Konten dari Pengguna

Kilas Kehidupan: Mengapa Suara Anak Sering Dianggap Durhaka?

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
16 September 2024 10:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam hubungan antara orang tua dan anak, komunikasi adalah fondasi penting yang membentuk keharmonisan keluarga. Namun, tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam komunikasi ini. Banyak orang tua yang, tanpa sadar, menyampaikan perkataan atau kritik yang melukai perasaan anak-anak mereka. Ketika anak berusaha mengungkapkan perasaannya atau membela diri, mereka justru dianggap sebagai anak durhaka. Fenomena ini sangat umum, terutama dalam budaya yang menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang tua tanpa memberi ruang yang cukup bagi anak untuk menyuarakan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
1. Pola Komunikasi Orang Tua yang Tidak Berempati
Beberapa orang tua mungkin tidak menyadari bahwa kata-kata mereka dapat berdampak buruk pada anak. Dalam upaya mendidik atau memperingatkan, orang tua sering menggunakan kalimat yang bersifat memerintah, menyudutkan, atau merendahkan anak. Misalnya, mereka mungkin berkata:
• “Kamu memang nggak bisa apa-apa!”
• “Lihat tuh, anak tetangga bisa, kenapa kamu nggak?”
• “Jangan banyak ngomong, nurut saja sama orang tua!”
Ucapan-ucapan seperti ini, yang terlihat seperti bentuk pengajaran, sebenarnya bisa sangat merusak rasa percaya diri anak dan menyebabkan trauma emosional. Tanpa sadar, orang tua bisa menanamkan rasa tidak berharga dan ketidakmampuan dalam diri anak, yang kemudian memengaruhi perkembangan mental dan emosional mereka dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
2. Dampak Psikologis pada Anak
Ketika orang tua berbicara tanpa mempertimbangkan perasaan anak, efeknya dapat sangat merugikan. Anak-anak yang sering mendengar kritik atau ucapan yang menyakitkan dari orang tua bisa mengalami:
• Penurunan Harga Diri: Anak mulai merasa bahwa dirinya tidak berharga atau tidak cukup baik. Ini bisa berdampak pada prestasi akademik, hubungan sosial, dan masa depan anak.
• Rasa Tidak Didengar: Ketika orang tua selalu mendominasi pembicaraan tanpa memberi ruang bagi anak untuk bersuara, anak merasa pendapatnya tidak dihargai. Akibatnya, mereka mungkin menarik diri dari komunikasi atau merasa cemas setiap kali ingin berbicara.
• Trauma Emosional: Perkataan yang menyakitkan, terutama yang terus berulang, dapat menyebabkan luka emosional yang mendalam. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu gangguan mental seperti depresi atau kecemasan.
ADVERTISEMENT
3. Stigma Anak Durhaka: Ketika Anak Berusaha Bersuara
Salah satu masalah terbesar yang sering muncul adalah stigma “anak durhaka.” Dalam budaya yang sangat menghormati orang tua, ketika seorang anak berusaha mengungkapkan ketidaksetujuan atau membela diri, mereka sering kali dicap sebagai anak yang tidak berbakti atau durhaka. Stigma ini sangat kuat, terutama dalam masyarakat yang menempatkan orang tua pada posisi otoritas absolut.
Hal ini membuat banyak anak memilih untuk diam daripada menyuarakan perasaan mereka. Mereka takut dianggap melawan, padahal yang mereka inginkan hanyalah agar orang tua mengerti sudut pandang mereka. Ironisnya, dalam situasi ini, komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan antara orang tua dan anak justru menjadi jurang pemisah.
4. Mengapa Orang Tua Kadang Tidak Sadar?
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang bisa menjelaskan mengapa orang tua kadang tidak menyadari bahwa perkataan mereka menyakitkan:
• Pola Asuh Lama: Banyak orang tua yang tumbuh dalam lingkungan yang keras dan tanpa empati, sehingga mereka tanpa sadar mewarisi cara mendidik yang serupa kepada anak-anak mereka.
• Kurangnya Kesadaran Emosional: Beberapa orang tua mungkin tidak memahami pentingnya kesehatan emosional anak. Mereka fokus pada hasil, seperti prestasi atau kepatuhan, tanpa memperhatikan proses emosional yang dialami anak.
• Hierarki Keluarga: Dalam banyak budaya, orang tua diharapkan selalu dihormati, sementara anak dianggap sebagai pihak yang harus patuh tanpa banyak bicara. Pola pikir ini membuat orang tua merasa memiliki otoritas penuh untuk berbicara tanpa konsekuensi.
5. Pentingnya Mendengarkan dan Menerima Umpan Balik dari Anak
ADVERTISEMENT
Salah satu solusi untuk masalah ini adalah membangun pola komunikasi yang lebih sehat antara orang tua dan anak. Orang tua perlu belajar untuk mendengarkan, bukan hanya berbicara. Dengan mendengarkan, orang tua dapat memahami apa yang anak rasakan dan butuhkan, serta bisa memberikan respon yang lebih bijaksana.
Selain itu, penting bagi orang tua untuk menerima umpan balik dari anak. Jika anak merasa sakit hati atau tidak nyaman dengan perkataan orang tua, itu adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam cara komunikasi mereka. Daripada langsung menuduh anak durhaka, orang tua bisa mencoba berdialog dan mencari solusi bersama.