Konten dari Pengguna

Ormas Minta THR itu Bukan Budaya Lebaran yang Patut Diwajarkan

Muhammad Robith Faizi
Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, suka backpackeran ke kota-kota di luar sana bermodalkan rasa ingin tahu
1 April 2025 8:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Robith Faizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi amplop THR (dokumentasi Pixabay/geralt)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi amplop THR (dokumentasi Pixabay/geralt)
ADVERTISEMENT
Lebaran adalah momen bahagia untuk berbagi kepada orang lain. Satu hal yang menjadi tradisi berbagi dalam lebaran itu adalah memberi Tunjangan Hari Raya (THR). Hanya saja, THR tak sembarang diberikan kepada orang lain tanpa adanya keterikatan tertentu, misalnya dalam hal pekerjaan atau kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
Apa jadinya kalau yang minta THR justru adalah oknum organisasi kemasyarakatan (ormas) kepada pelaku usaha dengan cara memaksa? Padahal, tidak ada keterikatan antara oknum tersebut dengan pelaku usaha dalam hal pekerjaan ataupun kekeluargaan. Setidaknya, harus ada hubungan timbal balik antara kedua belah pihak sehingga pantas untuk menerima THR.
Kontroversi pernyataan Wakil Menteri Agama
Pada 19 Maret 2025, pernyataan Wakil Menteri Agama Romo M Syafi’i tentang ormas minta THR mengundang kontroversi. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut sudah menjadi budaya lebaran masyarakat Indonesia sejak lama sehingga tak perlu dipersoalkan. Tapi, apa benar pernyataan tersebut ketika melihat fakta yang ada di lapangan?
Beberapa hari terakhir, pemberitaan tentang ormas minta THR kepada sebuah perusahaan di Kota Bekasi ramai menjadi bahan perbincangan publik. Anehnya, lembaga pendidikan di Kabupaten Tangerang dan dinas kesehatan Kabupaten Bekasi pun jadi sasaran ormas minta THR.
ADVERTISEMENT
Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Pada 17 Maret 2025, diberitakan sekelompok oknum yang mengaku dari ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) bersitegang dengan satpam sebuah pabrik di Bantargebang, kota Bekasi, lantaran nominal THR dinilai kurang. Seorang pria dari ormas tersebut mengaku bahwa dirinya adalah jagoan daerah Cikiwul sehingga ngotot untuk menemui pimpinan perusahaan.
Lain halnya yang terjadi pada 18 Maret 2025, sekelompok oknum ormas Laskar Merah Putih (LMP) mendatangi kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi. Dugaan kuat kedatangan ormas tersebut ke kantor dinkes berkaitan dengan THR. Lantaran tidak bisa menemui kepala dinas, para oknum ormas tersebut berbuat rusuh dengan mengotori fasilitas gedung. Pegawai dinas setempat bahkan sempat berdebat dengan salah satu oknum atas keributan yang ditimbulkan para oknum.
ADVERTISEMENT
Yang paling parah adalah kejadian pada 17 Maret 2025, sekelompok oknum yang mengaku dari ormas Gerhana menganiaya satpam SMKN 9 Kabupaten Tangerang lantaran surat permintaan THR tidak digubris. Satpam tersebut mengalami luka berat akibat pukulan dan tusukan di badannya.
Menurut berita terbaru, beberapa oknum ormas GMBI dan LMP tersebut sudah diamankan oleh aparat kepolisian. Adapun, pelaku penusukan satpam yang diduga oknum ormas Gerhana melarikan diri. Selain dari pemberitaan di atas, sebenarnya masih banyak kasus serupa yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Tidak ada dasar hukum pemberian THR kepada ormas
Perilaku minta THR yang dilakukan para oknum ormas memang meresahkan ketertiban masyarakat. Apabila mereka tidak diberi THR, maka yang terjadi adalah konflik atau bahkan perusakan fasilitas. Jadi, apa sebenarnya dasar hukum pemberian THR kepada para oknum ormas itu?
ADVERTISEMENT
Merujuk kepada Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 Pasal 3, THR hanya diberikan kepada pekerja atau karyawan dengan masa kerja lebih dari satu bulan di suatu perusahaan atau badan hukum. Pemberian THR kepada pekerja atau karyawan disesuaikan dengan perjanjian kerja dan hari raya keagamaan masing-masing.
Ketika melihat kondisi yang terjadi di lapangan, para oknum ormas tadi jelas tidak berstatus sebagai pekerja di suatu perusahaan atau badan hukum tersebut. Sehingga, tidak sepantasnya para oknum ormas minta THR karena tidak ada keterikatan kerja yang jelas. Bahkan, ulah mereka sendiri sebenarnya melanggar peraturan ormas dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 59 Ayat 3. Sesuai dengan peraturan ormas tersebut, ormas dilarang mengganggu ketertiban umum apalagi merusak fasilitas umum.
ADVERTISEMENT
Ancaman pidana untuk aksi premanisme
Perbuatan meminta THR secara paksa oleh oknum ormas adalah bentuk premanisme klasik yang tidak bisa diwajarkan. Yang menjadi permasalahan adalah cara yang digunakan para oknum ormas dalam minta THR itu dilakukan dengan kekerasan. Kalau sudah begitu, maka hukum pidana akan berlaku.
Menurut Pasal 482 UU Nomor 1 Tahun 2023, ancaman pidana bagi setiap orang yang menggunakan cara kekerasan untuk menguntungkan diri sendiri adalah hukuman penjara sembilan tahun. Dengan ini sudah jelas, tindakan minta THR secara paksa para oknum ormas adalah tindakan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam pasal tersebut.
Dalam tulisan ini, saya sampaikan dengan hormat bahwa tindakan oknum ormas minta THR itu adalah persoalan hukum dan bukan tradisi lebaran. Bentuk premanisme semacam itu tidak perlu diwajarkan lagi karena yang selalu dirugikan adalah masyarakat.
ADVERTISEMENT