotografi tidak pernah menjadi benar dan otentik karena proses analog – tidak dulu, tidak sekarang, dan apalagi nanti.
ADVERTISEMENT
Terakhir, karakter anti-esensialisme kuat mewarnai pameran ini, bahkan sebelum dua venue lain dibuka. Satu persoalan besar dari pameran yang bertipe anti-ini-anti-itu adalah kecenderungannya untuk masuk dan menjadi fasisme dangkal yang terlalu mudah dikooptasi saat jumlah nol di lembaran cek dirasa memadai. Tema hadir untuk mencegah kecenderungan semacam itu terjadi. Tema menjadi penanda sekaligus penanda wacana.
Bila fondasi dari sebuah gelaran adalah perayaan – maka yang dirayakan harus ada. Bila yang dirayakan adalah fotografi, maka fotografi tidak butuh pameran untuk dirayakan. Sudah setiap hari kita merayakan fotografi – tahun 2022 7,7 dunia dihuni oleh 7,7 milyar pengguna ponsel –
Dokumentasi oleh Adi Rahmatullah
catat lembaga statistik terpercaya Statista. Sebuah foto adalah elemen visual yang hiper-intim sekarang; begitu intimnya hingga kita mengijinkan kamera ke kamar mandi saat gosok gigi. Bila demikian, yang dirayakan sudah selalu dirayakan, dan itu seperti menyelenggarakan pesta di tengah pesta setiap hari: semuanya biasa – pesta yang bukan pesta.
ADVERTISEMENT
Shinichi yang Kembali Duduk di Sudut Ruangan
Mata bius yang menempel sekarang ditarik kembali oleh Shinichi dan sang detektif Conan sekarang kembali duduk di sudut. Ia batal mengungkap kasusnya, mungkin karena sekarang Harari ikut duduk di sebelahnya dan menemaninya dengan secangkir kopi. Mungkin ia tidak perlu masuk terlalu jauh, Shinichi. Obrolannya dengan Harari pun berlanjut, tetapi jelas bukan soal pameran fotografi kali ini.