Konten dari Pengguna

Menghindari Label Durhaka: Ketika Jarak Menjadi Solusi Terbaik!

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
15 September 2024 9:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hubungan antara anak dan orang tua selalu dianggap sebagai salah satu ikatan paling sakral dalam berbagai budaya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus, hubungan ini bisa menjadi sangat rumit. Salah satu dilema yang sering muncul adalah ketika seorang anak merasa berada di bawah tekanan untuk memenuhi harapan orang tua, sementara di sisi lain, anak tersebut merasa bahwa pilihan hidup atau perbedaan pandangan menyebabkan ketegangan emosional. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan: “Daripada aku terlihat seperti anak durhaka, bukankah lebih baik aku menjaga jarak?”
ADVERTISEMENT
Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai konsep menjaga jarak dalam hubungan anak dan orang tua, alasan di balik keputusan tersebut, dampak emosionalnya, serta cara menjaga keseimbangan antara rasa hormat terhadap orang tua dan kesehatan mental diri sendiri.
1. Harapan dan Tekanan dari Orang Tua
Banyak orang tua, terutama di budaya timur seperti Indonesia, memiliki harapan tinggi terhadap anak-anak mereka. Harapan ini seringkali terkait dengan pilihan karier, pernikahan, hingga pandangan hidup. Sayangnya, perbedaan generasi, pemikiran, dan pengalaman hidup antara orang tua dan anak kadang menciptakan jurang yang sulit dijembatani.
Ketika anak merasa bahwa harapan ini sulit atau bahkan mustahil untuk dipenuhi, mereka mungkin mulai merasa terbebani. Ketidakmampuan memenuhi harapan orang tua dapat memicu perasaan bersalah, malu, bahkan takut dilabeli sebagai “anak durhaka”. Namun, yang sering diabaikan adalah perasaan anak yang terjebak antara memenuhi ekspektasi atau menjaga kesejahteraan emosional mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
2. Keputusan untuk Menjaga Jarak
Menjaga jarak tidak selalu berarti memutuskan hubungan secara total. Sebaliknya, menjaga jarak bisa menjadi cara bagi seorang anak untuk melindungi diri dari konflik yang terus-menerus atau tekanan emosional. Ini adalah bentuk pengendalian diri, di mana anak memilih untuk tidak terlibat dalam argumen atau situasi yang dapat memperburuk keadaan.
Keputusan ini sering didasari oleh keinginan untuk tetap menjaga rasa hormat dan hubungan baik dengan orang tua, tanpa harus terus-menerus mengorbankan kesejahteraan diri. Dalam beberapa kasus, anak merasa bahwa menjaga jarak adalah satu-satunya cara untuk menghindari label “durhaka” karena semakin sering berkonfrontasi dengan orang tua, semakin besar kemungkinan terjadinya konflik yang mengarah pada tuduhan ketidakpatuhan.
ADVERTISEMENT
3. Dampak Emosional dari Menjaga Jarak
Meski menjaga jarak dapat dianggap sebagai solusi sementara, keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Banyak anak yang memilih untuk menjaga jarak merasa tersiksa oleh rasa bersalah. Di satu sisi, mereka ingin menjaga kesehatan mental dan kebebasan mereka, tetapi di sisi lain, mereka merasa bahwa mereka mungkin melukai perasaan orang tua.
Tekanan budaya yang menuntut anak untuk selalu patuh dan hormat kepada orang tua juga menambah beban emosional. Di banyak budaya, tindakan menjauhkan diri dari orang tua sering dianggap sebagai tindakan yang egois atau tidak berbakti, bahkan jika itu dilakukan demi kebaikan kedua belah pihak.
4. Menjaga Jarak dengan Rasa Hormat
Salah satu cara untuk menjaga jarak tanpa melukai hubungan adalah dengan tetap menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang. Komunikasi yang jujur dan terbuka sangat penting di sini. Anak bisa menjelaskan kepada orang tua bahwa keputusan untuk menjaga jarak bukanlah karena kurangnya rasa hormat atau cinta, tetapi karena kebutuhan untuk melindungi diri dari tekanan yang terlalu besar.
ADVERTISEMENT
Penting untuk mengungkapkan bahwa meski ada perbedaan pandangan atau tujuan hidup, itu tidak mengurangi rasa hormat dan cinta yang dimiliki terhadap orang tua. Dengan kata lain, menjaga jarak tidak harus diartikan sebagai putusnya hubungan, melainkan sebagai langkah untuk menjaga harmoni dalam hubungan yang sulit.
5. Keseimbangan antara Kewajiban dan Kesejahteraan Pribadi
Setiap anak menghadapi dilema antara menjalankan kewajiban mereka sebagai anak dan menjaga kesejahteraan mental dan emosional mereka sendiri. Ini adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi banyak individu ketika hubungan dengan orang tua mulai tegang.
Penting untuk diingat bahwa menjaga kesejahteraan pribadi tidak sama dengan bersikap durhaka. Memiliki ruang untuk diri sendiri, baik itu secara fisik maupun emosional, adalah bentuk dari menjaga kesehatan mental. Anak tidak harus mengorbankan kebahagiaan dan kesehatannya hanya untuk menghindari label negatif.
ADVERTISEMENT
6. Pandangan Alternatif: Apakah Menjaga Jarak adalah Solusi Jangka Panjang?
Meskipun menjaga jarak mungkin tampak sebagai solusi yang tepat untuk jangka pendek, penting juga untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakan ini. Apakah ini akan memperbaiki hubungan dengan orang tua, atau malah semakin memperburuk keadaan?
Dalam beberapa kasus, menjaga jarak dapat memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk merenungkan hubungan mereka dan mungkin membantu menemukan cara baru untuk berkomunikasi dan saling memahami. Namun, dalam kasus lain, ini bisa menyebabkan semakin dalamnya jarak emosional yang mungkin sulit dipulihkan.