news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Inklusivitas Agama dalam Tradisi War Takjil : Harmoni Sosial di Ruang Publik

Erdin Nadid
Bachelor of Law UMSurabaya II Student of Islamic Economics and Halal Industry, Gadjah Mada University, Kader Muhammadiyah
1 Maret 2025 15:14 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erdin Nadid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
shutterstock.com
ADVERTISEMENT
"Ramadhan Tiba, Ramadhan Tiba" begitulah suara yang sering terdengar akhir ini, hal ini membuat suasana di berbagai sudut kota di Indonesia berubah menjadi lebih semarak. Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah "war takjil" atau berburu makanan untuk berbuka puasa. Menjelang waktu magrib, jalanan dipenuhi oleh para pedagang yang menjajakan beragam hidangan khas Ramadan, mulai dari kolak pisang yang manis dan hangat, es buah yang menyegarkan, hingga aneka gorengan yang selalu menggugah selera. Kehadiran lapak-lapak ini tidak hanya menghidupkan perekonomian masyarakat, tetapi juga menciptakan atmosfer kebersamaan yang khas.
ADVERTISEMENT
War takjil bukan sekadar ajang jual beli makanan, tetapi juga ruang interaksi sosial yang memperlihatkan bagaimana inklusivitas agama terjalin dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tak hanya umat Muslim yang turut meramaikan suasana, tetapi juga banyak non-Muslim yang menikmati kuliner khas Ramadan atau sekadar ikut merasakan kebersamaan dalam momen ini. Di banyak tempat, war takjil menjadi titik temu berbagai lapisan Masyarakat dari mahasiswa, pekerja kantoran, hingga keluarga yang mencari sajian berbuka dengan harga terjangkau.
Lebih dari itu, fenomena ini menunjukkan bagaimana Ramadan tidak hanya menjadi bulan ibadah, tetapi juga momentum untuk memperkuat solidaritas sosial. Banyak pedagang yang dengan sukarela membagikan takjil gratis bagi mereka yang membutuhkan, sementara beberapa komunitas turut serta dengan menggalang donasi makanan untuk kaum dhuafa. Inilah wajah Ramadan di Indonesia penuh semangat berbagi, kehangatan, dan kebersamaan yang melampaui sekat-sekat perbedaan.
ADVERTISEMENT
War Takjil: Lebih dari Sekadar Berburu Makanan
Tradisi war takjil tidak hanya dilakukan oleh umat Islam yang hendak berbuka puasa, tetapi juga oleh masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Banyak non-Muslim yang turut serta dalam tradisi ini, baik sebagai pembeli, pedagang, maupun bagian dari interaksi sosial. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa war takjil bukan hanya aktivitas berbasis keagamaan, tetapi juga ajang kebersamaan dalam keberagaman.
Jika ditinjau melalui perspektif teori "ruang publik" (public sphere) yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, di mana individu dari berbagai latar belakang dapat berinteraksi secara setara dalam ruang sosial yang terbuka. War takjil menjadi representasi nyata bagaimana ruang publik dapat diisi dengan interaksi positif anta rumat beragama.
ADVERTISEMENT
War Takjil : Inklusivitas dan Ruang Sosial
Dalam perspektif Clifford Geertz, budaya merupakan sistem makna yang membentuk kehidupan sosial. War takjil dapat dipandang sebagai bagian dari "agama sebagai sistem simbol" yang menciptakan makna sosial yang luas. Meskipun awalnya berakar pada ritual Islam, war takjil berkembang menjadi fenomena budaya yang melibatkan berbagai kelompok.
Sementara itu, menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), inklusivitas agama adalah kunci dalam membangun harmoni sosial. Gus Dur menekankan pentingnya keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bagaimana budaya lokal dapat menjadi alat pemersatu. War takjil bisa dilihat sebagai contoh nyata dari gagasan ini, di mana perbedaan latar belakang tidak menjadi penghalang untuk berpartisipasi dalam sebuah tradisi bersama.
Di sisi lain, Robert Putnam, dalam teori "social capital", menjelaskan bahwa interaksi sosial dalam komunitas berkontribusi pada pembentukan modal sosial yang kuat. War takjil menciptakan modal sosial dalam bentuk kepercayaan dan keterlibatan komunitas, di mana interaksi antarindividu memperkuat kohesi sosial.
ADVERTISEMENT
Dampak Ekonomi dan Sosial War Takjil
shutterstock.com
War takjil, yang menjadi tradisi khas selama bulan Ramadan di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya sekadar tempat berburu makanan untuk berbuka puasa. Lebih dari itu, fenomena ini memiliki dampak ekonomi dan sosial yang cukup signifikan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah serta masyarakat secara luas. Dari sisi ekonomi, war takjil menjadi salah satu pendorong utama peningkatan pendapatan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data dari Kementerian Koperasi dan UKM Indonesia menunjukkan bahwa selama Ramadan, omzet pedagang takjil dapat meningkat hingga 30–50% dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Peningkatan ini disebabkan oleh tingginya permintaan masyarakat terhadap makanan berbuka puasa yang praktis dan bervariasi. Keberadaan war takjil juga menciptakan efek berantai dalam perekonomian, di mana tingginya permintaan terhadap bahan baku turut menghidupkan sektor produksi dan memberikan dampak positif bagi tenaga kerja informal yang bergantung pada pendapatan harian.
ADVERTISEMENT
Selain aspek ekonomi, war takjil juga memiliki peran penting dalam mempererat hubungan sosial di masyarakat. War takjil menjadi ruang interaksi yang inklusif, di mana individu dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi bertemu dalam suasana yang penuh kebersamaan. Orang kaya, kelas menengah, hingga masyarakat ekonomi bawah dapat berbaur dalam suasana yang harmonis, mencerminkan bagaimana aktivitas ekonomi sederhana dapat menjadi sarana inklusi sosial. Bahkan, di beberapa daerah, war takjil sering kali dijadikan tempat untuk berbagi dan berbuka bersama, baik oleh komunitas maupun individu yang ingin berbagi rezeki dengan sesama. Selain itu, war takjil juga berkontribusi dalam membangun solidaritas sosial, di mana banyak orang membeli takjil dalam jumlah lebih untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, seperti anak yatim, kaum dhuafa, atau pekerja informal yang masih berada di jalan saat waktu berbuka tiba.
ADVERTISEMENT
Dengan segala dampak positifnya, war takjil tidak hanya menjadi peluang bagi UMKM untuk meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, serta menghidupkan rantai pasok berbagai sektor, tetapi juga memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat. Tradisi ini memperkaya budaya kebersamaan dan menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi generasi muda yang ingin merasakan nilai kebersamaan dalam bulan suci ini. Dengan demikian, war takjil tidak hanya menjadi bagian dari budaya Ramadan, tetapi juga menjadi elemen penting dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berdaya secara ekonomi.
War Takjil : Refleksi dan Tantangan
Meski memiliki banyak nilai positif, war takjil juga menghadapi tantangan. Salah satunya adalah permasalahan sampah plastik yang meningkat akibat penggunaan kemasan sekali pakai. Untuk itu, banyak komunitas mulai mengkampanyekan penggunaan wadah ramah lingkungan dalam aktivitas ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada pula tantangan dalam mempertahankan nilai inklusivitas. Di beberapa daerah, masih ada anggapan bahwa war takjil semata-mata adalah tradisi Muslim, sehingga partisipasi dari kelompok lain kadang dianggap kurang pantas. Untuk itu, perlu terus dibangun kesadaran bahwa tradisi ini adalah bagian dari budaya yang dapat diakses oleh semua orang.