Konten dari Pengguna

Anak-Anak Di Barak Militer

Ismail, SPd MPd
Dosen Pendidikan Biologi Universitas Halu Oleo, Pendukung Juventus dan PSM Makassar, Pecinta Sains
7 Mei 2025 14:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ismail, SPd MPd tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak Sekolah di Kelas (Sumber: https://pixabay.com/photos/education-student-boy-classroom-3670453/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Sekolah di Kelas (Sumber: https://pixabay.com/photos/education-student-boy-classroom-3670453/)
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir, kita menyaksikan di media hiruk-pikuk soal anak sekolah yang dikirim untuk sekolah di barak militer. Konsep pendidikan yang diinisisasi oleh Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat itu kini viral di seantero negeri. Bahkan, Gubernur Bengkulu juga sudah mengumumkan akan mengikuti langkah “Bapak Aing” itu. Dan tidak tertutup kemungkinan daerah lain akan melakukan hal serupa.
ADVERTISEMENT
Menurut Dedi, konsep pendidikan yang diusungnya bukanlah seperti wajib militer. Hanya anak-anak sekolah yang terindikasi “problematik” yang akan diberi perlakuan tersebut. "Tukang tawuran, tukang mabok, tukang main ML yang kalau malam kemudian tidurnya tidak mau sore, ke orang tua melawan. Melakukan pengancaman. Di sekolah bikin ribut. Bolos terus. Dari rumah berangkat ke sekolah, ke sekolah enggak nyampe." Katanya dilansir dari CNN Indonesia.
Tujuan program itu juga sejatinya untuk memberi solusi atas ketidakberdayaaan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. "Agar mereka menjadi anak-anak yang bugar, tidak minum, tidak merokok, tidak makan eksimer, tidak minum ciu, yang itu obat-obatan itu marak di mana-mana," Lanjutnya.
Pada praktiknya, program tersebut hanya diberikan kepada orang tua yang bersedia, dibuktikan dengan surat pernyataan kesediaan. Sebab, program tersebut tidak main-main. Enam bulan TNI akan menggembleng karakter anak-anak di barak militer. Bahkan TNI Jawa Barat telah menyiapkan 30-40 barak untuk menjalankan program ini. Pertanyaannya, seberapa sakti program itu dalam membentuk karakter anak yang lebih baik?
Ilustrasi Tentara (Sumber: https://pixabay.com/photos/military-army-uniform-soldier-war-3222689/)
Tidak dapat dipungkiri, pendidikan di barak militer adalah sebuah gagasan yang out of the box. Belum pernah kita mendengar ide serupa sebelum-sebelumnya, apalagi digagas oleh seorang kepala daerah. Namun demikian, secara umum, pendidikan di barak militer sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendidikan formal di sekolah. Sebab, guru tetap bertanggung jawab mengajarkan materi pelajaran. Hanya saja, aspek sikap (attitude) langsung diajarkan oleh tentara. Tujuannya tentu agar anak-anak nantinya memiliki sikap “respect” kepada orang-orang di sekitarnya, terutama kepada orang tuanya selepas mengikuti pendidikan.
ADVERTISEMENT
Lahirnya program ini juga dilatari oleh semakin maraknya “kenakalan” remaja di Jawa Barat. Dalam perspektif Jensen (1985), kenakalan remaja dapat disebabkan tiga hal: sosiogenik, psikogenik, dan biogenik. Sosiogenik adalah kenakalan remaja yang muncul tersebab oleh masalah rumah tangga (broken home) dan faktor penyalahgunaan anak. Psikogenik disebabkan oleh faktor kejiwaan sang anak, sementara biogenik disebabkan oleh faktor-faktor genetik.
Timbulnya kenakalan remaja khususnya pada anak sekolah juga tidak luput dari sikap alienasi anak itu sendiri. Seringkali anak menganggap bahwa lingkungan keluarga dan masyarakat tidak mendukung, sehingga menimbukan keterasingan dalam dirinya terhadap orang di sekitarnya. Ada jarak (gap) antara anak dan lingkungannya. Karena itu, teori perkembangan sosial Erik Erikson menyebut bahwa seorang anak sangat penting untuk memiliki interaksi sosial dengan komunitas mereka. Melalui interaksi sosial inilah, seorang anak dapat melatih emosi dan mengembangkan keterampilan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, tindakan berlebihan seorang anak juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Mereka seringkali meniru apa yang ada di sekitarnya. Dari teman-temannya atau bahkan dari guru dan orang tuanya sendiri. Olehnya itu, kita tidak dapat memvonis faktor penyebab kenakalan anak pada satu aspek saja. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sekolah memang adalah tempat pengembangan karakter anak. Tetapi fondasinya tetap ada dalam keluarga masing-masing. Apabila ada karakter anak yang kurang baik, maka sekolah punya peran untuk meluruskannya.
Sebetulnya, pendidikan di barak militer memiliki muatan positif dengan maksud untuk memperbaiki karakter anak. Hanya saja, perlu monitoring dan evaluasi secara simultan dan berkelanjutan agar benar-benar matang sebagai sebuah konsep. Di samping itu, orang tua tetap dituntut untuk mendidik anak-anaknya di rumah manakala sudah selesai dibina di barak militer. Walau bagaimanapun, keluarga adalah lembaga pertama bagi anak belajar moralitas dan kehidupan. Pendidikan di barak militer hanyalah salah satu bentuk alternatif intervensi sosial yang masih dalam tahap pengembangan, trial & error. Pendidikan yang humanis dibarengi dengan konseling yang bersifat kontekstual dan inklusif tetap yang paling utama dan solusi berjangka panjang. Karenanya, kita tetap butuh ruang belajar yang memulihkan sebagai upaya reflektif dalam mendidik anak-anak kita. Pendidikan yang ramah anak. Wallahu A’lam Bisshawab.
ADVERTISEMENT
Ismail, Dosen FKIP Universitas Halu Oleo Kendari.