Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Diplomasi Trump dan Perlawanan China
13 April 2025 10:43 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sejak merancang pertarungan politik melalui Partai Republik (Republican Party) pada pemilu Amerika Serikat 2016 lalu, pola dan strategi komunikasi politik Donald Trump menjadi sorotan.
ADVERTISEMENT
Bisnisman yang kemudian merambah politik ini berhasil memukau warga-pemilih AS. Slogan kampanyenya yang bertagar ‘’#MAGA, ‘’Make America Great Again’’ dan America Firts’’ berhasil mengantarkannya ke Gedung Putih sebagai Presiden ke-45 AS, mengalahkan rival, Hillary Clinton, politisi partai Demokrat saat itu.
Kemenangan Trump atas Kamala Harris pada pemilu 2024, semakin melambungkan personalitasnya dengan model komunikasi politik dan pola diplomasinya yang agresif, pragmatis, transaksional dan kontroversial. Pernyataan, kebijakan dan sikap politiknya selalu mengundang respon banyak kalangan, baik lawan maupun kawan.
Diplomasi tiga lapis
Beberapa hari setelah dilantik sebagai Presiden AS periode (2025-2029) statemen politik Trump kerapkali mengejutkan dan menggusarkan. Di atas mimbar terbuka (monolog), dengan lugas ia mengatakan akan mencaplok wilayah Gaza di Palestina, membeli pulau Greenland, menjadikan Kanada sebagai negara bagian AS, dll. Mengapa ia memanfaatkan instrumen itu ?
ADVERTISEMENT
Geoffrey Cowan dan Amelia Arsenault dalam Public Diplomacy Moving from Monologue to Dialogue to Collaboration: The Three Layers of Public Diplomacy (2008) menggambarkan tiga lapis diplomasi. Dan Presiden Donald Trump selalu menggunakannya selama ia memerintah di Gedung Putih, baik pada periode (2017-2021) dan periode (2025-2029). Selama Donald Trump di Gedung Putih, pemerintahannya tidak pernah sepi dari liputan pemberitaan media, baik media nasional maupun internasional.
Diplomasi dan pola komunikasinya dalam menyikapi isu-isu nasional dan internasional yang kerap kontroversial itu seolah ‘’membesarkan’’ Amerika Serikat sebagaimana selogannya. Tetapu, menurut sebagian pengamat justru memperkecil posisinya dan memberi panggung negara-negara rivalnya seperti; China, Rusia, Iran dan Korea Utara dalam panggung global. Bahkan, bisa mengubah sikap politik negara-negara kawan menjadi lawan.
ADVERTISEMENT
Sejak periode pertama pemerintahannya, Trump sangat gencar mengusik program nuklir Iran, Korea Utara dan mengobarkan perang dagang (trade war) dengan China karena dianggap sebagai ancaman krusial bagi AS dan negara-negara sekutunya di Timur Tengah serta Asia Timur-Semenanjung Korea.
Model dan pola diplomasi Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (2017–2021) sangat berbeda dari pendahulunya dan sering disebut sebagai “Diplomasi Transaksional” atau “Diplomasi Pragmatis’’ berbasis kepentingan. Ia mengaplikasikan diplomasi ‘’bisnis’’ dalam pemerintahannya yang selalu dikalkulasi secara untung rugi secara finansial.
Trump memperioritaskan kepentingan nasional AS di atas segalanya, dengan pendekatan proteksionisme yang cenderung transaksional dan pragmatis. Di bawah pemerintahan Trump, AS tidak ragu menarik diri dari kesepakatan-kesepakatan mutilateral jika hal itu dianggap tidak menguntungkan secara ekonomis.
ADVERTISEMENT
Demi "America First" sebagai slogan kamapanye politiknya, ia melakukan banyak pergeseran dalam kebijakannya, termasuk mengenakan tarif yang tinggi pada mitra dagang Amerika dan menarik diri dari pendanaan badan-badan internasional termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan inisiatif bantuan asing (USAID).
Memang, pernyataan-pernyataan politik Trump yang kerap disampaikan secara monolog dengan intonasi tinggi penuh tekanan dinilai sarat kepentingan dan menjadi strateginya dalam upaya melakukan negosiasi (dialog) untuk akhirnya bisa berkolaborasi. Artinya, pernyataan-pernyataan Trump melalui tekanan (Pressure Statement) tidak lain hanya sebagai alat diplomasi untuk mendapatkan porsi lebih dari yang akan dinegosiasikan.
Standar tinggi pernyataan-peryataan dan kebijakan Trump, termasuk dalam konteks penerapan tarif resiprokal, menggusarkan banyak negara baik kawan, apalagi lawan, utamanya China.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tarif dan sanksi ekonomi kerap dijadikan senjata utama, misalnya terhadap Iran, Meksiko dan China sebagai ancaman perang dagang untuk memaksa negosiasi. Tetapi, efektivitas diplomasi Trump yang kerap muncul secara sporadis dan spontanitas itu dipertanyakan. Hanya beberapa hari kebijakan tarif resiprokal itu diterbitkan, Trump mengumumkan penangguhan hingga 90 hari ke depan, kecuali China. Bagaimana China menyikapi ancaman diplomasi Trump?
Perlawanan China
Tekanan dan ancaman diplomasi Trump terhadap China dengan menaikkan tarif resiprokal sebesar 145 % tidak membuat negeri Tirai Bambu itu bertekuk lutut, justru semakin melakukan perlawanan. Saat banyak Presiden/kepala negara tergopoh-gopoh segera bernegosiasi dengan Trump, Presiden Xi Jinping justru bergeming.
Terhadap rivalnya China, AS kini mengenakan biaya tambahan sebesar 145% untuk semua produk-produk (barang) impor dari China yang sampai di AS. Tetapi, China merespon dengan menaikkan tarif terhadap barang-barang Amerika Serikat menjadi 125%. Bahkan, Presiden Xi Jinping memperingatkan bahwa negaranya "tidak takut" akan konflik perdagangan yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Babak baru rivalitas Amerika Serikat versus China kini semakin memperlihatkan momentumnya. Bangkitnya ekonomi China dan semakin kuatnya pengaruh geopolitiknya baik di tingkat regional maupun global menjadi ancaman serius bagi AS.
Walaupun Amerika Serikat belum sepenuhnya mengesampingkan ancaman The Green Peril di Timur Tengah pasca berakhirnya revolusi Arab Spring, ke depan kebangkitan ekonomi China dan pengaruhnya akan menjadi fokus perhatian Amerika Serikat dalam konteks perang dagang (trade war). Situasi ini sudah diprediksi sejak tiga dasawarsa terakhir.
Dalam Policy Analisis No.177 yang diterbitkan Cato Institute 27, Agustus 1992, Leon Hardar seorang analisis kebijakan luar negeri, menggambarkan pencarian lembaga kebijakan luar negeri Amerika Serikat musuh-musuh baru (new enemies) setelah menghadapi ancaman perang dingin (the red threat).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ‘’penjahat’’ yang mungkin termasuk dalam daftar puncak pencarian tersebut yang dianggapnya sebagai momok global baru yang potensial mengancam keamanan dan ekonomi AS adalah Bahaya Kuning (the yellow threat), bangkitnya ekonomi Asia Timur, dan apa yang disebut Bahaya Hijau (the green threat) dalam gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Kebangkitan ekonomi China tentu masuk dalam radar utama pencarian tersbeut.
Komitmen China untuk menjadi negara super power dan kekuatan dominan dunia dalam kurun 30 tahun tidak surut. China belajar dari runtuhnya Uni Soviet atas dominasi Amerika Serikat dalam perang dingin (cold war). Pengalaman Uni Soviet yang berhasil mengembangkan sektor pertahananan, tetapi lupa membangun ekonominya, menjadi pelajaran berharga bagi China.
Maka, China mengambil langkah kebijakan berbeda, memulai pembangunan ekonomi dan infrastrukturnya, memantapkan kemandirian sektor pertanian dan pangan, industri manufaktur sembari mengembangkan industri pertahanan dan teknologinya. Hasilnya, China menjadi negara adidaya sebagai ‘’Emergence as a Superpower’’ yang pengaruhnya tidak hanya di Asia, tetapi merambah Afrika, Asia Tengah dan sebagian Eropa melalui pembangunan Belt and Road Initiatve.
ADVERTISEMENT
Laporan kajian The Office of the Director of National Intelligence (ODNI) sebagaimana dilansir Asianesweek.com (Apr 09, 2021) memprediksi bahwa China akan berada di posisi teratas, meningkatkan pangsa pasarnya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dunia dari 17,9% pada tahun 2020 menjadi 22,8% pada tahun 2040. Di sisi lain, AS akan mengalami penurunan pangsa pasarnya dalam periode yang sama dari 24% menjadi 20,8%.
Dengan trend data ini, bisakah diplomasi Trump “Make America Great Again”, dengan kebijakan ‘’proteksionis’’ nya melawan tantangan China? Wallahu A’lam.