Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Tabu Mengungkapkan Luka Batin Anak Kepada Orang Tua Dianggap Durhaka
13 Oktober 2024 10:32 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sakit hati adalah emosi yang sulit dihadapi, terlebih ketika itu dialami seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam banyak budaya, termasuk budaya Timur, orang tua dipandang sebagai sosok yang tak tergantikan, dihormati, dan dijunjung tinggi. Seberapa besar pun kesalahan mereka, masyarakat sering kali mengharapkan anak untuk tetap menghormati dan memaafkan, “bagaimanapun juga, mereka adalah orang tua.” Namun, kenyataan ini memunculkan konflik batin bagi banyak anak yang merasa sakit hati namun tidak memiliki ruang atau kebebasan untuk mengungkapkannya.
ADVERTISEMENT
Ketika Sakit Hati Tak Diakui
Sakit hati seorang anak terhadap orang tua sering kali sulit diungkapkan. Sebagai anak, kita dibesarkan dengan ajaran untuk selalu menghormati orang tua, menerima mereka apa adanya, dan menuruti segala yang mereka katakan. Ketika timbul masalah atau ketidakadilan, sebagian besar anak merasa terjebak di antara keinginan untuk mempertahankan hubungan baik dengan orang tua dan kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan yang terluka. Rasa sakit ini sering kali terpendam, karena mengungkapkannya dianggap sebagai tindakan tidak hormat atau bahkan durhaka.
Di sisi lain, ketika seorang anak mencoba membicarakan kesalahan orang tuanya, reaksi umum dari masyarakat adalah “maafkan mereka, bagaimanapun mereka adalah orang tuamu.” Respon ini, meski terdengar mulia, mengabaikan perasaan anak. Masyarakat cenderung memihak orang tua, bahkan ketika mereka jelas melakukan kesalahan, dan menuntut anak untuk terus bersabar dan mengalah. Akibatnya, banyak anak yang merasa disalahpahami dan terpaksa menanggung luka batin sendirian.
ADVERTISEMENT
Dinamika Antara Harapan dan Kenyataan
Orang tua, secara ideal, diharapkan menjadi figur pelindung dan pendukung utama bagi anak. Mereka dianggap sebagai sumber kasih sayang tanpa syarat. Namun, kenyataannya, tidak semua orang tua mampu menjalankan peran ini dengan baik. Ada situasi di mana orang tua mungkin menyakiti anak secara emosional, melalui kata-kata kasar, pengabaian, atau tindakan yang tidak menghormati perasaan dan kebutuhan anak. Ketika ini terjadi, anak terjebak dalam dilema emosional. Mereka merasakan sakit hati yang mendalam, namun rasa hormat dan tanggung jawab sebagai anak membuat mereka menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaan tersebut.
Perasaan ini diperparah oleh pandangan umum bahwa orang tua selalu benar atau bahwa anak selalu wajib berbakti tanpa syarat. Ada semacam standar moral di masyarakat yang menempatkan anak dalam posisi di mana mereka harus selalu memaafkan dan menerima segala perlakuan orang tua, tidak peduli seberapa menyakitkan pengalaman yang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Stigma Durhaka dan Beban Moral
Label “durhaka” adalah salah satu stigma terberat yang harus dihadapi seorang anak. Kata ini seakan memiliki kekuatan yang menakutkan, sehingga banyak anak memilih untuk menyimpan sakit hati mereka, karena takut dinilai buruk oleh masyarakat. Di mata banyak orang, seorang anak yang berani menyuarakan keluhan atau rasa sakit terhadap orang tua dianggap tidak tahu terima kasih dan tidak menghormati nilai-nilai keluarga.
Namun, beban moral ini menimbulkan konflik internal. Di satu sisi, anak merasakan perlunya berbicara, mengungkapkan kekecewaan, atau bahkan mencari keadilan untuk perlakuan yang tidak adil. Di sisi lain, mereka dihantui oleh rasa bersalah yang ditanamkan sejak kecil—rasa bersalah karena dianggap tidak bisa memaafkan orang tua. Alhasil, anak sering kali memilih untuk menahan diri, meski hal itu merusak kesehatan mental mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Dampak Terhadap Kesehatan Mental Anak
Memendam rasa sakit hati terhadap orang tua bukan hanya berdampak pada hubungan keluarga, tetapi juga pada kesehatan mental anak. Perasaan yang tidak diungkapkan bisa berkembang menjadi depresi, kecemasan, atau bahkan rasa rendah diri. Anak-anak yang terus-menerus menahan diri untuk tidak berbicara karena takut dianggap durhaka sering kali merasa terisolasi secara emosional.
Mereka mungkin merasa tidak ada yang bisa memahami perasaan mereka, karena masyarakat selalu menekankan pentingnya menghormati dan memaafkan orang tua. Rasa terjebak dalam dilema antara kebutuhan emosional mereka sendiri dan harapan sosial ini membuat banyak anak merasa terbebani, bahkan kehilangan jati diri mereka dalam prosesnya.
Banyak yang akhirnya bertanya-tanya: apakah memaafkan tanpa syarat selalu merupakan solusi yang sehat? Apakah menahan perasaan demi menjaga hubungan baik benar-benar hal yang bijaksana, terutama ketika luka batin yang dialami begitu mendalam?
ADVERTISEMENT
Mencari Jalan Keluar: Menghormati Bukan Berarti Mengabaikan Luka
Menghadapi sakit hati terhadap orang tua adalah tantangan yang kompleks. Mengungkapkannya mungkin dianggap durhaka oleh sebagian orang, tetapi penting untuk diingat bahwa perasaan anak juga valid. Menghormati orang tua tidak berarti harus mengabaikan perasaan diri sendiri. Ada cara untuk mengekspresikan perasaan tanpa kehilangan rasa hormat, meskipun hal ini mungkin sulit dilakukan.
Komunikasi yang jujur dan terbuka bisa menjadi jalan keluar, meski tak selalu mudah. Sebagai anak, mungkin penting untuk mencari momen yang tepat untuk menyampaikan perasaan dengan cara yang penuh hormat, tetapi tetap tegas. Mencari dukungan dari orang yang bisa dipercaya atau bahkan terapis juga bisa membantu, memberikan ruang bagi anak untuk menyalurkan perasaan mereka tanpa rasa takut atau bersalah.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, setiap anak berhak merasakan kedamaian batin, bahkan ketika berhadapan dengan rasa sakit hati yang bersumber dari orang tua. Memaafkan adalah sebuah proses, dan hal ini tidak selalu harus dilakukan tanpa terlebih dahulu mengatasi perasaan yang menyakitkan. Memahami bahwa memaafkan tidak berarti mengabaikan luka, tetapi menemukan cara untuk menyembuhkan diri, adalah langkah pertama menuju kesejahteraan emosional yang lebih baik.