Konten dari Pengguna

Kiprah Bandung Mengawali Tradisi Triennale Fotografi

Mardohar B B Simanjuntak
Mardohar B.B. Simanjuntak berprofesi sebagai dosen filsafat di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ia terlibat dalam berbagai forum dan pusat studi kebudayaan. Ia juga gemar menulis tentang seni kontemporer.
11 Oktober 2022 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardohar B B Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana pembukaan Bandung Photography Trienalle (Dokumentasi BPT)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pembukaan Bandung Photography Trienalle (Dokumentasi BPT)
ADVERTISEMENT

Pada tanggal 15 September 2022 di NuArt Sculpture Park, budayawan Tisna Sanjaya dalam sebuah sambutan mengalirkan kelegaannya karena akhirnya Bandung dengan sederet kuratornya berhasil menyelenggarakan sebuah Triennale seni. Sebuah pameran tiga tahunan sebagai varian dari acara gelaran biennale dua tahunan memang bukan baru – buat berbagai kota sentra kebudayaan di berbagai negara. Namun sebagaimana yang ditunjukkan oleh ekspresi seorang Tisna Sanjaya – melanjutkan optimisme Asmudjo J. Irianto sang kurator pameran – Bandung memang patut menarik napas lega karena tuntutan budaya untuk salah satu pusat geliat seni di Indonesia ini akhirnya terlaksana.

“Amunisi” yang dikumpulkan Asmudjo dan Henrycus Napitsunargo – kurator utama, dan diterjemahkan oleh para kurator venue seperti Heru Hikayat, Bob Edrian, Danuh Tyas Pradipta, Rifky Effendi, Zusfa Roihan, dan R.A. Dita Saraswati ini memang tidak tanggung-tanggung: 35 seniman dari berbagai negara termasuk Indonesia dari 36 yang diundang bersedia untuk menerima tema besar yang disodorkan Asmudjo dan Henrycus tentang The Future is Now: Dystopian Diffraction. Alih-alih larut dalam temaramnya nuansa distopik yang menyertai kata distopia – lawan dari utopia – masing-masing seniman, termasuk berbagai partisipan dari jalur open call menyambutnya dengan antusias.
ADVERTISEMENT
Tema ini pun diterjemahkan ke dalam tujuh venue secara keseluruhan yang tersebar di Bandung Utara, Tengah, dan Barat. Selasar Sunaryo Art Space menjadi pembuka, dilanjutkan dengan Ruang Dini, Galeri Yuliansyah Akbar, Orbital, NuArt, Universitas Kristen Maranatha, dan terakhir di Lawangwangi sebagai mata rantai terakhir. Acara ini juga melibatkan keikutsertaan Goethe Institut Bandung sebagai tempat penyelenggaraan lokakarya seni. Bukan hanya pameran, Triennale ini bahkan dirajut dengan berbagai bincang seni, seminar, dan tur pameran di hampir setiap galeri.
Perhelatan ini pun bukan sekadar gelaran biasa; Bandung Photography Triennale kali ini adalah sebuah bukti totalitas penyelenggara dengan dukungan tidak kurang dari enam institusi negara, tujuh swasta, 13 universitas dari berbagai belahan dunia, dan empat media. Ini adalah sebuah Triennale skala dunia – kaliber internasional – dan dilaksanakan, seperti yang dilegakan oleh Kang Tisna – di kota Bandung yang sejuk dan sarat dengan ide-ide segar seni rupa avant-garde. Skala – yang mungkin bisa kita sebut masif ini – berlangsung selama hampir dua bulan penuh dari tanggal 8 September hingga 31 Oktober 2022. Acara sekaliber ini uniknya bersandingan dengan momen tahunan JIPFest – Jakarta International Photo Festival yang berlangsung dari tanggal 9 – 25 September di Blok M, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kontrasnya, Bandung kembali hadir dengan kekuatan tema dan kedalaman wacana. Di saat berbagai acara gelaran seperti ini merayakan fotografi sebagai bentuk apresiasi atau festival dengan penuh warna dan gula-gula; Bandung justru mulai dengan “membunuh” fotografi itu sendiri. Saat berbagai tempat menggagas perayaan – via positiva – Bandung dengan via negativa-nya tidak pernah berhenti membuat kejutan. Di saat berbagai perhelatan sejenis menjadi ajang untuk memaksimalkan harga jual, Bandung menarik wacana ke puncak dan terus menanjak untuk sampai pada perenungan yang sangat filsafati.
Seperti tema yang diusung, Triennale ini memang mencoba mencari dan bahkan “mencuri” batas-batas paling ekstrim fotografi. Dari tema utama masing-masing venue utama pun menerjemahkannya dengan caranya sendiri, yang semuanya membentuk kesatuan narasi: Signs of Warning, Absence/Presence, The Appearance of Disappearance, New-Self, dan Reality Deconstruction. Semua tema ini membentuk sebuah cerita tentang penemuan kembali hakikat fotografi yang sekarang justru disekap – bukan dimanja – oleh ledakan budaya visual yang digawangi oleh telepon selular. Realitas fotografis tidak diterima begitu saja: Triennale ini justru menggugatnya sampai ke kalimat terakhir bahkan ke tanda titik.
ADVERTISEMENT
Alberto Marin Castro misalnya mencoba melepaskan ruang dari manusia pemilikinya sampai ke titik ekstrim, Iswanto Soerjanto bahkan tidak menggunakan kamera sama sekali – hanya kertas foto dan cahaya, Peter Fitzpatrick “meledakkan” swafoto melampaui daya dukung estetik konvensionalnya, Kamila Kobierzynska dan Laurent Millet kembali ke praktik fotografi seabad yang lalu dengan kalotip dan mengembalikannya ke ekologi dan sains. Sabrina Asche, seniman Jerman bahkan tidak bersedia untuk memberi “nafas” pada fotografi: semua elemen esensial sebuah foto dari kertas foto hingga pakem cara melihat dikupas lapis-demi lapis. Yang tersisa dari olah rupa Sabrina hanyalah sebuah upaya tanpa henti untuk melihat foto.
Oleh karena itu, kedua kurator utama dengan jeli melihat bahwa – sekali lagi – yang berkarya adalah seniman dan tidak terjebak dalam isolasi konseptual dalam pagar verbal istilah fotografer. Fotografi hadir dalam keleluasaan demokratisnya – seniman dan kurator menjadi bidan Sokratik yang membantu kelahiran karya. Audiens-lah yang akhirnya menjadi pemilik karya. Supremasi teknis bersandingan dengan supremasi gagasan dan supremasi pengalaman. Fotografi tidak lagi terjerat ke dalam rutinitas komodifikasinya. Sebuah foto tidak lagi berdiri di depan sebagai lawan, tetapi menggamit bahu dengan akrab dari samping sebagai teman.
ADVERTISEMENT
“Sepertinya layaknya sebuah tim sepakbola” – ujar Kang Tisna – “setiap pemain memiliki peran masing-masing untuk membantu keseluruhan mencapai tujuan”. Triennale kali ini adalah sebuah kerja tim yang digawangi oleh Deden Hendan Durahman – direktur program BPT. Bila kita tarik tim ini ke skala nasional, maka setiap kota adalah sebuah pemain. Mungkin Jakarta memainkan peran di wilayah komoditas, dan mungkin Yogyakarta menjadi episentrum aktivisme sosial. Bandung, juga mungkin, adalah lumbung gagasan dan laboratorium praktik fotografi eksploratif – yang aktif menyoal berbagai persoalan aktual seputar relevansi foto dengan peradaban manusia.
Bila demikian, maka Triennale fotografi – dan “semoga disusul dengan Triennale-Triennale lainnya: lukis, grafis, patung, dan seterusnya dan sebagainya”, tambah Asmudjo di sela-sela perbincangan seri pembukaan terakhir di Lawangwangi Creative Space – mestinya adalah titik awal dari sebuah tradisi yang memang sudah selayaknya dan sepantasnya besar dan dipupuk di Bandung.
ADVERTISEMENT