Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pers Mahasiswa, Dilematis Antara Idealis dan Realistis
12 Februari 2023 15:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agung Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sajak berjudul “Takut 66, Takut 98” karya Taufiq Ismail setidaknya menggelorakan dan kian menegaskan peran mahasiswa dalam konsep demokrasi. “Taring” mereka lewat aksi demonstrasi tak jarang membuat para pejabat dan pemangku kepentingan ketar-ketir.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa telah membentangkan jalur reformasi yang kita tapaki hingga kini. Membuat lahirnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Meski perlu ongkos mahal seharga nyawa untuk mencapai apa yang kini kita sebut sebagai era keterbukaan.
Peringatan perayaan Hari Pers Nasional tahun 2023 digelar secara meriah di Provinsi Sumatera Utara. Sebab menurut sejarah dan dikemukakan oleh Sejarawan Sumatera Utara Dr. Phil Ichwan Azhari, Sumatera Utara disebut menjadi Provinsi pelopor pers di masa perjuangan pra kemerdekaan.
Tokoh seperti Dja Endar Muda, Parada Harahap, Mohammad Said hingga Muhammad TWH ini diyakini sebagai sosok dibalik berdirinya surat kabar-surat kabar yang mengkritisi pemerintahan colonial belanda dan memprovokasi rakyat untuk berjuang meraih kemerdekaan.
Acara dihelat dengan berbagai rangkaian acara selama lima hari berturut-turut. Pameran perjuangan pers, napak tilas perjuangan pers, hingga forum diskusi para Pemimpin Redaksi media terkemuka digelar. Perhelatan puncak pada 9 Februari lalu pun dihadiri langsung oleh Presiden RI Joko Widodo bersama dengan para Menteri, Gubernur, hingga Duta besar Negara sahabat.
ADVERTISEMENT
Gegap gempita perayaan peringatan Hari Pers Nasional ini pun mengusung tema yang cukup vital yakni “ Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat”. Pesan bahwa kebebasan pers adalah wujud sistem demokrasi yang bermartabat digaungkan dari barat Indonesia: Provinsi Sumatera Utara.
Namun, di balik kemeriahan dan hingar bingar perayaan peringatan tersebut kita lupa atau mungkin sengaja melupakan bahwa kebebasan belum sepenuhnya diterima dan dinikmati oleh kawah chandradimuka insan pers: Lembaga Pers Mahasiswa. Hal ini bisa dilihat dari tak berperannya Pers Mahasiswa di perayaan yang diklaim sebagai HPN paling meriah ini.
Padahal, kita semua tahu bahwa Pers Mahasiswa memiliki andil yang cukup vital guna mencetak generasi awak media. Kompeten atau tidaknya seorang wartawan bisa dipupuk sejak dini lewat perhatian Dewan Pers dan organisasi profesi Jurnalis pada Pers Mahasiswa ketimbang memaksa awak media melakoni sejumlah ujian kompetensi wartawan yang lebih bersifat administratif.
ADVERTISEMENT
Anak-anak Pers Mahasiswa telah terlebih dahulu dicekoki dengan liputan harian yang tak jarang intensitasnya hamper menyamai wartawan professional. Ini adalah modal yang cukup baik bagi regenerasi dunia jurnalistik.
Terlebih, status mereka sebagai mahasiswa akan semakin menambah daya kritisisme dalam setiap tulisan dan berita yang dimuat. Setidaknya, 10 elemen Jurnalisme ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel lebih mampu dan berani diterapkan oleh anak-anak Pers Mahasiswa. Kebebasan pers sesungguhnya harusnya berawal dari Pers Mahasiswa.
Payung Hukum
Intrik kepentingan di balik meja redaksi belum sepenuhnya dialami Pers Mahasiswa. Namun bukan berarti telfon genggam pimpinan Pers Mahasiswa tak berdering ketika ada pemberitaan yang dianggap keberatan oleh pihak tertentu, terutama pihak birokrasi kampus.
ADVERTISEMENT
Selama periode tahun 2020-2021 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat setidaknya ada 185 kasus tindakan represif terhadap Pers Mahasiswa terkait dengan pemberitaan yang mayoritas dilakukan oleh birokrasi kampus, dengan rincian 81 bersifat teguran, 24 pencabutan berita, 11 pemaksaan meminta maaf atas pemberitaan, dan masih banyak kasus represif lainnya.
Perbincangan terkait payung hukum secara khusus yang melindungi Pers Mahasiswa berulang kali menjadi bahan diskusi di berbagai forum. Soal ini pun kabarnya telah sampai ke telinga Dewan Pers yang saat itu masih diketuai Prof Azyumardi Azra. Kebebasan pers memang telah diatur dalam Undang-undang nomor 40 Tahun 1999.
Namun, pasal-pasal dalam UU tersebut tak satupun menyebut Pers Mahasiswa secara spesifik. Serta dalam Pasal 81 Ayat 1 UU Pers menyebut hanya perusahaan pers yang berbadan hukum yang mendapat fasilitas perlindungan dalam Undang-undang ini. Hal inilah yang kemudian mendorong para aktivis Pers Mahasiswa terus menyuarakan paying hukum Pers Mahasiswa harus dibentuk juga secara Lex Specialis.
ADVERTISEMENT
Ada persoalan dilematis yang dialami Pers Mahasiswa dalam hal ini. Secara de facto, Pers Mahasiswa berstatus sebagai lembaga atau unit kegiatan Mahasiswa yang berada di bawah naungan birokrasi kampus. Secara otomatis, Universitas berperan sebagai pelindung dan penanggung-jawab terhadap segala tindakan Pers Mahasiswa.
Ada istilah, tak akan pernah ada yang mau memelihara anak harimau. Hal ini menjadi sebab utama pemberitaan Pers Mahasiswa yang tak sesuai selera birokrasi kampus kerap mengalami tindakan represif. Mulai dari pengancaman akan dibekukan, penarikan dana bantuan, hingga pemaksaan penghapusan berita.
Hipokrit dan kontradiktif memang ketika tak jarang kita temui Universitas yang mengklaim menghargai kebebasan berpendapat dan akademik serta menggaungkan sikap kritis bagi para Mahasiswanya namun secara bersamaan juga melakukan tindakan represif terhadap Pers Mahasiswa meski hal yang paling kecil sekalipun.
ADVERTISEMENT
Namun setidaknya kita masih bisa berfikir bahwa UU nomor 40 Tahun 1999 yang bersifat Lex Specialis itu berada di atas peraturan birokrasi kampus. Selama Pers Mahasiswa menjalankan kaidah dan tugas Jusnalistik sesuai dengan Kode Etik kiranya Undang-undang ini masih dapat melindungi Pers Mahasiswa sembari menunggu solusi Dewan Pers agar kawah chandradimuka insan pers ini tak terkotori sejak dini.
Perlawanan
Perjuangan Pers Mahasiswa tak ubahnya adalah nafas panjang sosial kontrol dan tonggak demokrasi kampus. Tak jarang, Pers Mahasiswa bukan hanya menerima sikap represi dari birokrasi kampus. Namun juga oleh sesama lembaga kemahasiswaan.
Kendati demikian, bersamaan dengan itu Pers Mahasiswa masih menjadi harapan sebagai penyambung lidah dan jembatan aspirasi Mahasiswa bagi mereka yang mengemban pendidikan di kampus yang tak memilik lembaga kemahasiswaan seperti Pemerintahan Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa dan lainnya yang divakumkan atau diberangus akibat tipisnya kuping penguasa kampus.
ADVERTISEMENT
Jalan perjuangan ini tentu tak boleh pudar. Kini kita dihadapkan pada harapan bahwa Dewan Pers dan organisasi profesi Jurnalis kiranya perlu bergandeng tangan dan berdiskusi untuk melirik dan menyelamatkan wadah pendidikan dini Jurnalistik ini jika ingin melihat Jurnalisme kita kian berkualitas.