Konten dari Pengguna

Hidup Tanpa Ekspektasi: Hidup Hanya Karena Masih Hidup

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
11 September 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Dalam menjalani kehidupan, ada fase di mana seseorang merasa berhenti berharap banyak. Kalimat “aku hidup karena aku masih hidup” mencerminkan sebuah titik di mana ekspektasi terhadap kehidupan mulai pudar, dan yang tersisa hanyalah proses bertahan—berjalan, tapi tanpa tujuan yang jelas. Ini bukan sekadar perasaan hampa atau kelelahan emosional, melainkan lebih ke arah sebuah penerimaan bahwa hidup tidak selalu menawarkan sesuatu yang besar, indah, atau bermakna setiap saat.
ADVERTISEMENT
Penyebab Berhenti Berharap Banyak
1. Kekecewaan yang Bertubi-tubi
Kekecewaan adalah salah satu faktor terbesar yang membuat seseorang berhenti berharap banyak pada kehidupan. Saat seseorang telah berulang kali mencoba dan gagal, atau mengalami pengkhianatan dari orang-orang terdekat, harapan bisa mulai berkurang. Lama-kelamaan, orang cenderung mengurangi ekspektasi agar tidak terus-menerus terluka oleh realitas yang tak sesuai harapan.
2. Kehilangan Motivasi
Saat seseorang merasa telah mencapai titik di mana setiap usaha tidak lagi membawa perubahan signifikan, motivasi untuk bertindak atau bermimpi besar mulai memudar. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kegagalan karier, masalah hubungan, atau bahkan kejenuhan emosional yang disebabkan oleh tekanan sosial dan tanggung jawab yang terus menerus.
ADVERTISEMENT
3. Krisis Identitas
Ada saat-saat di mana seseorang merasa kehilangan jati diri, tidak tahu siapa dirinya sebenarnya, atau ke mana arah hidupnya. Dalam krisis ini, harapan dan cita-cita terasa mengambang, tidak jelas, dan akhirnya hilang begitu saja. Hidup terasa monoton, seolah hanya sebuah siklus berulang tanpa tujuan atau makna yang lebih dalam.
4. Kesehatan Mental yang Menurun
Masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan burnout juga berperan dalam membuat seseorang berhenti berharap banyak. Ketika pikiran penuh dengan rasa lelah, takut, atau putus asa, sulit rasanya untuk memiliki visi atau harapan yang jelas tentang masa depan.
Dampak Psikologis dari Berhenti Berharap
1. Rasa Hampa
Hidup tanpa harapan bisa memberikan perasaan hampa. Meski seseorang mungkin tampak menjalani kehidupan secara normal—berangkat kerja, bertemu teman, menjalani rutinitas sehari-hari—dalam batin mereka merasa ada yang kosong. Tanpa harapan, kehidupan dapat terasa seperti sebuah rutinitas mekanis tanpa emosi atau tujuan.
ADVERTISEMENT
2. Pengurangan Tekanan
Namun, di sisi lain, berhenti berharap juga bisa mengurangi tekanan. Ketika seseorang tidak lagi memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap hidup, kekecewaan pun berkurang. Ini bisa memberikan rasa lega, karena tidak ada lagi beban untuk mencapai sesuatu yang besar atau menjadi seseorang yang sesuai dengan harapan orang lain atau masyarakat.
3. Munculnya Sikap Pasrah
Sikap pasrah dalam menghadapi hidup seringkali muncul setelah seseorang berhenti berharap banyak. Ini bisa terlihat seperti ketidakpedulian atau bahkan penerimaan terhadap segala hal yang terjadi. Pada tahap ini, seseorang mungkin berkata, “Apapun yang terjadi, biarlah terjadi.” Sikap ini seringkali dipandang negatif, namun bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk melindungi diri dari rasa sakit lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Perasaan Ini Mempengaruhi Kehidupan Sehari-hari?
1. Kehilangan Antusiasme
Tanpa harapan, hidup menjadi kurang berwarna. Aktivitas yang dulu menyenangkan kini terasa hambar. Hal-hal kecil yang dulu memberikan kebahagiaan kini mungkin tak lagi memicu emosi apapun. Keseharian dijalani sekadarnya, tanpa semangat atau gairah.
2. Menghindari Konflik dan Tantangan
Seseorang yang berhenti berharap cenderung menghindari konflik atau tantangan yang terlalu besar. Karena mereka sudah tidak mengharapkan sesuatu yang luar biasa dari kehidupan, mereka juga tidak terlalu berani mengambil risiko. Akibatnya, mereka mungkin memilih jalan yang lebih aman atau nyaman, meskipun jalan itu tidak selalu memuaskan.
3. Berfokus pada Rutinitas
Rutinitas menjadi pegangan bagi banyak orang yang berhenti berharap. Melalui rutinitas, seseorang bisa merasa ada struktur dalam hidup mereka, meskipun struktur itu tidak memberikan kepuasan emosional. Dengan melakukan hal-hal yang sama setiap hari, seseorang bisa bertahan meski perasaan mereka kosong.
ADVERTISEMENT
Apakah Harapan Perlu Kembali?
Pertanyaan ini sering muncul ketika seseorang berada di titik “aku hidup karena aku masih hidup.” Beberapa orang mungkin bertanya-tanya apakah mereka perlu menemukan kembali harapan, sementara yang lain merasa nyaman dengan ketiadaan ekspektasi.
Namun, dalam banyak kasus, harapan adalah bagian penting dari kehidupan yang bermakna. Harapan memberikan seseorang alasan untuk bangun di pagi hari dan melihat ke depan. Meski harapan tersebut kecil atau sederhana, memiliki sesuatu untuk diharapkan dapat memberikan energi dan tujuan. Ketika harapan hilang, hidup bisa terasa datar dan tanpa arah.
Mencari Cara untuk Kembali Berharap
1. Memulai dari Hal-hal Kecil
Harapan tidak selalu harus tentang sesuatu yang besar, seperti mencapai kesuksesan atau meraih impian besar. Terkadang, harapan bisa muncul dari hal-hal sederhana, seperti menikmati secangkir kopi di pagi hari, menemukan hobi baru, atau memiliki tujuan jangka pendek yang realistis. Melalui hal-hal kecil ini, seseorang bisa perlahan-lahan menemukan kembali kebahagiaan dan harapan.
ADVERTISEMENT
2. Mencari Dukungan dari Lingkungan
Teman, keluarga, atau bahkan seorang terapis dapat membantu seseorang menemukan kembali harapan. Berbagi perasaan dan mendengar perspektif orang lain bisa membuka wawasan baru dan membantu seseorang untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda.
3. Menemukan Makna dalam Pengalaman Hidup
Seringkali, makna hidup ditemukan dalam merenungkan pengalaman-pengalaman masa lalu, baik itu yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Dengan memahami pengalaman ini dan apa yang telah dipelajari darinya, seseorang bisa menemukan kembali makna yang hilang.