Konten dari Pengguna

Rumah dan Trauma: Rumah Tidak Selalu Menjadi Tempat Kembali

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
3 Oktober 2024 11:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Rumah sering kali diidentikkan sebagai tempat berlindung yang aman, nyaman, dan menjadi tempat untuk kembali setelah menjalani hari-hari yang melelahkan. Namun, bagi sebagian orang, rumah tidak selalu memberikan rasa aman tersebut. Justru, rumah bisa menjadi tempat di mana trauma bermula. Trauma yang timbul dari lingkungan rumah dapat bersifat jangka panjang dan mengakar kuat, memengaruhi kondisi mental, emosi, bahkan cara seseorang berinteraksi dengan dunia luar. Artikel ini akan membahas secara rinci bagaimana rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dapat berubah menjadi penyebab awal trauma pada seseorang.
ADVERTISEMENT
1. Kekerasan Fisik dan Verbal: Trauma yang Terlihat dan Tidak Terlihat
Banyak orang yang mengalami kekerasan fisik di dalam rumah oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya. Kekerasan ini mungkin terjadi secara langsung, seperti pukulan atau bentakan yang berlangsung setiap hari. Namun, trauma yang disebabkan oleh kekerasan verbal kadang-kadang bahkan lebih dalam karena sifatnya yang tidak terlihat. Kata-kata yang merendahkan, hinaan, atau kritik yang terus-menerus dapat menghancurkan harga diri seseorang secara perlahan. Trauma ini dapat terus terbawa hingga dewasa, memengaruhi kemampuan seseorang untuk percaya pada orang lain atau membangun hubungan yang sehat.
2. Tekanan yang Berlebihan: Ekspektasi yang Menghimpit
Dalam beberapa kasus, orang tua atau keluarga menuntut terlalu banyak dari anak-anak mereka. Harapan untuk menjadi sempurna dalam akademik, karier, atau kehidupan sosial bisa menjadi beban berat. Anak-anak yang terus-menerus dibebani ekspektasi tanpa dukungan emosional yang memadai bisa merasa tidak pernah cukup baik. Tekanan ini menciptakan rasa tidak aman di rumah, di mana seseorang seharusnya merasa diterima tanpa syarat. Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, kecemasan, depresi, dan perasaan bersalah dapat mulai muncul.
ADVERTISEMENT
3. Ketiadaan Dukungan Emosional: Kesepian di Tengah Keramaian
Ada orang yang tumbuh di rumah di mana kebutuhan fisik mereka terpenuhi, tetapi kebutuhan emosional mereka diabaikan. Orang tua mungkin hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam mendukung secara emosional. Ketika anak-anak merasa tidak didengarkan atau dipahami, mereka cenderung menarik diri dan merasa sendirian bahkan di tengah-tengah keluarga. Trauma emosional ini sering kali sulit dikenali karena dari luar, semuanya tampak baik-baik saja. Namun, kekosongan emosional di rumah dapat menciptakan luka yang mendalam, membuat seseorang sulit untuk mempercayai orang lain atau mengekspresikan emosi mereka dengan sehat.
4. Lingkungan yang Tidak Stabil: Hidup di Bawah Ketidakpastian
Rumah yang tidak stabil secara finansial atau emosional juga bisa menjadi sumber trauma. Orang yang hidup dalam rumah tangga di mana ada ketidakpastian ekonomi atau konflik yang terus-menerus, seperti perceraian atau pertengkaran orang tua, cenderung merasa tidak aman. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi ini sering kali menjadi “orang tua” di rumah, merasa harus mengambil tanggung jawab yang terlalu besar di usia yang masih muda. Ketidakstabilan ini menanamkan rasa takut dan cemas yang dalam, yang dapat bertahan bahkan setelah mereka dewasa dan keluar dari lingkungan rumah tersebut.
ADVERTISEMENT
5. Peran Gender dan Budaya Patriarki: Tekanan yang Membatasi
Di beberapa budaya, peran gender yang kaku dan tekanan dari patriarki dapat menyebabkan trauma. Anak perempuan, misalnya, mungkin dipaksa untuk mengikuti aturan yang membatasi kebebasan mereka, sementara anak laki-laki mungkin diharapkan untuk menjadi kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan peran ini dapat membuat seseorang merasa terjebak di dalam rumahnya sendiri. Mereka yang tidak bisa memenuhi ekspektasi ini mungkin mengalami perasaan tidak berharga, kehilangan jati diri, atau terisolasi. Dalam banyak kasus, mereka belajar menyembunyikan perasaan mereka karena takut dihakimi oleh anggota keluarga.
6. Pelecehan Seksual: Luka yang Tak Terucapkan
Salah satu bentuk trauma paling parah yang bisa terjadi di rumah adalah pelecehan seksual, sering kali dilakukan oleh anggota keluarga atau orang dekat. Trauma dari pelecehan seksual tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga secara psikologis, menghancurkan kepercayaan dan rasa aman seseorang. Korban sering kali mengalami rasa malu, takut, dan kebingungan, terutama jika pelakunya adalah orang yang seharusnya mereka percayai. Pelecehan ini dapat meninggalkan luka psikologis yang dalam dan membuat rumah menjadi tempat yang paling dihindari, meski di luar terlihat aman dan nyaman.
ADVERTISEMENT
7. Dampak Jangka Panjang: Trauma yang Berakar dari Rumah
Trauma yang berawal dari rumah dapat berpengaruh dalam jangka panjang. Banyak orang yang trauma dari rumah akan kesulitan untuk membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain. Mereka mungkin mengalami ketidakpercayaan, perasaan tidak aman, atau ketakutan akan penolakan. Selain itu, trauma ini dapat memengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan, seperti kecenderungan untuk depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), atau masalah dengan pengendalian emosi.
8. Mencari Bantuan: Langkah Menuju Pemulihan
Mengakui bahwa rumah tidak selalu menjadi tempat yang aman adalah langkah pertama menuju pemulihan. Terapi atau konseling dapat sangat membantu dalam mengatasi trauma yang berakar dari rumah. Seseorang mungkin perlu mempelajari cara untuk mengelola emosi, membangun batasan yang sehat dengan keluarga, dan memproses luka masa lalu. Menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung di luar rumah juga bisa menjadi bagian penting dari proses penyembuhan.
ADVERTISEMENT