Konten dari Pengguna

Saat Rumah Hanya Bangunan: Apakah Rumah itu Nyata?

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
4 Oktober 2024 17:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Kalimat ini mengandung pertanyaan yang mendalam tentang konsep rumah, tempat untuk pulang, dan pengalaman emosional seseorang yang mungkin selalu merasa terasing, bahkan dari tempat yang seharusnya menjadi “rumah” mereka. Bagi banyak orang, rumah bukan hanya tempat fisik, tetapi juga ruang emosional di mana mereka merasa aman, didengar, dan dicintai tanpa syarat. Namun, bagaimana jika sejak kecil seseorang tidak pernah merasakan hal itu? Bagaimana jika rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah menjadi tempat di mana mereka harus menyimpan semuanya sendiri?
ADVERTISEMENT
1. Konsep “Rumah” Bukan Sekadar Tempat Fisik
Kebanyakan dari kita diajarkan bahwa rumah adalah tempat di mana kita dapat kembali setelah beraktivitas di luar, tempat yang menawarkan kenyamanan fisik dan emosional. Tetapi bagi sebagian orang, “rumah” lebih dari sekadar struktur bangunan dengan dinding dan atap. Ini adalah tempat di mana kita merasa diterima, dipahami, dan bebas menjadi diri kita sendiri tanpa rasa takut dihakimi.
Namun, bagi mereka yang sejak kecil terbiasa menahan dan menyimpan perasaan, rumah mungkin tidak pernah benar-benar ada dalam makna emosional tersebut. Ada orang yang, meski tinggal di rumah bersama keluarga, merasa tidak memiliki tempat untuk pulang secara emosional. Mereka merasa terasing dalam lingkungan yang seharusnya mendukung.
ADVERTISEMENT
2. Pola Menyimpan Semua Sendiri Sejak Kecil
Banyak orang tumbuh dalam keluarga atau lingkungan di mana ekspresi emosional tidak diterima atau dianggap lemah. Dalam kondisi ini, anak-anak belajar menyimpan perasaan mereka sendiri karena khawatir menambah beban orang tua atau tidak mendapatkan respons yang diharapkan. Akibatnya, mereka menjadi pribadi yang tertutup, terbiasa mengatasi masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan, dan merasa bahwa satu-satunya yang bisa diandalkan adalah diri mereka sendiri.
Pola ini sering terbawa hingga dewasa, di mana seseorang bahkan mungkin tidak lagi tahu bagaimana mencari bantuan, atau merasa tidak layak mendapatkan dukungan emosional. Mereka sudah terbiasa menyimpan segalanya sendiri, sehingga gagasan tentang “tempat untuk pulang” terasa asing. Bahkan ketika berada di rumah, mereka merasa terisolasi secara emosional.
ADVERTISEMENT
3. Apakah “Tempat untuk Pulang” Itu Ada?
Pertanyaan “Memangnya sejak kapan kamu punya tempat untuk pulang?” mencerminkan perasaan ketidakpastian seseorang terhadap makna rumah dan tempat untuk berbagi beban. Seseorang yang merasa tidak pernah punya tempat untuk pulang mungkin tumbuh dengan rasa kosong, selalu merasa bahwa mereka harus menanggung segalanya sendiri. Mungkin, mereka pernah berharap memiliki seseorang yang bisa menjadi tempat untuk bersandar, tetapi mereka merasa kecewa karena harapan itu tidak terpenuhi.
Ini adalah pengalaman yang umum bagi mereka yang mengalami perasaan terasing dalam keluarga atau komunitas. Mereka mungkin beradaptasi dengan cara menutup diri dan mengandalkan diri sendiri, sehingga saat orang lain bertanya tentang “pulang,” mereka bingung, karena bagi mereka, tidak ada tempat yang benar-benar mereka anggap sebagai tempat untuk pulang.
ADVERTISEMENT
4. Membangun Tempat untuk Pulang dari Dalam Diri
Mereka yang selalu menyimpan segalanya sendiri sejak kecil sering kali harus belajar untuk menciptakan tempat pulang bagi diri mereka sendiri. Hal ini tidak mudah, terutama jika mereka tumbuh dalam budaya atau lingkungan yang mengabaikan pentingnya kesehatan emosional.
Membangun tempat untuk pulang mungkin melibatkan penerimaan bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, tidak apa-apa untuk meminta bantuan, dan tidak apa-apa untuk mencari ruang di mana perasaan mereka dihargai. Terkadang, tempat untuk pulang bukanlah tempat fisik, tetapi lebih merupakan sebuah kondisi mental di mana mereka merasa aman dengan diri mereka sendiri. Ini melibatkan proses penyembuhan dari trauma masa kecil, penerimaan diri, dan keberanian untuk membuka diri kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
5. Pentingnya Dukungan Emosional
Meskipun terbiasa menyimpan semua perasaan sendiri, manusia pada dasarnya makhluk sosial yang membutuhkan dukungan emosional. Kebutuhan ini tidak hilang hanya karena seseorang terbiasa mengatasinya sendiri. Sebaliknya, semakin lama mereka menekan kebutuhan ini, semakin besar kemungkinan mereka mengalami masalah mental dan emosional seperti kecemasan, depresi, atau perasaan kesepian yang mendalam.
Oleh karena itu, mencari dukungan, baik dari teman, terapis, atau bahkan diri sendiri, merupakan langkah penting untuk menciptakan tempat pulang yang aman. Menyadari bahwa tidak apa-apa untuk berbagi beban emosional adalah kunci untuk membebaskan diri dari pola menyimpan semua sendiri.
6. Menemukan “Rumah” dalam Hubungan yang Sehat
Tempat untuk pulang tidak selalu harus berupa keluarga biologis. Bagi mereka yang tidak menemukan tempat tersebut dalam keluarga, ada harapan untuk menciptakannya dalam hubungan lain—baik dengan teman, pasangan, atau komunitas. Hubungan yang sehat adalah tempat di mana seseorang dapat mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi, di mana mereka merasa dihargai dan didengarkan.
ADVERTISEMENT
Mencari hubungan semacam ini membutuhkan waktu dan keberanian, terutama bagi mereka yang terbiasa mengandalkan diri sendiri. Namun, dengan perlahan-lahan membuka diri dan membangun kepercayaan, seseorang dapat menemukan atau menciptakan “rumah” yang selama ini mungkin mereka rasakan hilang.